Kisah Pangeran Siddharta



"Masa Remaja Pangeran Siddharta"

Tiga Istana Pangeran Siddharta
Pangeran Siddharta tumbuh dalam kemewahan. Ketika menginjak usia enam belas tahun, Raja Suddhodana berpikir, “Sekarang waktunya untuk membangun istana untuk putraku.” Kemudian ia memerintahkan para arsitek, tukang kayu, tukang batu, pemahat, dan pelukis yang ahli dipanggil ke istana untuk diberi instruksi. Ia kemudian memberikan perintah untuk membangun tiga istana yang diberi nama istana Emas Ramma, istana Emas Suramma, dan istana Emas Subha, yang dirancang khusus sesuai kondisi tiga musim. 

Istana Ramma: Istana Musim Dingin.
Istana Ramma memiliki menara sembilan tingkat, Struktur dan bentuk ruangan-ruangannya dibuat tetap rendah untuk menjaga agar tetap hangat. Perencanaan yang sangat saksama dilakukan dalam merancang jendela dengan penyangga berbentuk singa. Rancangan ventilasi dibuat untuk mencegah benda-benda dingin dari luar seperti salju, angin, dan kabut masuk. Para pelukis juga melukis gambar-gambar api yang berkobar-kobar di dinding dan atap istana mewah tersebut. Lukisan itu memberikan kesan hangat ketika melihatnya. Hiasan bunga-bunga, mutiara, dan wangi-wangian digantung di tempat-tempat tertentu. Langit-langitnya juga dilapisi kanopi kain tenun dari wol dan sutra murni yang sangat halus dan lembut sehingga memberikan kehangatan. Hiasan bintang-bintang emas, perak, dan batu delima juga memberikan warna yang menyala cerah di atap istana. Pakaian dari beludru dan wol yang cocok untuk musim dingin juga tersedia, siap untuk dipakai. Di musim dingin, bahan makanan yang memiliki rasa lezat yang pedas dan panas juga telah tersedia dan siap untuk disantap. Untuk menjaga kehangatan kamar, jendela-jendela dibuka pada siang hari dan ditutup pada malam hari. 

Istana Suramma: Istana Musim Panas.
Ada lima tingkat dalam menara istana Suramma. Struktur dan bentuk ruangannya dirancang agar dapat memberikan ventilasi. Bangunan ini memiliki langit-langit yang tinggi, jendela yang lebar untuk mendapatkan angin dan kesejukan dari luar. Pintu dan jendela utama dibuat tidak terlalu rapat. Beberapa pintu terdapat lubang-lubang kecil. Jendela yang lain dilengkapi dengan jaring-jaring yang terbuat dari besi, emas, dan perak. Dinding dan atapnya dihiasi dengan lukisan-lukisan bunga teratai biru, merah, dan putih. Semua itu untuk memberikan kesan sejuk bagi mereka yang melihatnya. Pot-pot tanaman yang penuh berisi air dan bunga-bunga teratai biru, merah, putih, dan teratai seribu bunga ditempatkan di dekat jendela.

Istana Subha: Istana Musim Hujan.
Ada tujuh tingkat dalam menara dari istana Subha. Struktur dan  bentuk ruangannya dirancang berukuran sedang agar dapat memberikan suasana hangat dan sejuk. Pintu dan jendela utamanya disesuaikan untuk musim dingin dan musim panas. Beberapa jendela terbuat dari papan yang bersambung rapat dan beberapa jendela dibuat berlubang-lubang. Terdapat lukisan-lukisan api yang berkobar-kobar, lukisan kolam dan danau. Pakaian dan karpet yang sesuai untuk cuaca panas dan dingin mirip dengan dua istana lainnya, siap untuk digunakan. Beberapa pintu dan jendelanya dibiarkan terbuka pada siang hari dan ditutup pada malam hari.



"Lomba Keterampilan"

Ketika Pangeran Siddharta tumbuh dewasa, raja Suddhodana makin khawatir kalau ramalan petapa Asita dapat menjadi kenyataan. Atas petunjuk para penasihat kerajaan, Raja Suddhodana berniat menikahkan Pangeran Siddharta. Maka, diundanglah putri-putri dari seluruh negeri datang ke istana agar putranya dapat memilih salah satu dari mereka menjadi isterinya.

Para raja, Orang tua para putri yang diundang, menolak undangan itu. Mereka menolak karena Pangeran Siddharta dianggap tidak memiliki kemampuan selayaknya seorang kesatria, sehingga mereka khawatir putrinya tidak dapat dilindungi oleh Pangeran Siddharta. Mendapat jawaban demikian, Raja Suddhodana merasa tersinggung. Raja menemui Pangeran Siddharta untuk meminta Pangeran Siddharta menunjukkan kemampuannya sebagai seorang kesatria. Kemudian raja Suddhodana memutuskan untuk mengadakan perlombaan ketangkasan seorang kesatria yang diikuti oleh seluruh pangeran dari berbagai kerajaan. Lomba yang dipertandingkan ialah balapan kuda, menaklukkan kuda liar, bermain pedang, dan memanah. 



Di balapan kuda, Pangeran Siddharta menunggangi kuda Kanthaka dan memenangi pertandingan. Demikian pula dengan lomba menaklukkan kuda liar karena kekuatan cinta kasihnya, Pangeran Siddharta mampu memenangi pertandingan. Di permainan pedang, Pangeran Siddharta memenangkan pertandingan. Pangeran juga memenangi lomba menebang pohon dengan sekali tebas.

Dalam pertandingan terakhir, tak seorang pangeran pun yang mampu mengangkat busur panah besar yang disediakan oleh kerajaan. Pangeran Siddharta mampu mengangkat busur itu dengan tangan kirinya. Kemudian, Dia memetik-metik tali busur itu dengan tangan kanan-Nya untuk menyesuaikan. Suara getaran yang ditimbulkan tali busur tersebut begitu kerasnya, sehingga gemanya terdengar di seluruh wilayah Kerajaan Kapilavatthu.




"Masa Berumah Tangga Pangeran Siddharta"

Perjumpaan Pangeran Siddharta dengan Putri Yasodhara
Demikianlah, Pangeran Siddharta memperlihatkan keahliannya dalam berbagai perlombaan untuk menaklukkan rasa tidak percaya atas dirinya oleh para kerabat kerajaan. Setelah peristiwa itu semua kerabat kerajaan bergembira dan berseru, “Belum pernah dalam Dinasti Sakya menyaksikan suatu keahlian seperti yang kita saksikan sekarang.” Mereka sangat gembira melihat keberanian dan kekuatan Pangeran yang tiada bandingnya. Akhirnya, para kerabat kerajaan kagum dan tambah percaya terhadap kemampuan Pangeran. Para putri kerajaan pun dikirim untuk mengikuti pesta pemilihan calon permaisuri bagi Pangeran Siddharta.

Di antara putri-putri yang hadir, putri yang paling terkemuka adalah Putri Yasodharā. Putri Yasodharā memiliki nama gadis Bhaddakaccānā. Putri Yasodharā adalah putri Raja Suppabuddha cucu Raja Anjana dari Kerajaan Devadaha. Ibu Putri Yasodharā adalah Putri Amitta. Putri diberi nama Yasodharā yang artinya memiliki reputasi baik dan pengikutnya banyak.

