Karakter anak pertama kali dibentuk oleh kepribadian ayah atau ibunya. Genetik/turunan bisa mempengaruhi kepribadian anak, baik itu berupa bentuk dan rupa tubuh maupun sifat-sifat moral dan spiritual. Sifat buruk bisa menurun kepada anak, khususnya apabila terstimulan oleh sikap orang tua dan lingkungan.
Seorang ibu harus tahu bahwa masa kehamilan adalah masa yang sensitif dan menentukan nasib masa depan anaknya. Segala persoalan moral dan spiritual yang dilaluinya semasa hamil akan beralih kepada janin yang ada di perutnya.
Ibu yang menerima akan bersyukur dan merawat dengan bahagia. Ia akan menjauhi makanan haram, maksiat, dan dosa. Ini akan menyebabkan berpindahnya sifat baik ibu pada janinnya kelak, seperti kasih sayang, murah hati, dan rendah hati. Fisiknya pun akan berkembang baik.
Sebaliknya, ibu yang menolak, akan menyesal dan tertekan. Ia bisa menjadi kurang perhatian dalam merawat kehamilannya atau bahkan berusaha menggugurkannya. Tentu hal ini akan mengakibatkan perkembangan yang negatif.
Seorang bayi lahir ibarat makhluk mungil yang dikelilingi raksasa-raksasa dari dunia lain yang sama sekali baru baginya. Sungguh tidak nyaman. Keterbatasannya memaksa ia sangat bergantung fisik maupun psikis. Ia adalah amanah yang dititipkan Tuhan.
Pada masa ini sebaiknya ibu memberikan air susunya karena air susu ibu/ASI adalah hak anak. ASI memberi dampak langsung dan mendalam terhadap kesehatan jasmani dan rohani anak. Kondisi makanan dan kejiwaan ibu pengaruhnya juga beralih dari air susu yang diberikan ibu kepada anaknya. Jika ibu gelisah dan bergunjing saat menyusui, ia menularkan perilaku itu kepada anaknya. Apalagi jika ibu depresi, anak akan mengalami trauma psikis yang nantinya pun rentan untuk depresi.
Perkembangan selanjutnya akan banyak dipengaruhi oleh kasih sayang dan kekompakan dalam keluarga. Kondisi di rumah menjadi awal dari banyak hal. Sedikitnya waktu yang disediakan dan ketidakpedulian kepada anak berpengaruh pada lemahnya ketahanan mental anak. Kasus perceraian menimbulkan kecemasan, kesedihan, dan kehilangan yang mendalam dalam jiwa anak. Tidak adanya kesepakatan dalam mendidik juga akan membingungkan anak dalam berprinsip dan bersikap.
Apabila anak melihat ayah mencaci ibunya dengan kata-kata keji, perlahan-lahan ia terbiasa dengan kebencian dan rasa kasih sayangnya akan hilang. Krisis dalam keluarga akan menimbulkan sikap ketidakpedulian terhadap lingkungan dan kurang belas kasih kepada sesama.
Sekadar kasih sayang dan perhatian saja tidak cukup. Ini karena seorang anak adalah unik. Meskipun banyak yang menganggap anak itu miniatur orang dewasa, pola pikirnya berbeda. Cara berpikirnya masih sederhana. Dunianya adalah bermain. Ia belajar dengan cara bermain. Orang tua yang bijak akan berusaha menyelami dunia anak dengan ikut bermain bersamanya dan mencoba berkomunikasi dengan bahasa anak.
Agar komunikasi orang tua nyambung dengan anak, perhatikan kepribadian dan kematangan berpikirnya. Untuk anak umur tujuh tahun ke bawah, gunakan bahasa yang singkat, sederhana, sekonkret mungkin. Intonasinya jelas dan jangan terburu-buru. Anak di atas tujuh tahun sudah lancar berbahasa dan bisa mengekspresikan perasaannya sehingga diperlukan sikap menghargai yang lebih nyata dari orang tua. Apabila anak mengerjakan suatu kebaikan, ucapkan hamdalah dan berterima kasihlah atas perbuatannya. Peran orang tua lebih banyak mendengarkan kemudian mengarahkan. Dengan demikian, diharapkan arahan orang tua sesuai dengan kebutuhan anak.
