1. Kesultanan Samudra Pasai
Kesultanan Samudra Pasai adalah kesultanan Islam pertama di Indonesia yang berdiri pada abad ke-13 M. Sultan pertamanya, yaitu Malik al-Saleh. Sebelum menganut agama Islam, sultan ini bernama Marah Silu. Sultan Malik al-Saleh beralih menganut agama Islam setelah memperistri putri Raja Perlak. Naiknya Malik al-Saleh menjadi pemimpin pemerintahan dianggap sebagai awal dari berdirinya Kesultanan Samudra Pasai. Hal ini dapat diketahui dari batu nisan Sultan Malik al-Saleh yang berangka tahun 653 H atau 1297 M. Sultan Malik al-Saleh digantikan oleh putranya Sultan Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Sultan Malik at-Thahir. Beliau memerintah sampai 1326 M.
Beliau sangat dicintai rakyat karena kebijaksanaan serta ketaatannya sebagai pemeluk agama Islam. Sepeninggal Sultan Malik at-Thahir, jalannya pemerintahan kerajaan dilanjutkan oleh putranya, yaitu Sultan Ahmad. Informasi mengenai keadaan masyarakat Kesultanan Samudra Pasai diketahui dari catatan perjalanan Marcopolo. Ia seorang pedagang Venesia yang dalam perjalanan pulangnya dari Cina singgah di Perlak (1292 M). Informasi lain juga diperoleh dari catatan Ibnu Batutah. Dalam perjalanannya dari India ke Tiongkok dan juga dalam perjalanannya pulang kembali, beliau singgah di Pasai (1326 M).
Menurut catatan perjalanan mereka, masyarakat Samudra Pasai adalah masyarakat pedagang yang beragama Islam. Terutama masyarakat yang tinggal di pesisir timur Sumatra. Namun, sebagian penduduknya terutama yang tinggal di pedalaman masih menganut kepercayaan lama. Menurut catatan, diketahui bahwa kesultanan ini menjadi pusat penyebaran agama Islam ke daerah Sumatra dan Malaka. Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang penting. Banyak kapal dari India, Tiongkok, dan daerah lain di Indonesia yang singgah dan bertemu untuk membongkar dan memuat barang-barang dagangannya. Pada 1521 M, Kesultanan Samudra Pasai dikuasai oleh Portugis selama tiga tahun. Pada akhirnya Samudra Pasai dikuasai oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari Kesultanan Aceh pada 1524 M.
2. Kesultanan Malaka
Menurut versi sejarah Melayu dan Majapahit, kesultanan ini didirikan oleh seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit bernama Paramisora. Paramisora melarikan diri dari Blambangan karena diserang oleh Majapahit dan menetap di Malaka. Bersama sejumlah pengikutnya, dia membangun Malaka dan mengembangkannya menjadi pelabuhan penting di Selat Malaka. Akibat letaknya yang sangat strategis di Selat Malaka, kesultanan ini menjadi saingan berat bagi Samudra Pasai.
Setelah memeluk agama Islam, Paramisora mengganti namanya dengan nama Islam, yaitu Iskandar Syah. Sultan pertama ini digantikan oleh Muhammad Iskandar Syah yang menikah dengan putri dari Kesultanan Samudra Pasai. Pada masa pemerintahannya, Malaka dikunjungi oleh Ma-Huan yang menceritakan bahwa Malaka merupakan kota kecil. Sultan dan rakyatnya memeluk agama Islam dan taat beribadah. Oleh karena tanahnya tidak subur, perdagangan menjadi mata pencarian utama. Kotanya dikelilingi tembok yang pada keempat sisinya diberi pintu gerbang dan menara-menara penjagaan.
Setelah Sultan Muhammad Iskandar Syah meninggal, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Mudzafar Syah (1445–1458 M). Pada masa pemerintahannya, Malaka menjadi pusat perdagangan antara timur dan barat. Kedudukannya semakin kuat, melebihi Samudra Pasai. Bahkan, Sultan Mudzafar Syah dapat menguasai Pahang, Kampar, dan Indragiri. Berturut-turut nama-nama sultan pengganti Sultan Mudzafar Syah, antara lain Sultan Mansur Syah (1458–1477 M), Sultan Alaudin Syah (1477–1488 M), dan Sultan Mahmud Syah (1488–1511 M).