Putri Yasodharā memiliki tubuh yang indah tanpa cacat, kulit keemasan tampak bagaikan patung yang dibalut dengan emas murni. Dia juga memiliki pesona yang tidak tertandingi dalam hal kecantikan dan tingkah laku. Putri Yasodhara digambarkan seperti bidadari surga (Devaccharā), yang cahaya tubuhnya dapat menerangi seluruh kamarnya. Dia juga memiliki lima daya tarik kecantikan seorang wanita, yaitu kecantikan tulang, kulit, rambut, daging, dan awet muda. Dia bebas dari enam cacat, yaitu: terlalu hitam atau terlalu putih, terlalu gemuk atau terlalu kurus, terlalu pendek atau terlalu tinggi. Bau harum bagaikan cendana pilihan yang terpancar dari tubuhnya yang anggun memenuhi udara sekelilingnya, dan mulutnya yang berwarna koral juga memiliki keharuman teratai biru. 

Putri Yasodhara adalah perempuan yang unik dan mengalahkan dewi-dewi. Dia menikmati buah kebajikan yang telah dilakukannya di kehidupan lampau tidak terhitung banyaknya. Akibatnya, dia menjadi seorang perempuan paling sempurna yang memiliki kecantikan tiada bandingnya di antara semua perempuan dalam hal kebajikan dan kemuliaannya. 

Pernikahan Pangeran Siddharta
Pilihan Pangeran jatuh pada Putri Yasodhara. Pesta pernikahan pun diselenggarakan dengan sangat meriah. Delapan puluh ribu kerabat kerajaan yang dipimpin oleh Raja Suddhodana berkumpul di ruang pertemuan yang besar dan megah untuk merayakan pernikahan Pangeran Siddharta. Perayaan ini dilengkapi dengan dinaikkannya payung putih kerajaan di atas kepalanya yang menandakan secara resmi telah menjadi suami isteri.


Dalam pesta itu, Pangeran Siddharta dikelilingi oleh para wanita cantik dari suku Sakya. Pangeran Siddharta terlihat seperti dewa muda yang dilayani oleh putri-putri dewa bagaikan Sakka, raja para dewa. Para undangan pesta pernikahan dihibur dengan musik-musik indah. Musik dimainkan oleh sekelompok pemain musik perempuan. Pangeran Siddharta hidup berbahagia bersama Putri Yasodhara. Mereka hidup di tengah-tengah kemewahan dan kemuliaan istana yang sebanding dengan seorang raja dan ratu dunia.




"Empat Peristiwa"

Siddharta diramalkan tidak boleh melihat orang tua, orang sakit, orang mati, dan petapa suci. Jika melihatnya Ia akan meninggalkan istana. Mengapa harus meninggalkan istana?


Peristiwa Pertama dan Kedua
Ketika Pangeran Siddharta menginjak usia 29 tahun, suatu hari muncul keinginannya untuk mengunjungi Taman Kerajaan. Beliau memerintahkan kusirnya, “Channa, siapkan kereta. Aku akan berkunjung ke Taman Kerajaan.” “Baiklah,” jawab Channa yang segera menyiapkan kereta. Kereta itu ditarik oleh empat ekor kuda berwarna putih bersih. Kecepatannya bagaikan burung garuda, raja segala burung.

a. Melihat Orang Tua
Ketika Pangeran sedang berada dalam perjalanan menuju Taman Kerajaan, para Dewa Brahma di alam Suddhavasa berunding, “Waktunya bagi Pangeran Siddharta untuk menjadi Buddha makin dekat. Mari kita perlihatkan pertanda yang akan membuat Pangeran melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.” Mereka menyuruh salah satu Dewa Brahma di alam Suddhavasa menyamar sebagai orang tua. Orang tua itu berambut putih, tidak bergigi, punggungnya bungkuk dan berjalan gemetaran menggunakan tongkat. Orang tua itu penjelmaan dewa dan dia tidak dapat dilihat orang lain selain Pangeran Siddharta dan kusirnya.

Saat melihat orang tua, Pangeran bertanya kepada Channa, “Channa, rambut orang itu tidak seperti orang lain, rambutnya semua putih. Badannya juga tidak seperti badan orang lain, giginya tidak ada, badannya kurus kering, punggungnya bungkuk, dan gemetaran. Disebut apakah orang itu?” 

Channa menjawab, “Yang Mulia, orang seperti itu disebut orang tua.” Pangeran Siddharta belum pernah mendengar kata ‘orang tua’ apalagi melihatnya.

Ia bertanya lagi kepada Channa, “Channa, belum pernah Aku melihat yang seperti ini, yang rambutnya putih, tidak bergigi, begitu kurus, dan gemetaran dengan punggung bungkuk. Apakah artinya orang tua?” 

Channa menjawab, “Yang Mulia, orang yang telah hidup lama disebut orang tua. Orang tersebut hanya memiliki sisa hidup yang pendek.” Pangeran kemudian bertanya, “Channa, bagaimana itu? Apakah Aku juga akan menjadi orang tua? Apakah Aku tidak dapat mengatasi usia tua?” 

Channa menjawab, “Yang Mulia, semua, termasuk Anda, juga saya, akan mengalami usia tua. Tidak seorang pun yang dapat mengatasi usia tua.” 

Pangeran berkata, “Channa, jika semua manusia tidak dapat mengatasi usia tua, Aku juga akan mengalami usia tua. Aku tidak ingin lagi pergi ke Taman Kerajaan dan bersenang-senang. Berbaliklah dari tempat ini dan pulang ke istana.” 

“Baiklah, Yang Mulia,” jawab Channa. 

b. Melihat Orang Sakit
Setelah empat bulan berlalu dalam kemewahan hidup, Pangeran Siddharta pergi lagi mengunjungi Taman Kerajaan. Pangeran Siddharta mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda putih seperti sebelumnya. Di perjalanan, Pangeran melihat pertanda yang diciptakan oleh para dewa untuk kedua kalinya. Pangeran melihat orang yang terbaring lemah. Orang itu sangat kesakitan diserang penyakit. Dia hanya dapat duduk dan berbaring jika dibantu oleh orang lain. Dia berbaring lemah di tempat tidurnya dengan ditutupi kotorannya sendiri.Pangeran bertanya kepada kusirnya, “Channa, mata orang itu tidak seperti mata orang lain, terlihat lemah dan goyah. Suaranya juga tidak seperti orang lain, ia terus-menerus menangis. Tubuhnya juga tidak seperti tubuh orang lain. Terlihat seperti kelelahan. Disebut apakah orang seperti itu?” 

Channa menjawab, “Yang Mulia, orang seperti itu disebut orang sakit’.”

Pangeran Siddharta belum pernah melihat orang sakit sebelumnya, bahkan mendengar kata ‘orang sakit’ saja belum pernah. Dia bertanya lagi kepada kusirnya, “Channa, Aku belum pernah melihat orang seperti itu. Duduk dan berbaring harus dibantu oleh orang lain. Tidur di tumpukan kotorannya sendiri dan terus-menerus menjerit. Apakah orang sakit itu? Jelaskanlah kepada-Ku.” 

Channa menjawab, “Yang Mulia, orang sakit adalah orang yang tidak mengetahui apakah dia akan sembuh atau tidak dari penyakit yang dideritanya saat ini.”

Pangeran bertanya lagi, “Channa, bagaimana ini? Apakah Aku juga bisa sakit? Apakah Aku tidak dapat mengatasi penyakit?” 