Tanpa sadar orang tua sering menerapkan gaya komunikasi yang negatif ketika anak berbuat salah. Contoh, seorang ibu melarang anaknya melompat pagar. Namun, anak itu tetap melompat dan terjatuh. Ia menangis keras. Si ibu pun terperanjat karena kaki anaknya terluka. Ia menyalahkan, ”Tuh, kan tadi sudah Mama kasih tahu. Enggak mau dengar sih!” Ibu juga kerap mengeluarkan bentuk kata lain yang memerintah, mengkritik, mencap, meremehkan, membandingkan, membohongi, mengancam, atau menyindir.
Padahal jika perkataan yang bersifat celaan itu terus-menerus dilakukan, menurut Elly Risman, Psi., dampaknya bisa fatal. Di antaranya kepercayaan diri anak bisa hilang. Anak merasa dianiaya, ditolak, atau diabaikan. Ia menjadi tidak mempunyai harga diri, tertekan, emosi tidak tersalurkan, hingga akhirnya frustasi terhadap orang tua. Bahkan, beberapa kasus bisa berakibat fatal. Anak memutuskan menghabisi dirinya sendiri, seperti yang kini sering terjadi.
Komunikasi yang negatif tadi juga memengaruhi perkembangan otaknya. Anak yang selalu dalam keadaan terancam sulit bisa berpikir panjang. Ia tidak bisa memecahkan masalah yang dihadapinya. Ini berkaitan dengan bagian otak yang bernama korteks, pusat logika. Bagian ini hanya bisa dijalankan kalau emosi anak dalam keadaan tenang. Apabila anak tertekan karena terus-menerus terperangkap dalam situasi yang kacau, penganiayaan dan pengabaian, input hanya sampai ke batang otak. Sikap yang timbul hanya berdasarkan insting tanpa dipertimbangkan lebih dahulu. Anak bisa berperilaku agresif, melukai diri atau bunuh diri. Perilaku ini dapat muncul tiba-tiba tanpa berpikir. Bisa juga karena anak putus asa terhadap situasi krisis yang memuncak.
Komunikasi yang negatif tadi juga memengaruhi perkembangan otaknya. Anak yang selalu dalam keadaan terancam sulit bisa berpikir panjang. Ia tidak bisa memecahkan masalah yang dihadapinya. Ini berkaitan dengan bagian otak yang bernama korteks, pusat logika. Bagian ini hanya bisa dijalankan kalau emosi anak dalam keadaan tenang. Apabila anak tertekan karena terus-menerus terperangkap dalam situasi yang kacau, penganiayaan dan pengabaian, input hanya sampai ke batang otak. Sikap yang timbul hanya berdasarkan insting tanpa dipertimbangkan lebih dahulu. Anak bisa berperilaku agresif, melukai diri atau bunuh diri. Perilaku ini dapat muncul tiba-tiba tanpa berpikir. Bisa juga karena anak putus asa terhadap situasi krisis yang memuncak.
Bagaimanapun orang tua adalah panutan utama anak di rumah. Oleh karena itu, apa pun kondisi orang tua, misalnya sedang capek, letih lesu, sakit haruslah tetap berakhlak baik. Akan lebih baik jika sikap kita tersebut diiringi ucapan doa untuk keselamatan anak. Semoga hal ini bisa menggugurkan dosa-dosa orang tuanya. Sikap ini juga bisa menjadi contoh langsung kepada anak belajar mengendalikan emosi dan mengatasi masalah. Apalagi jika di rumah ayah memaafkan kekurangan ibu atau sebaliknya. Anak juga akan belajar memaafkan, lapang dada, memaklumi, dan mengutamakan pihak lain.
Dengan demikian, akan terasa kehangatan dan terpelihara suasana yang hidup di dalam rumah. Anak akan berkembang dengan perasaan mulia, cinta, dan kasih sayang. Ia akan terjaga dari berpikir dan berperilaku buruk/merusak. Jika sebaliknya, orang tua bisa mematikan jiwa anak dan nilai spiritualnya. Makin dini dan dalam luka yang timbul pada jiwa anak, makin besar kerusakan yang timbul pada perkembangan jiwanya kelak.
0 Response to "Sikap Orang Tua Tentukan Perilaku Anak"
Post a Comment