Pelabuhan Malaka menjadi pusat kegiatan ekonomi bukan hanya untuk Kesultanan Malaka, melainkan juga untuk kawasan Indonesia. Pada masa ramainya perdagangan, para pedagang Indonesia banyak yang berlabuh di Pelabuhan Malaka. Mereka melakukan transaksi dagang dengan pedagang dari Arab, Persia, Gujarat, Benggala, dan Cina. Dengan demikian, Pelabuhan Malaka juga berfungsi sebagai pelabuhan internasional.
Pada 1511 M, Kesultanan Malaka mengalami keruntuhan setelah direbut oleh bangsa Portugis di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque. Dengan demikian, kekuasaan politik Kesultanan Malaka hanya berlangsung selama kurang lebih satu abad.
3. Kesultanan Aceh
Awal berdiri dan tumbuhnya Kesultanan Aceh berkaitan dengan keruntuhan Kesultanan Malaka. Setelah Malaka jatuh pada 1511 M, banyak orang Melayu di Malaka yang menyeberang Selat Malaka dan bermukim di Aceh. Menurut sejarah Melayu, raja pertama Kesultanan Aceh ialah Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan ini berkembang selama empat abad sampai Belanda mengalahkannya dalam Perang Aceh (1873–1912 M).
Sistem perdagangan, pemerintahan yang teratur, dan terpeliharanya kebudayaan Islam merupakan faktor penting yang menyebabkan Aceh dapat bertahan sejajar dengan kesultanan-kesultanan Islam lainnya, seperti Kesultanan Turki Usmaniah dan Kesultanan Maroko.
Lokasi pelabuhan-pelabuhan Kesultanan Aceh yang strategis, menarik pedagang dari barat dan timur untuk berdagang di kesultanan ini. Para pedagang asing yang biasa bertransaksi di pelabuhan-pelabuhan Kesultanan Aceh, antara lain pedagang dari Benggala yang membawa sapi, bahan tenun, dan candu. Pedagang Pegu, Calicut, Koromandel, dan Gujarat yang membawa bahan tenun, pedagang Eropa membawa minyak wangi, serta pedagang Cina dan Jepang yang membawa porselin dan sutra. Selain lada, Aceh juga mengekspor beras, timah, emas, perak, dan rempah-rempah. Barang-barang tersebut tidak semuanya berasal dari Aceh, tetapi dari pelabuhan lain di Nusantara yang singgah di pelabuhan Aceh.
Sultan Kesultanan Aceh yang terkenal ialah Sultan Iskandar Muda. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaan. Wilayahnya, meliputi Pariaman di Sumatra Barat, Indragiri di Sumatra Timur, Deli, Nias, Johor, Pahang, Kedah, dan Perlak. Kesultanan Aceh memperkuat kedudukannya sebagai pusat perdagangan dengan menyerang kedudukan Portugis di Malaka pada 1629 M. Namun, usaha tersebut tidak berhasil karena Portugis berhasil mendatangkan bala bantuan pasukannya dari Gowa, India. Sultan Iskandar Muda wafat pada 1636 M dan digantikan oleh Sultan Iskandar Thani. Pada masa pemerintahannya, kejayaan Kesultanan Aceh semakin meningkat. Namun, berbeda dengan pendahulunya, Sultan Iskandar Thani lebih memen tingkan pengembangan di dalam negerinya. Sepeninggal Sultan Iskandar Thani, Kesultanan Aceh lambat laun mulai mengalami kemunduran. Meskipun demikian, Kesultanan Aceh dapat bertahan sampai awal abad ke-20 M.
4. Kesultanan Demak
Kesultanan Demak merupakan kesultanan Islam pertama di Jawa. Pendirinya Raden Patah, seorang putra raja Majapahit yang beristrikan seorang Cina. Perkembangan kesultanan ini sejalan dengan kemajuan pelayaran dan perdagangan di Pantai Utara Pulau Jawa serta kemunduran Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu. Demak tampil menggantikan Malaka sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam di Nusantara. Terutama setelah Malaka dikuasai Portugis pada 1511 M. Dalam penyebaran Islam di daerah kekuasaannya, Raden Patah dibantu oleh Wali Songo.
Pada 1513 M, Kesultanan Demak menyerang Portugis di Malaka. Penyerangan tersebut di bawah pimpinan Adipati Unus (Pati Unus), putra Raden Patah yang menjabat adipati di Jepara. Oleh karena usahanya, beliau mendapat gelar Pangeran Sabrang Lor. Penyerangan tersebut mengalami kegagalan karena armada Portugis lebih unggul.