Channa menjawab, “Yang Mulia, kita semua, termasuk Anda juga saya, akan menderita sakit dan tidak seorang pun yang dapat terhindar dari penyakit.” 

Pangeran berkata, “Channa, jika semua manusia tidak dapat terhindar dari penyakit, Aku juga akan menderita sakit, Aku tidak ingin pergi lagi ke Taman Kerajaan dan bersenang-senang di sana. Berbaliklah dari tempat orang sakit tadi terlihat dan pulang ke istana.” 

“Baiklah, Yang Mulia,” jawab Channa.

Peristiwa Ketiga dan Keempat
Suatu ketika, Pangeran Siddharta tertipu dan tertarik oleh lima kenikmatan indria. Tipuan itu diatur oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana. Hal itu untuk menghalang-halangi-Nya melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.

a. Melihat Orang Mati
Setelah empat bulan berlalu dalam kemewahan hidup, Pangeran Siddharta pergi lagi mengunjungi Taman Kerajaan. Pangeran mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda putih seperti sebelumnya. Di perjalanan Pangeran melihat pertanda yang diciptakan oleh para dewa untuk ketiga kalinya. Saat itu, banyak orang berkumpul. Ada tandu jenazah yang berhiaskan kain berwarna-warni. Pangeran bertanya kepada kusirnya, “Channa, mengapa orang-orang ini berkumpul? Mengapa mereka mempersiapkan tandu yang dihias kain berwarna-warni?” 

Channa menjawab, “Yang Mulia, orang-orang itu berkumpul dan mempersiapkan sebuah tandu karena ada seseorang yang mati.” 

Pangeran belum pernah melihat orang mati sebelumnya, bahkan mendengar kata ‘orang mati’ saja belum pernah. Dia bertanya lagi kepada kusirnya, “Channa, jika mereka berkumpul dan mempersiapkan sebuah tandu, antarkan Aku ke tempat orang mati itu.” 

Si kusir menjawab, “Baiklah, Yang Mulia,” dan mengarahkan keretanya menuju tempat orang mati itu dibaringkan. 

Ketika Pangeran melihat orang mati itu, Dia bertanya, “Channa, apakah orang mati itu?” 

Si kusir menjawab, “Yang Mulia, jika seseorang mati, sanak saudaranya tidak akan dapat bertemu dengannya lagi. Dia juga tidak dapat bertemu dengan sanak saudaranya.”

Pangeran bertanya lagi, “Channa, bagaimana ini? Apakah Aku juga bisa mati seperti orang itu? Apakah Aku tidak dapat mengatasi kematian?  Apakah ayah-Ku, ibu-Ku, dan sanak saudara-Ku tidak dapat bertemu dengan-Ku lagi suatu hari nanti? Apakah Aku juga tidak akan bertemu dengan mereka lagi suatu hari nanti?” 

Channa menjawab, “Yang Mulia, kita semua, termasuk Anda juga saya, pasti mengalami kematian dan tidak seorang pun yang dapat terhindar dari kematian.” 

Pangeran berkata, “Channa, jika semua manusia tidak dapat menghindar dari kematian, Aku juga akan mengalami kematian. Aku tidak ingin lagi pergi ke Taman Kerajaan dan bersenang-senang di sana. Berbaliklah dari tempat orang mati ini dan pulang ke istana.” 

“Baiklah, Yang Mulia,” jawab Channa.

b. Melihat Petapa
Setelah empat bulan berlalu dalam kemewahan hidup, Pangeran Siddharta pergi lagi mengunjungi Taman Kerajaan. Pangeran mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda Kanthaka seperti sebelumnya. Di perjalanan itu, Pangeran melihat pertanda yang diciptakan oleh para dewa untuk keempat kalinya. Seorang petapa dengan kepala gundul, janggut dicukur dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu. 

Pangeran berkata. “Channa, kepala orang ini tidak seperti kepala orang-orang lain, kepalanya dicukur bersih dan janggutnya juga tidak ada. Pakaiannya juga tidak seperti pakaian orang-orang lain, berwarna seperti kulit kayu. Disebut apakah orang seperti itu?” 

Channa menjawab, “Yang Mulia, dia adalah Petapa.”

Pangeran Siddharta bertanya lagi, “Channa, apakah ‘Petapa’ itu? Jelaskanlah kepada-Ku!” 

Channa menjawab, “Yang Mulia, petapa adalah seseorang yang berpendapat bahwa lebih baik melatih sepuluh kebajikan. Hal itu dimulai dari kedermawanan, telah melepaskan keduniawian dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu. Dia adalah seorang yang berpendapat lebih baik melatih sepuluh perbuatan baik yang sesuai kebenaran, bebas dari noda, suci dan murni. Dia adalah seorang yang berpendapat lebih baik tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain dan berusaha untuk menyejah-terakan makhluk lain.”




"Rahula dan Kissā Gotami"

Kelahiran Putra Pangeran Siddharta
Pada waktu itu, Raja Suddhodana menerima berita bahwa permaisuri Pangeran Siddharta, Yasodhara, telah melahirkan seorang putra. Jadi, Raja mengutus dayang-dayang untuk menyampaikan pesan kepada Pangeran dengan penuh kegembiraan, “Pergilah, sampaikan berita gembira ini kepada putraku.” Saat itu, Pangeran Siddharta sedang termenung setelah melihat empat peristiwa. Dari keempat peristiwa yang dilihat, hanya pertapa suci yang selalu dipikirkan. Bahkan, dalam hatinya, Pangeran bergembira dengan mengatakan, “Aku juga harus bisa menjadi pertapa seperti itu.”

Dalam kegembiraan-Nya, datanglah para dayang utusan Raja Suddhodana. Mereka memberitahukan bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Mendengar berita itu, Pangeran Siddharta bukannya bergembira. Sebaliknya, Pangeran menjadi pucat dan mengangkat kepalanya menatap langit dan berkata:

“Rahulojato, bandhanang jatang, yang artinya “Satu jerat telah lahir, satu ikatan telah terlahir.”

Pangeran berkata dengan perasaan yang mendalam, “Asura Rāhu yang akan merampas kebebasan dan menawan-Ku telah lahir!” Konon, Rāhu adalah nama raksasa siluman yang jatuh dari alam dewa. Rāhu dianggap penyebab terjadinya gerhana bulan. Ketika ditanya oleh Raja Suddhodana, “Apa yang dikatakanoleh putraku?” Si kurir mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Pangeran Siddharta. Oleh karena itu, Raja Suddhodana memberi nama dan gelar bagi cucunya, “Sejak saat ini, cucuku dikenal dengan nama Pangeran Rāhula.”

Pertemuan dengan Kissā Gotami, Si Putri Sakya
Pangeran Siddharta memasuki Kota Kapilavatthu dengan mengendarai kereta diiringi oleh banyak pengikut keagungan-Nya. Saat memasuki kota, seorang putri Sakya bernama Kissā Gotami melihat Pangeran. KissāGotami merasa berbahagia. Kissā Gotami mengungkapkan perasaan gembiranya sebagai berikut.

