Legenda Putri Junjung Buih


Alkisah, pada zaman dahulu di Kalimantan terdapat kerajaan bernama Negara Dipa. Pendiri kerajaan Negara Dipa bernama Ampu Jatmika seorang pedagang dari Jawa. Setelah menjadi raja Ampu Jatmika bergelar Maharaja di Candi.

Ampu Jatmika mempunyai dua orang anak laki-laki yaitu Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat. Setelah sekian lama menjadi raja, Ampu Mandastana menyadari bahwa dia bukanlah keturunan bangsawan sebab di adalah seorang pedagang yang merupakan keturunan pedagang. Padahal, sebagai kerajaan Negara Dipa haruslah dipimpin seorang raja keturunan bangsawan. Ampu Jatmika menyadari, apabila persyaratan seorang menjadi raja haruslah keturunan raja dilanggar, maka malapetaka akan mendera kerajaan Negara Dipa.


Begitulah. Setelah Ampu Jatmika menyadari akan pentingnya seorang raja haruslah keturunan bangsawan dan menyadari dirinya semakin tua, Ampu Jatmika memanggil kedua anaknya, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat. Kepada kedua anaknya, Ampu Jatmika berpesan, apabila Ampu Jatmika meninggal Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat tidak berhak menjadi raja Negara Dipa. Ampu Jatmika menegaskan: “Kalau aku (Ampu Jatmika) kelak meninggal, kalian (Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat) jangan menjadi raja Negara Dipa.

Ampu Jatmika menegaskan bahwa keluarga mereka bukanlah keturunan bangsawan. Kerajaan Negara Dipa harus dipimpin keturunan bangsawan. Untuk itu, Ampu Jatmika menugaskan kedua putranya: “Kalau aku meninggal, kalian harus mencari penggantiku.” Setelah menyampaikan pesannya, Ampu Jatmika meninggal. Setelah Ampu Jatmika meninggal, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat, menunaikan amanat ayahnya mencari penganggti ayahnya sebagai raja Negara Dipa. 

Guna menunaikan tugas mencari penganti ayahnya, Lambung Mangkurat balampa. Dalam balampa Lambung Mangkurat mendengar suara yang mengatakan bahwa nanti akan ada seorang wanita cantik yang muncul dari dalam air dan wanita tersebut akan menjadi raja di kerajaan Nagara Dipa.

Setelah mendengar bisikan ghaib tersebut, Lambung Mangkurat mulai mengerjakan segala sesuatunya. Ia membuat lanting dari 14 batang pohon pisang yang disusun dan diikat, kemudian Lambung Mangkurat membuat atap lanting menggunakan kain putih lalu menggantung mayang pinang sebagai hiasan lanting. Singkatnya, semua yang diminta oleh bisikan ghaib itu dituruti Lambung Mangkurat.

Tibalah waktu yang dinanti, Lambung Mangkurat berpakaian serba putih mulai berlayar menggunkan lanting pohon pisang. Semua yang ditemuinya saat berada di atas lanting tidak ia hiraukan. Tidak lama kemudian, air di sekitar lanting yang dinaiki Lambung Mangkurat mulai berputar membentuk pusaran. Namun pusaran yang terbentuk itu hanya bertahan singkat, air disekitar lanting kembali menjadi tenang. Lalu setelah air tadi tenang muncul buih-buih, dari buih itu terdengar suara perempuan memanggil Lambung Mangkurat. Terjadilah percakapan di antara mereka (Lambung Mangkurat dengan suara perempuan yang keluar dari buih itu), percakapan mereka diakhiri dengan persyaratan yang diajukan oleh perempuan ghaib itu kepada Lambung Mangkurat.

Persyaratan yang diajukan berupa pembuatan mahligai yang tiangnya dari batang pohon batung yang sudah di rajah dan selembar kain kuning yang dijahit oleh empat puluh gadis. Kesemuanya itu harus diselesaikan dalam waktu sehari. Setelah bersedia memenuhinya, Lambung Mangkurat bergegas kembali dan mulai memerintahkan bawahannya untuk berbagi tugas dalam menyiapkan segala sesuatunya. 