Pada 1518 M, Adipati Unus naik takhta menggantikan Raden Patah dan memerintah sekitar tiga tahun. Selanjutnya, beliau digantikan oleh Sultan Trenggono. Sultan Trenggono memiliki tujuan yang sama dengan Pati Unus dan ayahnya, yaitu memperkuat kedudukan Demak dan menegakkan agama Islam. Pada masa pemerintahannya, Demak mencapai puncak kejayaan dan wilayah kekuasaannya hampir meliputi seluruh Jawa. Setelah Sultan Trenggono meninggal pada 1546 M, Joko Tingkir menantu Sultan Trenggono naik takhta dan memindahkan ibu kota Kesultanan Demak ke Pajang (1568 M).
5. Kesultanan Panjang
Pajang adalah sebuah daerah yang subur dan sangat strategis. Sultan pertamanya, yaitu Joko Tingkir yang bergelar Sultan Adiwijaya. Kesultanan ini mempunyai hubungan yang sangat baik dengan kerajaan-kerajaan di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sultan Adiwijaya memperoleh dukungan dan pengakuan atas kekuasa annya dari para penguasa daerah, seperti Kedu, Bagelen, Banyumas, dan beberapa daerah di wilayah Jawa Timur. Bahkan untuk memperkuat posisinya, Adiwijaya mengawinkan putrinya dengan Panembahan Lemah Duwur dari Aresbaya. Akibatnya, pada 1580-an Kesultanan Pajang sudah mendapat pengakuan kekuasaan yang luas.
Di antara pengikut Joko Tingkir yang paling terbesar jasanya ialah Kyai Ageng Pamanahan. Joko Tingkir kemudian memberikan hadiah sebuah daerah di sekitar Kota Gede, Yogyakarta, yaitu daerah Mataram. Oleh karena itu, beliau dikenal sebagai Kyai Gede Mataram yang kelak merintis Kesultanan Mataram. Beliau meninggal pada 1575 M. Anaknya, yaitu Sutawijaya yang dikenal sebagai Senopati ing Alaga naik takhta. Sementara itu, setelah Sultan Adiwijaya meninggal pada 1582 M, anaknya yaitu Pangeran Benowo diangkat menjadi penerus kekuasaan Pajang. Namun, ia harus menghadapi pemberontakan Arya Pangiri dari Demak yang berhasil merebut takhta Pajang.
Tindakan Arya Pangiri yang merugikan rakyat menimbulkan rasa tidak senang di kalangan rakyat. Kesempatan ini digunakan oleh Pangeran Benowo untuk mengambil alih kekuasaan. Dengan bantuan Senopati dari Mataram, dilakukanlah penyerangan terhadap Pajang. Pangeran Benowo kemudian menyerahkan takhta kepada Senopati karena merasa tidak sanggup melawan Mataram yang juga ingin menguasai Pajang. Kesultanan Pajang kemudian dipindahkan ke Mataram (1586 M) dan dimulailah riwayat Kesultanan Mataram.
6. Kesultanan Mataram
Kesultanan Mataram merupakan kesultanan Islam yang didirikan oleh Sutawijaya atau Panembahan Senopati pada 1575 M. Setelah menjadi Raja Mataram, Senopati memperluas daerah kekuasaannya, meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Cirebon, dan sebagian Priangan.
Sutawijaya wafat pada 1601 M dan dimakamkan di Kota Gede. Penggantinya ialah Mas Jolang atau disebut Panembahan Seda ing Krapyak, yang memerintah pada 1601 sampai 1613 M. Setelah Mas Jolang meninggal, Raden Mas Martapura ditunjuk sebagai pengganti ayahnya. Namun, beliau sakit-sakitan dan tidak sempat memerintah sehingga takhta diserahkan kepada saudaranya, yaitu Raden Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Senapati Ing Alaga Ngabdurrachman atau terkenal Sultan Agung (1613–1645 M).
Sultan Agung lahir dari pasangan Mas Jolang dengan Ratu Adi dari Pajang. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Mataram mencapai puncak kejayaannya. Ia bercita-cita untuk mempersatukan seluruh wilayah Jawa di bawah Kesultanan Islam Mataram. Wilayah kekuasaan Mataram pada masa pemerintahannya, meliputi seluruh Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan. Pusat
pemerintahan Mataram berada di wilayah yang disebut Kutanegara, meliputi wilayah Kedu, Pajang, dan Bagelen.