Nibbutā nūna sā māta
Nibbutā nūna so pitā
Nibbutā nūna sā nāri
Yassā’yam idiso pati

artinya: 
Tenanglah ibunya
Tenanglah ayahnya
Tenanglah isterinya
Yang memiliki suami seperti Anda

Mendengar ungkapan kegembiraan Kissā Gotami, Pangeran merenung. “Saudara sepupu-Ku, Putri Sakya, Kissā Gotami telah mengucapkan kata-kata gembira karena melihat pribadi yang membawa kegembiraan dan kedamaian kepada ibu, ayah, dan isteri. Tetapi, jika telah padam, apakah yang akan membawa kedamaian sejati bagi batin?” 

Kemudian, Pangeran Siddharta menyadari bahwa “Kedamaian sejati akan muncul hanya jika keserakahan (lobha) dipadamkan. Kedamaian sejati akan muncul hanya jika kebencian (dosa) dipadamkan. Kedamaian sejati akan muncul hanya jika kebodohan (moha) dipadamkan, kedamaian sejati akan muncul hanya jika keangkuhan (māna), pandangan salah (diññhi), dan lain-lain disingkirkan. Kissā Gotami telah mengucapkan kata-kata indah tentang kedamaian. 

Aku yang akan mencari Nibbāna, kebenaran tertinggi, pemadaman yang sebenarnya dari segala penderitaan. Bahkan, hari ini juga, Aku harus melepaskan keduniawian dengan menjadi petapa di dalam hutan untuk mencari Nibbāna, kebenaran sejati.” 

Pikiran untuk melepaskan keduniawian terus muncul dalam diri Pangeran Siddharta. Pangeran berkata, “Kalung mutiara ini akan menjadi imbalan bagi Kissā Gotami yang mengingatkan-Ku untuk mencari unsur pemadaman, Nibbuti.” Akhirnya, Pangeran Siddharta melepas kalung mutiara-Nya yang bernilai sangat mahal dari leher-Nya dan memberikannya kepada Kissā Gotami. Kissā Gotami sangat gembira menerimanya.



"Pangeran Siddharta Meninggalkan Istana"

Delapan Anugerah
Keluarga kerajaan saat itu sedang dalam suasana gembira, terutama Raja Suddhodana karena telah lahir cucu yang sangat dinanti-nantikan. Untuk memberikan nama kepada cucunya, diadakanlah pesta menyambut kelahiran cucunya. Sesuai dengan kata-kata yang diucapkan 

Pangeran Siddharta, cucunya diberi nama Rahula oleh Raja Suddhodana. Pangeran Siddharta yang saat itu telah memiliki tekad yang kuat untuk menjadi petapa dengan hati-hati mendekati Raja Suddhodana. 

Pangeran meminta izin agar dapat pergi meninggalkan istana dan menjadi petapa untuk mengatasi usia tua,sakit, dan kematian. Raja yang menginginkan Pangeran Siddharta menjadi raja tentu tidak mengizinkan-Nya pergi. 

“Ayah, jika saya tidak diizinkan pergi, mohon Ayah berkenan memberikan delapan anugerah kepada-Ku.” 

“Tentu saja, Anakku, aku akan memberikan apa pun permintaan-Mu. Apakah yang Kamu minta?”

“Ayah, karena Ayah tidak mengizinkan saya pergi untuk menjadi petapa agar dapat mengatasi usia tua, sakit, dan kematian, mohon  Ayah memberikan kepada-Ku delapan anugerah:
1. Agar saya tidak menjadi tua
2. Agar saya tidak menjadi sakit
3. Agar saya tidak mengalami kematian
4. Agar Ayah tetap bersama saya
5. Agar semua wanita di istana ini dan kerabatnya tetap hidup
6. Agar kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang
7. Agar semua yang hadir dalam pesta kelahiran-Ku dapat mengatasi semua nafsu keinginannya
8. Agar saya dapat mengatasi kelahiran, usia tua, dan kematian

Mendengar permintaan tersebut, Raja Suddhodana terkejut dan tidak menduganya. Tentu saja Raja tidak dapat memenuhi permintaan Pangeran Siddharta yang di luar kemampuannya. Tetapi dengan tetap berusaha mencegah kepergian Pangeran Siddharta, Raja Suddhodana mencoba membujuk-Nya, “Anakku, usiaku sekarang sudah lanjut, tunggulah dan tangguhkan kepergian-Mu sampai aku sudah mangkat.” 

“Ayah, izinkan Aku pergi selagi Ayah masih hidup karena dengan demikian kelak ketika Aku berhasil, Aku akan kembali ke kerajaan dan mempersembahkannya kepada Ayah.”

Namun demikian, Raja tetap tidak mengizinkan Pangeran Siddharta pergi. Sementara Pangeran tetap pada tekad-Nya untuk pergi menjadi petapa mencari cara mengatasi usia tua, sakit, dan kematian.


Kepergian Pangeran Siddharta
Pangeran pergi menuju istana-Nya yang megah, indah, dan nyaman, kemudian berbaring di depan istana-Nya. Saat Beliau berbaring, semua pelayan perempuan serta para gadis penari yang memiliki kecantikan bagaikan bidadari dan memiliki kulit yang bersih yang memiliki kemampuan menyanyi, menari, dan bermain musik, berkumpul di sekeliling-Nya dengan lima jenis alat musik di tangan mereka dan mulai bermain musik,menari serta menyanyi, untuk menghiburnya. Tetapi, karena letih, Ia tidak lagi dapat menikmati hiburan berupa nyanyian, tarian, dan musik. Beliau tertidur pada saat itu juga.

Pada saat bangun dari tidur-Nya, Beliau melihat para gadis penari yang tertidur. Beberapa menimpa alat musiknya di bawah tubuhnya. Air liur mengalir keluar dari mulutnya mengotori pipi serta tubuhnya. Beberapa menggemeretakkan giginya. Beberapa mendengkur. Beberapa mengoceh dalam tidurnya. Beberapa dengan mulut terbuka. Beberapa tidur tanpa mengenakan pakaian yang layak. Beberapa tertidur dengan rambut kusut berantakan. Semuanya terlihat seperti mayat yang menjijikkan di kuburan.

Menyaksikan perubahan yang menjijikkan dalam diri para gadis penari, Pangeran merenung dan menyadari bahaya dari kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian. Pangeran Siddharta kemudian mengungkapkan perasaan-Nya dengan mengucapkan: “Oh, betapa menyulitkan!” “Oh, betapa menekan!” Kejadian tersebut menyebabkan Pangeran Siddharta berkeinginan kuat untuk melepaskan keduniawian dan menjadi petapa. Beliau berpikir, “Sekarang adalah waktunya bagi-Ku bahkan hari ini juga untuk pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga.”


Pada tengah malam Pangeran Siddharta keluar dari istana. Senin malam purnama di bulan Asadha. Pangeran tiba di pintu gerbang utama kota. Beliau hendak berangkat meninggalkan istana dengan menunggangi kuda istana, Kanthaka, bersama kusirnya, Channa yang memegang ekor Kuda Kanthaka. Adapun para dewa meletakkan tangan mereka di bawah kaki kuda itu pada setiap derapnya sehingga suara derapannya tidak terdengar oleh siapa pun.