Mahligai pun dibuat dari pitung batang pohon batung yang telah dirajah di ambil dari Gunung Batu Piring, selembar kain kuning yang panjangnya pitung dapa juga dibuat secara bersamaan oleh keempat puluh gadis dalam waktu sehari semalam. Setelah semua permintaan Putri Junjung Buih terpenuhi, maka tidak lama kemudian ia dinobatkan oleh Lambung Mangkurat dan masyarakat Negara Dipa menjadi Raja Putri.

Setelah sekian lama Putri Junjung Buih menjadi Raja Putri di Negara Dipa, Lambung Mangkurat merasa perlu mencarikan seorang raja yang akan menjadi pasangan Putri Junjung Buih dalam memerintah kerajaan. Lambung Mangkurat pun menyampaikan niatnya kepada Putri Junjung, sang Raja Putri menyetujuinya tapi dia mengajukan syarat agar calon pasangannya adalah anak hasil tapaan raja Majapahit di benua seberang.

Keesokan malamnya, Lambung Mangkurat bermimpi bertemu Ampu Jatmika, ayahnya memberitahu agar Lambung Mangkurat melakukan perjalanan ke seberang benua untuk menemui dan menjemput anak raja hasil tapaan bernama Radin Putra. Maka saat persiapan sudah matang, berangkatlah Lambung Mangkurat menuju ke pulau seberang.

Lambung Mangkurat meminta persetujuan Raja benua seberang untuk membawa Radin Putra ke Negara Dipa supaya dapat disandingkan dengan Raja Putri Negara Dipa. Raja benua seberang tersebut menyetujuinya, Radin Putra pun di bawa Lambung Mangkurat ke Negara Dipa. Dalam perjalanan pulang terjadi keanehan, kapal besar yang ditumpangi Lambung Mangkurat, Radin Putra dan awak lainnya kandas. Padahal kapal besar dinamakan Prabayaksa tidak biasa kandas. Radin Putra berkata kalau itu adalah ulah dari Putri Junjung Buih yang ingin menguji kesaktian dirinya (Radin Putra), maka sang Raja Putri mengirim empat naga putih untuk menahan kapal Prabayaksa.

Setelah memberitahu hal tersebut, Radin Putra langsung terjun ke laut guna melawan empat naga putih anak buah Putri Junjung Buih itu. Konon selama Pitung hari lamanya Radin Putra melawan empat naga tersebut baru berhasil mengalahkannya. Karena sudah berhasil, maka Raden Putra keluar dari air dan naik ke atas kapal dengan gagah perkasa. Setelah kejadian itu, Raden Putra bergelas Pangeran Surianata.

Lambung Mangkurat meneruskan perjalanan kembali menuju Negara Dipa. Sesampainya di sana, mereka disambut rakyatnya atas keberhasilan membawa calon pendamping Raja Putri Junjung Buih. Tak lama kemudian, diadakanlah acara perkawinan antara Pangeran Surianata dengan Putri Junjung Buih.

Pangeran Surianata diangkat menjadi raja di Kerajaan Negara Dipa dengan permaisurinya Putri Junjung Buih. Tahun demi tahun berlalu, pasangan ini dikaruniai dua orang putra. Putra pertama bernama Raden Suriaganggawangsa, putra kedua bernama Raden Suriawangsa.

Untuk mensyukuri kelahiran kedua putranya, Raja Surianata dan Ratu Junjung Buih mengadakan acara di Kerajaannya. Semua rakyat diundang dalam acara tersebut, di situ Raja dan permaisuri berpesan kepada semuanya supaya memelihara kerajaan mereka, hidup rukun satu sama lain. Apabila orang yang kesusahan berikanlah pertolongan.

Legenda Putri Junjung Buih ini mengisahkan kepatuhan seorang anak kepada orang tuanya. Hal itu di gambarkan dengan kepatuhan Lambung Mangkurat yang selalu menuruti setiap pesan Ampu Jatmitka (ayahnya). Selain kepada orang yang lebih tua, kepatuhan itu juga ditunjukkan kepada pemimpinnya. Dalam Legenda Junjung buih juga berkisah tentang kerjasama, saling menghargai dan membantu satu sama lain. Amanat yang dapat diambil dari tema di atas adalah patuhilah orang tua  maupun pemimpin kita, saling menghargai dan membantu satu sama lain, lalu hidup rukunlah bersama.

Sumber: Kisah Rakyat Banjar