Perang Bosnia: Konflik Etnis Menuju Kemerdekaan (1991-1995)

Tanggal 6 April 1992, Bosnia-Herzegovina diakui sebagai negara merdeka oleh Masyarakat Eropa. Sistem pemerintahan yang digunakan adalah demokrasi parlementer, dengan ibu kota di Sarajevo. Bosnia terdiri dari persekutuan dua wilayah utama, yaitu Republik Sprska serta Federasi Bosnia dan Herzegovina. Kata "Bosnia" diambil dari nama sungai yaitu Sungai Bosnia, sedangkan "Herzegovina" dinisbatkan kepada Herzeg Steveno Kasic, nama penguasa wilayah ini pada abad ke-15. Mayoritas penduduk Bosnia beragama Islam yang mencapai 45 % dari jumlah total seluruh penduduk Bosnia. Pemeluk Kristen Ortodoks yang berjumlah sekitar 31 % merupakan keturunan etnis Serbia. Sisanya sebanyak 18 % beragama Katholik adalah keturunan etnis Kroasia yang pernah hidup di bawah kekuasaan Kerajaan Austro-Hongaria.




Hampir seluruh wilayah Bosnia berbatasan dengan daratan kecuali pesisir pantai Laut Adriatik sepanjang 20 km yang berpusat di kota Neum. Republik ini berbatasan dengan Kroasia di sebelah utara dan barat, Serbia di sebelah timur, dan Montenegro di sebelah Selatan. Total luas wilayahnya yaitu sekitar 51.129 km2. Kondisi geografis Bosnia-Herzegovina sebagian besar berupa pegunungan dan sebagian besar masyarakatnya hidup di wilayah pedesaan. Kota-kota besar berada di dataran rendah yang dikelilingi bukit-bukit. Bosnia juga memiliki sejumlah pemandangan alam berupa salju yang eksotis sehingga negara ini pernah menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 1984.

Letaknya yang strategis membuat kerajaan-kerajaan besar di sekitar Bosnia tak henti-hentinya berebut kuasa dan bersaing menanamkan hegemoni. Turki Usmani mulai menancapkan kekuasaan di wilayah Balkan sejak 1453. Turki Usmani menguasai Bosnia lebih dari empat abad dan baru berakhir tahun 1878 setelah Serbia yang dibantu kekuatan Kerajaan Austro-Hongaria berhasil mengalahkan Turki. Bosnia kemudian diambil alih oleh Kerajaan Austro-Hongaria dan menjadi bagian kerajaan tersebut sampai tahun 1918. Ketika berada di bawah kekuasaan Kerajaan Austro-Hongaria, Bosnia terlibat suatu peristiwa besar yang menjadi pemicu meleusnya Perang Dunia I. Tanggal 28 Juni 1914, Pangeran Franz Ferdinand, putra mahkota Kerajaan Austro-Hongaria dibunuh oleh seseorang yang bernama Gravilo Princip di Sarajevo, ibu kota Bosnia-Herzegovina. Akibat peristiwa tersebut, negara-negara terkait saling menyatakan perang. Pasca Perang Dunia I, Bosnia menjadi bagian dari sebuah kerajaan yang dikendalikan Serbia hingga tahun 1929 dan juga bagian dari sebuah federasi yang didominasi Serbia hingga tahun 1992.

Kekuasaan Turki yang begitu lama di Bosnia, memberikan banyak dampak terhadap kehidupan rakyat Bosnia. Turki memperlakukan rakyat Bosnia dengan baik, sehingga hal ini justru membuat rakyat Bosnia masuk Islam dengan suka rela. Orang-orang Bosnia yang bersedia memeluk Islam dianakemaskan oleh penguasa Turki, sehingga menimbulkan kecemburuan bagi etnis Serbia yang Ortodoks. Kecemburuan itu semakin membesar hingga berubah menjadi kebencian yang mengakar. Serbia selalu berupaya mengusir Turki dari Bosnia dengan melakukan berbagai pemberontakan. Terhadap orang-orang Islam Bosnia, Serbia sama sekali tidak ingin disamakan karena merasa lebih unggul. Hal inilah yang memunculkan istilah "etnis Muslim" untuk membedakan antara orang-orang Ortodoks Serbia dan orang-orang Katolik Kroasia dengan orang-orang Islam. Serbia juga memberinya sebutan "Atrak" terhadap orang-orang Islam Bosnia yang artinya orang-orang Turki. Padahal sebenarnya orang-orang Islam Bosnia adalah keturunan dari etnis Serbia dan etnis Kroasia yang memilih untuk memeluk Islam.