"Menjadi Petapa"

Peristiwa di Sungai Anoma
Demikianlah, mereka bertiga pergi bersama-sama. Berkat kebajikan kumpulan jasa-jasa dan keagungan Pangeran Siddharta, para dewa yang menjaga pintu gerbang kota dengan gembira membiarkan pintu gerbang tersebut tetap terbuka bagi Pangeran untuk keluar. Begitu Pangeran keluar dari pintu gerbang kota bersama Channa, Māra Vasavattã yang tidak senang dan selalu menentang dan menghalangi 

Pangeran Siddharta untuk melepaskan keduniawian. Māra menahan Pangeran dengan berusaha menipu-Nya untuk memercayai bahwa pencegahan ini adalah demi kebaikan Pangeran sendiri. Dari angkasa, dia mengucapkan:“O Bodhisattva Pangeran yang sangat bersemangat, jangan pergi melepaskan keduniawian menjadi petapa. Pada hari ketujuh dari sekarang, Roda Pusaka Surgawi akan muncul untuk-Mu.” Dia juga menghalang-halangi dengan mengatakan, “Engkau akan menjadi raja dunia yang memerintah empat benua besar yang dikelilingi oleh dua ribu pulau kecil. Kembalilah, Yang Mulia!” 

Pangeran menjawab, “Siapakah engkau, yang berbicara pada-Ku dan menghalang-halangi-Ku?” 

Māra menjawab, “Yang Mulia, aku adalah Māra Vasavattã.”

Kemudian, Bodhisattva menjawab dengan tegas: “O Māra yang sangat kuat. Aku sudah tahu bahkan sebelum engkau katakan, bahwa Roda Pusaka akan muncul untuk-Ku. Namun, Aku sama sekali tidak berkeinginan untuk menjadi raja dunia yang memerintah empat benua.Pergilah engkau, O Māra, dari sini; jangan menghalang-halangi-Ku.”

Lalu, Māra menakut-nakuti Bodhisattva dengan kata-kata berikut, “O kawan, Pangeran Siddharta, ingatlah kata-kata-Mu itu. Mulai saat ini, aku akan membuat-Mu mengenalku dengan baik, ketika pikiran-Mu dipenuhi oleh nafsu-nafsu indria, kebencian, dan kekejaman.” 

Sejak saat itu, dia selalu mencari-cari peluang untuk menggagalkan Pangeran Siddharta dan siapa pun yang mempunyai keinginan baik.Pada akhirnya, mereka mencapai tepi Sungai Anomā. Pangeran mengistirahatkan kuda-Nya di tepi sungai dan bertanya kepada Channa, 

“Apa nama sungai ini?” Ketika dijawab oleh Channa bahwa sungai tersebut adalah Sungai Anomā, Bodhisattva menganggap itu adalah pertanda baik, dan berkata, “Pertapaan-Ku tidak akan gagal, bahkan sebaliknya akan memiliki kualitas yang baik karena Anomā artinya bukan sesuatu yang rendah.” Kemudian, Pangeran menepuk Kanthaka dengan tumitNya untuk memberikan aba-aba kepadanya agar menyeberangi sungai, dan Kanthaka melompat ke sisi seberang sungai.

Setelah turun dari punggung kuda, ketika tiba di seberang sungai dan berdiri di atas pasir di tepi sungai, Pangeran menyuruh Channa, “Channa sahabat-Ku, bawalah kuda Kanthaka bersama dengan semua perhiasanKu pulang. Aku akan menjadi petapa.” Ketika Channa mengatakan bahwa dia juga ingin melakukan hal yang sama, Bodhisattva melarangnya sampai tiga kali dengan mengatakan, “Engkau tidak boleh menjadi petapa. Channa sahabat-Ku, pulanglah ke kota.” Dia menyerahkan Kanthaka dan semua perhiasan-Nya kepada Channa.

Setelah itu, dengan pedang di tangan kanan-Nya, Pangeran memotong rambut-Nya dan mencengkeramnya bersama mahkotaNya dengan tangan kiri-Nya. Rambut-Nya yang tersisa sepanjang dua jari mengeriting ke arah kanan dan menempel di kulit kepala-Nya. Sisa rambut itu tetap sepanjang dua jari hingga akhir hidup-Nya meskipun tidak pernah dipotong lagi. Potongan rambutnya kemudian dilemparkan ke angkasa bersama 
mahkota-Nya. Pada waktu itu, Sakka, raja para dewa melihat rambut Bodhisattva dengan mata-dewanya. Sakka mengambilnya bersama dengan mahkota-Nya dengan menggunakan sebuah peti permata, berukuran satu yojanā, dan membawanya ke Surga Tāvatimsa. Ia kemudian menyimpannya di dalam Cetiya Culamani yang didirikannya dan dihias dengan tujuh jenis batu permata.

Saat itu datanglah Dewa Brahmā Ghatikāra yang berasal dari alam Sorga Brahma Suddhavasa Akanittha, membawakan delapan perlengkapan yaitu, (1) jubah luar, (2) jubah atas yang disebut ekacci, (3) jubah bawah, (4) ikat pinggang, (5) jarum dan benang, (6) pisau yang digunakan untuk menyerut kayu pembersih gigi, (7) mangkuk dan wadahnya, dan (8) saringan air. Kedelapan perlengkapan itu diserahkan kepada Pangeran Siddharta.

Pangeran Siddharta melemparkan busana-Nya yang lama menggantinya dengan pakaian seorang petapa. Brahma Ghatikara pun mengambil busana yang dilempar tersebut dan membawanya ke alam Sorga Akanittha dan mendirikan sebuah Cetiya berukuran dua belas Yojanā berhiaskan berbagai macam permata tempat ia menyimpan pakaian tersebut dengan penuh hormat. Karena Cetiya itu berisi busana, disebut Cetiya Dussa.




"Masa Petapa Siddharta Berguru"

Perjumpaan dengan Raja Bimbisara
Setelah menjadi petapa, Siddharta berdiam selama tujuh hari dalam kebahagiaan pertapaan di hutan mangga yang disebut Anupiya. Siddharta kemudian berjalan kaki sejauh 30 yojanā menuju Kota Rājagaha. Tujuh hari sebelum Petapa Siddharta memasuki Kota Rājagaha untuk mengumpulkan dāna makanan, sebuah festival sedang dirayakan. Pada waktu Bodhisattva memasuki kota, Raja Bimbisāra mengumumkan dengan tabuhan genderang, “Festival telah selesai. Para penduduk harap segera kembali ke pekerjaannya masing-masing.” Pada waktu itu, para penduduk masih berkumpul di halaman istana. Sewaktu Raja membuka jendela dan melihat keluar untuk memberikan perintah yang diperlukan, dia melihat Petapa Siddharta memasuki Rājagaha dengan penuh ketenangan.

Melihat penampilan yang anggun, para penduduk Rājagaha menjadi sangat gembira. Terjadi kegemparan di seluruh kota seperti ketika Gajah Nālāgiri, yang juga disebut Dhammapāla, memasuki kota atau seperti para penghuni Alam Tāvatimsa yang ketakutan saat Raja Asura bernama Vepaciti, mendatangi tempat mereka.

Saat para penduduk Rājagaha saling berbicara, masing-masing dengan pendapatnya sendiri-sendiri, pelayan istana datang kepada Raja Bimbisāra dan melaporkan, “Raja besar, seorang yang luar biasa yang tidak seorang pun mengetahui apakah Beliau adalah Dewa atau Gandabha atau Naga atau Yakkha, sedang mengumpulkan dana makanan di Kota Rājagaha.”