Adapun di luar wilayah kutanegara disebut wilayah mancanegara yang terbagi menjadi bagian barat dan bagian timur mancanegara, serta mancanegara pesisir. Wilayah-wilayah mancanegara dibagi menjadi beberapa kabupaten dan dikepalai oleh seorang Tumenggung atau Raden Arya. Desa dipimpin oleh seorang lurah atau petinggi dibantu oleh modin. Masyarakat Mataram dapat dibedakan menjadi empat golongan besar, yaitu sebagai berikut.
a. Kaum bangsawan terdiri atas raja dan keluarganya.
b. Kaum priyayi yang beranggotakan rakyat terkemuka.
c. Wong cilik atau kawula alit, yaitu rakyat biasa.
d. Abdi keraton, yaitu yang mengabdikan diri di kesultanan.
Sultan Agung juga dikenal sangat anti-Belanda. Ia tidak menyukai keberadaan Belanda di tanah Jawa. Ia pernah menyerang Belanda di Batavia pada 1628 M dan 1629 M. Namun, kedua serangan tersebut mengalami kegagalan karena tidak didukung perbekalan yang memadai. Akibatnya, tentara Mataram mengalami kelaparan dan berjangkitlah berbagai penyakit.
7. Kesultanan Banten
Pada awalnya, Banten merupakan pelabuhan atau bandar besar yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran. Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511 M, Kesultanan Demak sedang memperluas kekuasaannya di Pulau Jawa. Perluasan wilayah ke kuasaan merupakan salah satu usaha membangun benteng pertahan an melawan Portugis, sekaligus dalam rangka penyebaran agama Islam. Oleh karena itu, Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak pada 1522 M mengutus Fatahillah untuk menguasai Banten dengan tujuan sebagai berikut:
a. menduduki Pelabuhan Banten;
b. menyebarkan dan melindungi umat Islam yang berada di wilayah Banten;
c. mengamankan perdagangan lada dari monopoli Portugis;
d. menggagalkan dan mengusir Potugis dari Sunda Kelapa.
Fatahillah berhasil menguasai Cirebon dan Sunda Kelapa pada 1527 M. Sejak peristiwa itu, Sunda Kelapa berubah menjadi Jayakarta (Jakarta). Fatahillah memerintah Banten sementara daerah Cirebon diserahkan kepada anaknya, Pangeran Pasarean. Ketika pada 1552 M, Pangeran Pasarean wafat, Fatahillah mengambil alih pemerintahan. Sementara itu, Banten dipimpin oleh putranya bernama Hasanuddin (1552– 1570 M). Fatahillah yang tinggal di Cirebon lebih tekun mempelajari agama sampai wafat pada 1570 M dan dimakamkan di Gunung Jati.
Berkat jasa Hasanuddin, Banten berkembang menjadi kesultanan agraris dan maritim. Agama Islam dan kekuasaan Banten berkembang sampai Lampung dan Indrapura. Dalam masalah perdagangan, Banten lebih maju daripada Jayakarta. Setelah Hasanuddin wafat pada 1570 M, takhta kerajaan diteruskan oleh anaknya, Maulana Yusuf sampai 1580 M.
Secara berturut-turut, pemegang tampuk pemerintahan di Banten ialah Maulana Muhammad (1580–1605 M), di teruskan oleh Abdul Mufakhir, Abu Mali Ahmad Rahmatullah (1640–1651 M), dan Abu Fatah Abdulfatah (1651–1682 M) atau Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sangat membenci Belanda. Hal ini dibuktikan dengan usaha Sultan Ageng untuk melawan Belanda sebanyak tiga kali. Akan tetapi, anaknya sendiri Sultan Haji bekerja sama dengan Belanda untuk meruntuhkan kekuasaan Sultan Ageng. Akhirnya, Sultan Ageng ditawan Belanda dan Sultan Haji naik takhta menggantikan Sultan Ageng atas bantuan Belanda.
Dua tahun setelah Abdulnasar Abulkahar (Sultan Haji) menjadi sultan, Belanda menuntut jasa kepada
sultan. Sultan dipaksa menandatangani Perjanjian Banten yang isinya mengakhiri kekuasaan mutlak atas daerahnya sendiri. Sejak saat itu, yang berkuasa di Banten sebenarnya adalah Belanda.