Penyerangan terhadap negara-negara bekas Yugoslavia menjadi pilihan bagi Serbia ketika federasi tak dapat dipertahankan lagi. Besarnya jumlah etnis Serbia di Bosnia serta wilayah yang dihuni akan cukup bagi Serbia untuk mewujudkan ambisinya membangun kembali Serbia Raya dengan menggabungkannya ke dalam bekas federasi Yugoslavia yang masih tersisa. Pertahanan Bosnia yang lemah ditambah dengan dendam Serbia terhadap etnis Muslim Bosnia membuat Serbia menyerang Bosnia secara membabi buta. Bosnia mengalami penyiksaan hingga pembersihan etnis dikarenakan kondisinya sebagai Muslim yang merupakan produk dari kekuasaan Turki.



DISEINTEGRASI YUGOSLAVIA
Beberapa hal yang menyebabkan disintegrasi Yugoslavia antara lain sebagai berikut.
1. Konflik Etnis
Jiwa bangsa-bangsa Balkan memang terkenal dengan sifat keras dan gemar berperang. Hal ini merupakan akibat dari perkembangan masing-masing kelompok bangsa Slavia Selatan, sehingga wilayah Semenanjung Balkan tak henti-hentinya menjadi ajang peperangan oleh kekuasaan-kekuasaan besar di Eropa. Dapat dilihat dari Yugoslavia, yang sejak berdiri telah ditandai dengan berbagai percekcokan, terutama antara Kroasia dan Serbia.


2. Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi yang menimpa Yugoslavia sekitar periode 1980-an, merupakan konsekuensi dari masa lalu Yugoslavia. Ketika Tito berkuasa, ia menerapkan sistem ekonomi pasar atau sistem ekonomi swakelola yang umumnya berkembang di negara-negara liberal.


3. Krisis Kepemimpinan
Federasi Komunis Yugoslavia didirikan atas kerja keras lima pendekar komunis. Mereka adalah Joseph Broz Tito dari Kroasia, Edward Kardelj dari Slovenia, Alexander Rankovic dari Serbia, Milovan Djilas dari Montenegro, dan Mosa Pijade seorang keturunan Yahudi. Tak ada satupun dari pendekar komunis rekan Tito yang berhasil dibina dan dipersiapkan menjadi penggantinya untuk menjaga stabilitas Yugoslavia.


4. Pengaruh Negara-negara Eropa Timur
Baik Uni Soviet maupun Yugoslavia juga mengalami keruntuhan dalam waktu yang hampir sama. Uni Soviet runtuh pada 31 Desember 1990 dan pada tahun-tahun berikutnya satu per satu republik bagian Yugoslavia memisahkan diri dari federasi Yugoslavia.

Yugoslavia merupakan negara yang terdiri dari beraneka ragam etnis yang merupakan bagian dari rumpun bangsa Slavia Selatan. Proporsi dari masing-masing etnis yang mendiami Yugoslavia adalah Serbia (36, 3 %), Kroasia (19, 7%), Bosnia (8, 9 %), Slovenia (7, 8 %), Albania (7, 8 %), Makedonia (6, 0 %), dan Montenegro (2, 5 %). Setiap etnis menempati wilayah yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan yang dialami oleh masing-masing etnis tersebut.

Yugoslavia semakin kesulitan menemukan jalan keluar untuk semua permasalahan yang tengah dihadapinya. Pasca proklamasi Kroasia dan Slovenia, Bosnia-Herzegovina mengumumkan akan mengikuti jejak keduanya untuk melakukan referendum. Pihak Muslim Bosnia dan Kroasia Bosnia dengan dukungan partai-partai oposisi menyelenggarakan referendum pada tanggal 1 Maret 1992. Sekitar 64 % atau dua per tiga dari warga Bosnia menyetujui Bosnia-Herzegovina memisahkan diri dari federasi menjadi negara merdeka.