Mendengar kata-kata ini, Raja yang telah melihat-Nya dari teras atas di istananya merasa penasaran dan memerintahkan menterinya, “Pergi selidiki orang itu. Jika Dia adalah Yakkha, Dia akan menghilang ketika tiba di luar kota ini. Jika Dia adalah Dewa, Dia akan berjalan di angkasa. Jika Dia adalah Naga, Dia akan masuk ke dalam tanah dan menghilang. Jika Dia manusia, Dia akan memakan makanannya di tempat tertentu.”Tiga orang menteri yang dikirim oleh Raja Bimbisāra untuk menyelidiki, mendekati, dan mengamati diri petapa. Kemudian, dua orang tetap tinggal sementara orang ketiga kembali menghadap raja dan melaporkan, “Raja besar, Petapa yang mengumpulkan dāna makanan masih duduk dengan tenang di jalan masuk ke gua yang menghadap timur di puncak Gunung Pandava. Dia sama sekali tidak merasa takut bagaikan raja singa atau raja macan atau raja sapi, setelah memakan makanan yang diperolehnya.”

Mendengar hal itu, Raja tergopoh-gopoh pergi dengan mengendarai kereta mewah menuju tempat Petapa Siddharta di puncak Gunung Pandava sejauh yang dapat dilewati oleh kereta itu. Raja kemudian meninggalkan kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Ketika dia sudah berada di dekat Petapa Siddharta, dia duduk di atas sebuah batu yang sejuk setelah meminta izin dari Petapa dan merasa terkesan oleh sikap Petapa Siddharta.

Dia berkata, “Teman, Engkau masih berusia muda. Engkau juga memiliki karakteristik baik dan jasmani yang tampan. Aku rasa Engkau pasti berasal dari kasta tinggi, kesatria murni. Aku akan menawarkan kebahagiaan istana dan kekayaan. Apa pun yang Engkau inginkan di dua negara Anga dan Magadha adalah wilayah kekuasaanku. Jadilah raja dan memerintahlah! Juga katakanlah padaku silsilah-Mu.” Demikianlah Raja menanyai  Petapa Siddharta dan menawarkan kerajaan kepada-Nya.

Petapa Siddharta memberitahukan Raja Bimbisāra bahwa Beliau berasal dari keturunan Sākya dan telah memutuskan untuk menjadi petapa; bahwa Beliau tidak tertarik dengan semua kenikmatan materi; dan bahwa, setelah menjadi petapa dengan tujuan untuk mencapai Nibbāna, Beliau akan mengasingkan diri ke dalam hutan dan mempraktikkan dukkaracariya agar dapat lebih cepat mencapai Nibbāna. Kemudian, Raja Bimbisāra menjawab, “Yang Mulia, aku telah mendengar bahwa ‘Pangeran Siddharta’, putra Raja Suddhodana, setelah melihat empat peristiwa dengan mata-Nya sendiri, pergi melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, yang akan mencapai Pencerahan Sempurna. Pemimpin tertinggi di tiga alam. Setelah menyaksikan sendiri cita-cita agung-Mu untuk mencapai Nibbāna, aku percaya bahwa Engkau akan menjadi Buddha. Yang Mulia, izinkan aku mengajukan permohonan. Ketika Engkau telah mencapai Kebuddhaan, mohon agar kunjungan pertama-Mu adalah ke negeriku!” Setelah dengan sungguh-sungguh menyampaikan undangannya, Raja Bimbisāra kembali ke kota.

Berguru pada Alara Kalama
Setelah bertemu dengan Raja Bimbisàra, Petapa Siddharta melanjutkan  perjalanan untuk mencari kebahagiaan  tertinggi (Nibbàna). Dalam perjalanan  tersebut, Beliau tiba di tempat kediaman  seorang guru agama bernama Alara dari  suku Kàlàma.



Sesampainya di tempat kediaman Alara  Kalama, Petapa Siddharta mengajukan permohonan, “O Sahabat, engkau yang berasal dari suku Kàlàma, Aku ingin menjalani kehidupan suci sesuai caramu.” Alara mengabulkan permohonan itu dengan mengucapkan kata-kata dukungan yang tulus, “O Sahabat mulia, mari bergabung bersama kami! Dengan cara yang kami jalani, seseorang yang tekun akan dapat memahami pandangan gurunya dalam waktu singkat dan dapat mempertahankan kebahagiaan.”

Dengan kecerdasan-Nya, Petapa Siddharta dapat dengan mudah mempelajari dan mempraktikkan ajaran Alara. Hanya dengan mengulangi kata-kata guru-Nya dengan sedikit gerakan bibir, Petapa Siddharta mencapai tahap di mana Beliau dapat mengatakan, “Aku telah mengerti!” Ia membuat pernyataan, “Aku telah mengerti! Aku telah melihat ajarannya!” dan pemimpin aliran beserta siswa-siswa lainnya menerima pernyataan-Nya.

Alara berkata dengan penuh kegembiraan, “Kami telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri seorang petapa yang sangat cerdas seperti diri-Mu. Adalah keuntungan besar bagi kami, Sahabat!” “Di dunia yang dikuasai oleh pikiran jahat sifat iri hati (issà) yaitu rasa cemburu yang disebabkan oleh kesejahteraan dan keberuntungan orang lain. Alara si pemimpin aliran, sebagai seorang mulia yang bebas dari rasa iri hati, secara terbuka mengungkapkan pujian terhadap Petapa Siddharta yang memiliki kecerdasan, cepat belajar yang tiada bandingnya. Sebagai seorang yang memiliki kejujuran dan keinginan untuk memuji mereka yang patut dipuji (chanda), dialah Alara, guru mulia yang memiliki kebijaksanaan tanpa cela yang patut diteladani. Setelah berusaha dan berhasil mencapai meditasi tingkat tinggi. Mula-mula berdiam dalam pencapaian itu dan menikmatinya. 

Beliau melihat dengan jelas kekurangan yang terdapat dalam pencapaian tersebut, yaitu tidak dapat membebaskan dari lingkaran penderitaan. Beliau menjadi tidak tertarik dalam melatih pencapaian ini. Karena pencapaian ini tidak dapat membebaskan dari penderitaan (Nibbana). Beliau tidak tertarik lagi dan pamit meninggalkan Alara Kalama sebagai guru pertamanya

Beguru pada Udaka Ramaputta
Setelah meninggalkan guru pertamanya yaitu Alara Kalama, Beliau pergi mengembara hingga akhirnya tiba di tempat kediaman seorang pemimpin sebuah aliran lain, Udaka putra Ràma (Uddakka Ramaputta). Beliau mengajukan permohonan ingin menjalani kehidupan suci sesuai caranya. 



Permohonan tersebut diterima dengan baik. Jika ajaran-ajaran ini dipraktikkan dengan sungguh-sungguh dengan tekun, akan memungkinkan dalam waktu singkat menguasai kekuatan batin luar biasa (abhinnà). Bila mengikuti cara dan pandangan guru (àcariya-vàda) akan hidup berbahagia.” 

Dengan cerdas dan ulet Petapa Siddharta tidak membuang-buang waktu untuk mempelajari ajaran-ajaran dan mempraktikkan latihan sehingga dalam waktu singkat Petapa Siddharta mampu mengerti dengan jelas ajaran Uddakka Ramaputta. Hal ini diakui oleh Uddakka dan siswa-siswa lainnya. Petapa Siddharta mendekati Udaka si pemimpin aliran dan bertanya, “O Sahabat, sampai sejauh manakah ayahmu, Ràma guru besar, mengatakan mengenai penembusan ajarannya oleh dirinya?” Uddakka menjawab bahwa ayahnya telah mencapai Jhàna tingkat tinggi yang disebut tingkat pencerapan pun bukan tidak pencerapan (Nevasannàvàsannàyatana Jhàna). Petapa Siddharta berkata,  “Sahabat, Aku juga telah mencapai tingkat tersebut dan berdiam di sana penuh kebahagiaan.” 

Sebagai seorang mulia yang telah bebas dari noda batin iri hati (issà) dan sifat egois (micchariya), Uddakka Ramaputta telah menyaksikan sendiri bahwa ada seorang petapa yang sangat cerdas seperti Petapa Siddharta, sehingga Uddakka berkata, “Keuntungan besar bagi kami, memiliki Sahabat seperti Anda! Akhirnya, Uddakka Ramaputta menyerahkan seluruh kelompok aliran tersebut kepada Petapa Siddharta dan mengangkat-Nya sebagai guru bagi kelompoknya. 

Pencapaian meditasi tingkat tinggi yang disebut tahap pencerapan pun dilihat dengan jelas oleh Petapa Siddharta bahwa hal ini masih berada dalam lingkaran penderitaan. Pencapaian ini tidak dapat mengakhiri lingkaran penderitaan dari usia tua, sakit, dan kematian. Akhirnya, Beliau pun meninggalkan Uddakka Ramaputta karena pencapaiannya hanyalah sebatas di alam duniawi yang belum terbebaskan dari bahaya kelahiran, usia tua, dan kematian. 


"Petapa Siddharta Menyiksa Diri"

Bertapa Bersama Lima Petapa

Petapa Siddharta pergi ke Senanigama  di Uruvela. Di tempat inilah Petapa  Siddharta bersama-sama dengan lima orang petapa, yaitu Kondanna, Bhaddiya,  Vappa, Mahanama, dan Assaji berlatih  dalam berbagai cara penyiksaan diri.  Mereka melatih diri dengan menjemur di bawah terik matahari pada siang hari dan  pada waktu tengah malam berendam di  sungai dalam waktu yang lama. Karena masih saja belum berhasil, Petapa Siddharta  lalu melakukan latihan yang lebih berat lagi. 



Ia merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya sehingga  keringat mengucur ke luar dari ketiak-ketiaknya. Demikian hebat sakit yang dideritanya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang kuat yang gagah perkasa  memegang seorang yang lemah di kepala atau lehernya dan menekan dengan  sekuat tenaga.

Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya, ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya. Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak  membawanya ke Penerangan Agung, Ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Ia  kemudian sedikit demi sedikit menahan napasnya sampai napasnya tidak lagi  melalui hidung atau mulut, tetapi dengan mengeluarkan suara mendesis yang  mengerikan melalui lubang telinga. Kemudian, timbul rasa sakit yang hebat sekali  di kepala dan di perut disusul dengan panas yang menjalar ke seluruh tubuh.

Selanjutnya, Ia berpuasa dan tidak makan apa-apa sampai berhari-hari atau  mengurangi makannya sedikit demi sedikit sampai hanya makan hanya beberapa  butir nasi satu hari. Tentu saja kesehatannya memburuk dan badannya kurus  sekali. Kalau perutnya ditekan, tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau punggungnya ditekan, perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorak hidup  dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warna  kulitnya berubah menjadi hitam dan rambutnya.


Bertemu Penyanyi Ronggeng dan Meninggalkan Cara Bertapa Menyiksa Diri
Pada suatu hari, serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk Petapa  Siddharta. Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira. Seorang di antara  mereka menyanyi dengan syair sebagai berikut.

“Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarik terlalu kendur, ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau keras.  Orang yang memainkannya yang harus pandai menimbang dan mengiranya.” 



Mendengar nyanyian itu, Petapa Siddharta mengangkat kepalanya dan  memandang dengan heran kepada rombongan penyanyi ronggeng tersebut.  Dalam hatinya Ia berkata: 

“Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa  seorang Bodhisattva (calon Buddha) mesti  menerima pelajaran dari seorang penari  ronggeng. Karena bodoh, Aku telah menarik  demikian keras tali penghidupan sehingga hampir-hampir saja putus. Memang  seharusnya Aku tidak boleh menarik tali itu  terlalu keras atau terlalu kendur.” 

Mendengar syair lagu dari serombongan penyanyi ronggeng tersebut, Petapa  Siddharta kemudian menyadari bahwa cara  ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya, tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak  pernah terpikir. Beliau berpikir;

Pertama:
“Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” 

Maka, orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah  dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para petapa  dan brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indra dan  batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak  akan berhasil.”

Kedua:
“Kalau sekiranya sepotong kayu basah  diletakkan di tanah yang kering dan seorang  membawa sepotong kayu lain (yang biasa  digunakan untuk membuat api dengan  menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku  ingin membuat api, aku ingin mendapatkan  hawa panas.” 

Maka orang ini tidak mungkin  dapat membuat api dari kayu yang basah itu  dan ia hanya akan memperoleh keletihan  dan kesedihan. Begitu pula para petapa dan brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indera dan batinya  masih ingin. Cara menikmatinya pasti juga  tak akan berhasil.” 

Ketiga:
“Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang  membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan  menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan  hawa panas.” Maka, orang ini pasti dapat membuat api dari kayu yang kering itu.  Begitu pula para petapa dan brahmana yang tidak terikat kepada kesenangan  nafsu-nafsu indra dan batinnya juga tidak terikat lagi, petapa dan brahmana itu  berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung.”

Setelah merenungkan tiga perumpamaan tersebut Petapa Siddharta mengambil  keputusan untuk mengakhiri puasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali ke  gubuknya, Petapa Siddharta terjatuh pingsan di pinggir sungai. Waktu siuman, Ia sudah tidak bisa lagi berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang penggembala kambing bernama Nanda yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga  di tepi sungai. Dengan cepat ia memberikan susu kambing sehingga dengan  perlahan-lahan tenaga Petapa Siddharta pulih kembali dan Ia dapat melanjutkan  perjalanannya ke gubuk tempat Ia bertapa. Sejak hari itu, Petapa Siddharta diberi makan air tajin (air rebusan beras yang agak kental) untuk  mengembalikan  kekuatan dan kesehatannya. Dalam waktu yang tidak lama, Petapa Siddharta sudah  dapat makan makanan yang lain sehingga kesehatannya pulih kembali.