PROSES PERANG BOSNIA
Semenjak terdengar niat republik bagian Bosnia untuk memisahkan diri dari federasi Yugoslavia, etnis Serbia-Bosnia yang dipimpin oleh Radovan Karadzic telah membentuk "Daerah Otonomi" pada Mei 1991 dan parlemen pada bulan Oktober 1991 yang akhirnya dideklarasikan pada tanggal 27 Maret 1992. Karadzic yang berkoordinasi dengan Slobodan Milosevic dari Serbia telah menyudutkan posisi Muslim hingga tak berdaya. Melihat lemahnya pertahanan yang dimiliki etnis Muslim, etnis Kroasia yang sebelumnya menyetujui pembentukan federasi Muslim-Kroasia tidak lagi mendukung gagasan tersebut. Etnis Kroasia berpendapat bahwa bekerjasama dengan etnis Muslim hanya akan membawa kerugian di pihaknya.

Kondisi Muslim Bosnia yang kian melemah akibat kehilangan sekutunya Kroasia, semakin diperparah dengan terjadinya perpecahan dalam tubuh etnis Muslim sendiri. Friket Abdic memproklamasikan pemerintahan otonomi di Provinsi Bihac dan menetapkan diri sebagai presiden dari Provinsi Otonomi Bosnia Barat (Autonomous Province of Western Bosnia). Alija Izetbegovic memutuskan untuk mengirimkan pasukan guna menghentikan gerakan Abdic di barat Bosnia. Perpecahan demi perpecahan yang dialami Bosnia rupanya menjadi peruntungan tersendiri bagi pasukan tempur Serbia.

Komposisi masyarakat Bosnia dengan sekitar 31 % merupakan etnis Serbia menjadi lahan subur bagi berkembangnya ideologi nasionalisme Serbia Raya yang dihidupkan kembali oleh Milosevic. Milosevic melakukan propaganda terhadap etnis Serbia-Bosnia melalui Radovan Karadzic agar etnis Serbia di Bosnia turut serta dalam mewujudkan cita-cita pembentukan Serbia Raya dari puing-puing Yugoslavia. Negara tersebut terdiri dari Serbia dan Montenegro yang memproklamirkan diri sebagai federasi Yugoslavia baru pada tanggal 27 April 1992, kemudian ditambah beberapa wilayah melalui aneksasi dari sebagian Kroasia dan Bosnia yang dihuni oleh etnis Serbia. Keinginan tersebut hanya dapat diwujudkan melalui proyek etnic cleansing lain di wilayah-wilayah yang hendak tergabung sebagai penerus Yugoslavia tersebut. Pencetus adanya proyek pembersihan etnis ini adalah Vojislav Seselj.

Karakteristik umum dari operasi pembersihan adalah penyisihan secara sistimatis dari tokoh masyarakat seperti kaum terpelajar, anggota SDA, dan para konglomerat. Pembersihan etnis Muslim Bosnia diawali dengan pengepungan desa tertentu kemudian menutup akses keluar dan masuk wilayah ini. Seluruh penghuni desa tersebut diminta keluar lalu dikumpulkan kemudian militer Sebia melucuti senjata kaum Muslim. Kaum wanita dan anak-anak dipisahkan dari kaum laki-laki. Wanita dan anak-anak diperbolehkan pergi setelah barang-barang berharga miliknya dirampas, sementara kaum laki-laki digiring untuk dijejalkan ke dalam kamp konsentrasi yang telah disiapkan oleh etnis Serbia.


Menyaksikan pembantaian dan pemerkosaan terhadap warga Bosnia, Dewan Keamanan PBB terutama Inggris dan Perancis tetap menolak untuk menghukum Serbia secara militer. Tampaknya keinginan mempertahankan bentuk pemerintahan berdasarkan mozaik etnis Bosnia tersebut terlalu indah untuk diwujudkan. Berbagai sanksi yang dilayangkan terhadap Serbia pun nyatanya tidak mempengaruhi sedikitpun di medan perang. Akan tetapi, serangan Serbia yang tidak juga berhenti itu setidaknya telah membuat sebagian anggota NATO menyarankan untuk mengambil tindakan keras terhadap Serbia.

Ultimatum NATO dikeluarkan pada tanggal 10 Februari 1994. Sejak itulah mulai tampak adanya keseriusan dalam penanganan konflik berkepanjangan antara tiga etnis penghuni negara Bosnia-Herzegovina ini. Hal itu diimbangi dengan melakukan tiga kali gelombang serangan udara selama tahun 1994. Serangan pertama terjadi pada tanggal 1 Maret 1994, serangan kedua terjadi pada tanggal 10 dan 11 April 1994, serta serangan ketiga pada bulan Novenber 1994. Menyadari bahwa NATO mulai berupaya secara maksimal untuk menghentikan perang membuat Serbia makin mengintensifkan pula pengepungan terhadap wilayah yang telah ditetapkan sebagai zona aman. Sejumlah kota seperti Sebrenica, Goradze, dan Tuzla hampir sepenuhnya dibawah kontrol Serbia.

Serbia rupanya terlalu kuat hingga tidak juga mau mematuhi perintah PBB. Sekitar 60 pesawat tempur NATO yang didukung oleh pasukan reaksi cepat PBB menyerang posisi-posisi militer Serbia-Bosnia pada tanggal 30 Agustus 1995. Serangan tersebut terus berlanjut hingga tanggal 3 September.

Gelombang serangan udara NATO ini terus berlanjut hingga pertengahan September. Kondisi yang terjepit membuat Serbia-Bosnia menyatakan kesediaannya untuk menarik mundur senjata-senjata beratnya dari Sarajevo. Mereka juga menyatakan kesediaannya untuk melakukan gencatan senjata. Momentum yang bagus ini dimanfaatkan oleh PBB dan NATO untuk kembali memaksa Serbia-Bosnia maju ke meja prundingan.

Beberapa perundingan untuk mengatasi konflik bosnia antara lain yaitu:
1. Rencana Vance-Owen
Rencana Vance-Owen dirumuskan oleh Lord Owen, perwakilan Masyarakat Eropa dan Cyrus Vance, perwakilan PBB pada akhir Oktober 1992. Vance-Owen akan membagi Bosnia menjadi sepuluh provinsi otonom yaitu tiga untuk Muslim, tiga untuk Kroasia, tiga untuk Serbia, dan ibukota Sarajevo sebagai daerah netral.


2. Owen-Stoltenberg
Rencana ini digagas oleh Thorvald Stoltenberg dengan Cyrus Vance. Rancangan ini akan memberikan Serbia sebanyak 53 % dari wilayah Bosnia, Muslim sebanyak 30 %, dan Kroasia sebanyak 17 %.


3. Kelompok Penghubung
Contact Group atau Kelompok Penghubung yang terdiri Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, dan Amerika pada. Rencana perdamaian ini akan memberikan 51 % wilayah kepada Federasi Muslim-Kroasia, sementara sisanya sebesar 49 % akan diberikan kepada Serbia-Bosnia.


4. Perjanjian Dayton
Seiring gencarnya serangan udara NATO, kelompok kontak menyelenggarakan perundingan damai di Jenewa yang dihadiri oleh Serbia, Kroasia, dan Bosnia. Perundingan Jenewa ini kembali menegaskan pembagian wilayah Bosnia sebesar 51% untuk federasi Muslim-Kroasia dan siasanya sebesar 49 % untuk Serbia-Bosnia. Setelah dilakukan diskusi secara intensif, sebuah kesepakatan yang menyatakan untuk mengakhiri konflik diumumkan pada tanggal 21 November 1995 di Dayton, Amerika. Hasil perundingan tersebut ditandatangani di Perancis tanggal 14 Desember 1995.


DAMPAK PERANG BOSNIA
Federasi Yugoslavia semula beranggotakan enam republik bagian dan dua provinsi otonom. Enam republik bagian itu adalah Serbia, Montenegro, Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina, dan Macedonia, ditambah dengan dua provinsi otonom dari republik Serbia yaitu Kosovo dan Vojvodina. Disintegrasi yang dilakukan masing-masing republik bagian memberikan dampak tersendiri.


Perang Bosnia yang terjadi selama hampir empat tahun telah menyisakan dampak yang begitu hebat. Nilai kerugian akibat perang ini tak terhitung lagi dengan angka. Lebih dari 150.000 orang meninggal, lebih dari dua juta jiwa terusir dari rumahnya, gedung-gedung hangus terbakar, serta ratusan masjid dan gereja hancur tak berbentuk lagi. Jumlah itu terus bertambah seiring adanya penemuan dan identifikasi terhadap korban yang dibuang setelah dibunuh oleh milisi Serbia. Setiap desa maupun kota yang semula dihuni ribuan penduduk dari berbagai etnis menjadi tampak lengang. Hanya tinggal beberapa yang masih bertahan di zona aman. Sebagian penduduk dibinasakan, sebagian lain terusir dari tempat tinggal mereka sendiri. Mereka yang terusir tak tahu harus kemana melangkahkan kakinya.