"Petapa Siddharta dan Mara Penggoda"

Mimpi Agung Boddhisattva Siddharta
Pada malam sebelum pertemuan dengan Sujata, Petapa Siddharta mengalami lima Mimpi Agung berikut.
  1. Beliau tidur terlentang di atas dunia. Dunia tampak bagaikan tempat tidur besar dengan Gunung Himalaya sebagai bantalnya. Tangan kirinya tercelup dalam samudera timur, yang kanan di barat dan kakinya di selatan. Ini menyatakan Penerangan Sempurna oleh Tathagatha, yang diartikan akan menguasai dunia.
  2. Saat tidur ada sebuah tanaman bernama “Tiriya” tumbuh dari pusarnya, membesar menjulang tinggi dan menyentuh angkasa. Ini diartikan bahwa adalah Jalan Utama Beruas Delapan untuk mencapai Penerangan Sempurna
  3. Banyak cacing putih berkepala hitam merayap naik ke lututnya dan meliputinya. Ini diartikan di kelak kemudian hari banyak para perumah tangga berjubah putih yang datang untuk berlindung kepada Tathagatha menjadi pengikut-Nya.
  4. Empat burung yang berbeda warna datang dari empat penjuru dan menjatuhkan diri di kakinya serta menjadi putih sama sekali. Mereka adalah keempat kasta yang meninggalkan hidup berkeluarga untuk melaksanakan ajaran Tathagata dan mencapai pembebasan abadi. Artinya, suatu saat nanti Buddha mengajarkan Dhamma kepada siapa saja tanpa memandang kasta atau golongan. Siapa saja boleh dan bisa mempelajari Dhamma hingga mencapai Pencerahan Agung.
  5. Beliau berjalan di gunung yang penuh dengan kotoran binatang (pupuk) tanpa terkotori olehnya. Itulah Tathagata, yang menerima sesuatu yang dibutuhkan, tetapi menikmatinya tanpa melekat pada hal-hal itu.
Pertemuan dengan Sujuta
Setelah menyiksa diri selama 6 tahun, Petapa Siddharta mencuci mangkoknya di  tepi sungai setelah ditolong oleh seorang  gembala domba, dengan memberi makan  bubur. Namun, lima kawannya yang  bersama-sama bertapa merasa kecewa  sekali karena dengan berhenti berpuasa,  Petapa Siddharta dianggap telah gagal dalam petapaannya dan tidak mungkin  akan mencapai Penerangan Sempurna.  Mereka meninggalkan petapa Agung.  Petapa Siddharta akhirnya meninggalkan lima petapa dan menuju Taman Rusa di Benares.


Setelah pulih, Petapa Siddharta bertekad akan melanjutkan pertapaan di hutan  dekat sungai. Di tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama  Sujata. Sujata ingin berkaul kepada dewa pohon karena permohonannya supaya  diberi seorang anak laki-laki terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya untuk  membersihkan tempat di bawah pohon tempat ia akan mempersembahkan  makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon. 

Ia agak terkejut waktu pelayannya tergesa-gesa kembali dan memberitahukan: “O, Nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari kayangan untuk menerima langsung persembahan Nyonya. Beliau sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan Nyonya.”Sujata gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. 

Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wajah yang agung sedang duduk bermeditasi. Ia tidak tahu, bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah Petapa Siddharta. Dengan hati-hati, makanan ditempatkan di mangkuk dan dengan hormat dipersembahkan kepada Petapa Siddharta yang dikira Sujata sebagai dewa pohon. Petapa Siddharta menyambut persembahan ini. Setelah habis makan, terjadilah percakapan antara Petapa Siddharta dengan Sujata seperti di bawah ini. 

“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?” 

“Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada tuanku adalah cetusan terima kasihku karena Tuan telah meluluskan permohonanku agar dapat diberi seorang anak laki-laki.”

Kemudian, Petapa Siddharta menyikap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah:

“Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi petapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini aku akan memperoleh sinar terang itu.  Dalam hal ini persembahan makanmu telah banyak membantu, karena sekarang  badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu, dengan persembahanmu ini, engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. Tetapi, adikku yang baik, coba katakan apakah engkau sekarang bahagia dan apakah penghidupan yang disertai  cinta saja sudah memuaskan?”

“Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak, hatiku dengan mudah mendapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah.  Aku sudah merasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku mengurus rumah tangga, memasak, memberi sesajen kepada para dewata, menyambut suamiku yang baru pulang dari pekerjaan, apalagi sekarang dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci akan membawa berkah kalau kami kelak meninggal dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari perbuatan jahat yang berlaku bagi pada semua orang dan pada setiap waktu, sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit keluar dari pohon yang penuh racun. Apakah yang harus ditakuti oleh orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya mesti mati?”

Mendengar penjelasan Sujata itu, Petapa Siddharta menjawab:

“Kau sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu. Dalam penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari kebajikan yang lebih nyata dari kebajikan yang tinggi: meskipun engkau tidak belajar apa-apa namun engkau tahu jalan kebenaran dan menyebar keharumanmu ke seluruh pelosok. Sebagaimana engkau sudah mendapat kepuasan, semoga Aku pun mendapatkan apa yang Aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai seorang dewa, minta didoakan supaya Aku dapat berhasil melaksanakan cita-cita-Ku.”“Semoga Tuanku berhasil mencapai cita-cita Tuanku sebagaimana aku mencapai cita-citaku.”

Petapa Siddharta kemudian melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi Sungai Neranjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai, Petapa Siddharta melempar mangkuknya ke tengah sungai dengan berkata: “Kalau memang waktunya sudah tiba, mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus.”Satu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.

Godaan Mara
Setelah pertemuan-Nya dengan Sujata, Petapa Siddharta meneruskan perjalanannya di Gaya. Ia memilih tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi kemudian mempersiapkan tempat duduk di sebelah timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Di tempat itulah, Petapa Siddharta duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ke timur dengan tekad yang bulat. Ia kemudian berkata dalam hati: “Dengan disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku, dan tulang-tulangku akan musnah dan darah kuhabis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Nibbana.” 



Kemudian, Petapa Siddharta melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan objek keluar dan masuknya napas. Tidak seberapa lama pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan kepada benda-benda duniawi; tidak menyukai penghidupan suci yang bersih dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa; keinginan yang sangat dan melekat kepada benda-benda; malas dan tidak suka mengerjakan apa-apa; takut terhadap jin-jin, hantu-hantu jahat; keragu-raguan, kebodohan, keras kepala, keserakahan; keinginan untuk  dipuji dan dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal; tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain.

Perjuangan hebat dalam batin Petapa Siddharta melawan keinginan dan nafsu-nafsu tidak baik, digambarkan sebagai perjuangan melawan dewa Mara yang jahat. Mara menakut-nakuti, menggoda dengan janji-janji kenikmatan duniawi. Akan tetapi, Petapa Siddharta tetap diam dan tak tergoyahkan.

Pada saat itu muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi Petapa Siddharta memperoleh Penerangan Agung, disertai balatentaranya yang mahabesar. Balatentara itu ke depan, ke kanan, dan ke kiri lebarnya 12 league dan ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9 league. 

Mara sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat balatentara yang demikian besar datang semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling Petapa Siddharta, seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala, dan lain-lain, cepat-cepat menyingkir dari tempat itu. Petapa Siddharta ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh kesempurnaan 
kebajikan (Paramita) yang sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti Petapa Siddharta dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang mengerikan ternyata gagal semua. Akhirnya, Mara menyambit dengan Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang bergantung dan melindungi kepala Petapa Siddharta.


Di sinilah tiga orang anak Mara yaitu, Tanha, Arati, dan Raga masih berusaha untuk mengganggu-Nya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang memabukkan berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Buddha. Tetapi Buddha memejamkan mata-Nya dan tidak mau melihat sehingga akhirnya tiga anak mara itu meninggalkan Buddha. 

Bumi telah menjadi saksi, bahwa Petapa Siddharta lulus dari semua percobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala berlutut di hadapan Petapa Siddharta dan Mara menghilang, lari bersama-sama dengan balatentaranya. Para dewa yang menyingkir sewaktu Mara tiba dengan balatentaranya datang kembali dan semua bersuka cita dengan keberhasilan Petapa Siddharta. Setelah berhasil mengalahkan Mara.