Upaya perdamaian untuk menyelesaikan konflik Bosnia juga dilakukan sejumlah organisasi internasional berikut:
1. ME (Masyarakat Eropa)
Disintegrasi Uni Soviet dan Yugosavia telah melahirkan tiga konsekuensi yang nyata bagi ME (Masyarakat Eropa), yaitu: (1) kedua peristiwa tersebut telah mengalihkan perhatian ME dari urusan-urusan yang berkaitan dengan proyek ekonomi Eropa dan perluasan keanggotaan ME, (2) semakin memperjelas pengaruh Jerman dalam kebijakan-kebijakan ME, (3) munculnya kecenderungan untuk melakukan diplomasi dan kebijakan luar negeri bersama di kalangan negara-negara ME.


2. PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
PBB memutuskan untuk mengeluarkan Yugoslavia dari badan dunia tersebut pada tanggal 24 September 1992. Semenjak itu permasalahan negara-negara bekas Yugoslavia ini menjadi maslah PBB. Badan perdamaian dunia ini secara aktif mensponsori perundingan-perundingan damai yang selalu dihimbau masyarakat internasional. Upaya PBB bagi Bosnia dinilai sejumlah pihak tidak terlalu efektif karena kurangnya ketegasan sanksi terhadap Serbia. Perundingan yang dilaksanakan tanpa adanya tekanan militer tidak akan banyak mengubah keadaan. Sejumlah pasukan pelindung PBB yaitu UNPROFOR ditugasi untuk melindungi masyarakat sipil Bosnia dari serangan Serbia.


3. NATO (North Atlantik Treaties Organisations)
Semula NATO dibentuk sebagai benteng pertahanan Eropa dari ancaman komunis Uni Soviet. Kasus Bosnia-Herzegovina menjadi salah satu implementasi dari keberadaan organisasi ini. Suksesnya ultimatum NATO pada Februari 1994 ini diharapkan akan menjadi gencatan senjata secara menyeluruh. Sebagai kelanjutan aksi tersebut NATO mengupayakan serangan udara terhadap markas-markas persenjataan Serbia. Serangan udara tersebut cukup efektif karena berhasil membuat Serbia bersedia menyepakati perundingan damai.


4. OKI (Organisasi Konferensi Islam)
Aksi solidaritas terhadap pembantaian yang menimpa Bosnia tidak hanya dilakukan negara-negara Barat. Merasa satu keyakinan dengan etnis Muslim, sejumlah negara Islam yang tergabung dalam OKI turut mengupayakan perdamaian bagi Bosnia. OKI tampak beberapa kali melakukan perundingan. Negara-negara anggota OKI juga siap memasok senjata untuk Bosnia. Tampaknya jika Barat tidak benar-benar bertindak, anggota OKI tidak hanya akan berbicara dalam perundingan. Pengiriman senjata dan campur tangan anggota OKI dapat dipastikan akan segera dilakukan yang akan mengobarkan perang lebih besar.


5. Indonesia dan GNB (Gerakan Non Blok)
Presiden Izetbegovic menyempatkan diri berkunjung ke Jakarta untuk meminta bantuan kepada Indonesia. Tarmizi Taher, Menteri Agama yang menjabat kala itu menyatakan hanya dapat memberikan bantuan doa untuk perjuangan rakyat Bosnia. Keengganan presiden Soeharto, untuk mengirim pasukan disebabkan Indonesia tidak ingin dianggap negara Islam oleh dunia. Presiden Suharto yang menjabat kala itu akhirnya mengirimkan pasukan Kontingen Garuda XIV yang dipimpin Letkol Eddi Budianto. Jumlah dan kemampuan pasukan Indonesia memang tidak seberapa namun setidaknya telah menunjukkan adanya solidaritas terhadap sesama Muslim.


Penulis: Sri Sumartini (UNY)



0 Response to "Perang Bosnia: Konflik Etnis Menuju Kemerdekaan (1991-1995)"

Post a Comment