8. Kesultanan Cirebon
Pada abad ke-16 M, Cirebon merupakan suatu daerah kecil di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Sultan-sultan Cirebon ialah keturunan Sunan Gunung Jati yang juga salah satu wali dari Wali Songo.
Sejak masa pemerintahan Panembahan Senopati, hubungan antara Cirebon dan Mataram terjalin dengan baik. Ketika terjadi pertentangan antara Kesultanan Mataram dan Banten, Kesultanan Cirebon berada pada posisi yang sulit. Akhirnya, timbul pertentangan antara Cirebon dan Mataram. Mataram menduga bahwa Cirebon berhubungan dengan Belanda. Kesultanan Cirebon terpecah menjadi Kasultanan Kasepuhan dan Kanoman. Sejak saat itu, secara berangsur-angsur Kesultanan Cirebon jatuh ke tangan Belanda.
9. Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar di Kalimantan merupakan kesultanan Islam yang mempunyai hubungan erat dengan Kesultanan Demak. Sultan Banjar berjanji jika Kesultanan Demak membantu mereka untuk berperang melawan Nagaradipa (Nagaradaka), ia bersama seluruh rakyatnya akan masuk Islam.
Demak memenuhi permintaan tersebut dan berperang melawan Nagaradipa. Akhirnya, Kerajaan Nagaradipa dapat dikalahkan oleh pasukan Demak. Oleh karena itu, sesuai dengan perjanjian, seluruh rakyat Banjar masuk Islam. Peristiwa ini terjadi pada 1550 M. Sultan pertama Kesultanan Banjar ialah Raja Samudra yang bergelar Sultan Suryanullah atau Suryansyah. Kesultanan Banjar mengalami kemunduran setelah wafatnya Sultan Adam pada 1875 M, ketika Belanda mulai banyak mencampuri urusan pengangkatan sultan Banjar yang baru.
10. Kesultanan Makassar
Pada awal abad ke-17, rakyat daerah Makassar, baru memeluk agama Islam. Terutama pada 1605 M, ketika kedua penguasa Kerajaan Goa dan Tallo memeluk agama Islam. Sultan Alaudin dari Goa dan Sultan Abdullah dari Tallo sangat giat meng-Islamkan rakyat dan memperluas kekuasaannya. Akhirnya, dua kesultanan kembar ini menjadi kesultanan Islam besar di Sulawesi Selatan. Pengaruh kesultanan ini dirasakan sampai ke daerah lain.
Pada saat itu, Belanda sangat tertarik untuk menanamkan pengaruhnya di Makassar. Oleh karena Makassar memiliki Sombaopu sebagai pelabuhan penting bagi pelayaran di Maluku. Dengan berbagai taktik, Belanda berusaha untuk menguasai Kesultanan Makassar. Hal ini memicu terjadinya Perang Makassar (1660–1669 M). Pada saat Sultan Hasanuddin (cucu Sultan Alaudin) memerintah, banyak rakyat Makassar yang tidak mau tunduk kepada Belanda. Mereka melakukan berbagai perlawanan dengan bergabung pada pasukan-pasukan yang anti-Belanda. Selain melakukan perlawanan terhadap Belanda, Sultan Hasanuddin juga harus menghadapi pemberontakan Aru Palaka. Aru Palaka ialah bangsawan Bone yang bersekutu dengan Belanda. Menghadapi dua musuh besar, Hasanuddin akhirnya harus tunduk pada Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Seluruh isi perjanjian tersebut sesuai dengan keinginan Belanda. Misalnya, keinginannya untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Makassar dan mendirikan benteng pertahanan di kota tersebut.
11. Kesultanan di Maluku
Kesultanan Ternate dan Tidore adalah dua kesultanan Islam yang berada di Maluku. Sunan Giri, salah satu dari Wali Songo berjasa dalam penyebaran agama Islam di daerah ini. Sultan Ternate masuk agama Islam pada 1485 M. Banyak rakyat Ternate dan Tidore yang kemudian mengikuti jejak sultannya untuk memeluk agama Islam.
Kesultanan Ternate dan Tidore merupakan daerah penghasil rempah-rempah. Kesultanan ini berkembang menjadi kesultanan maritim dan agraris (pertanian) yang maju. Namun, di antara kedua kesultanan tersebut sering terjadi persengketaan memperebutkan daerah kekuasaan di Maluku. Keadaan ini dimanfaatkan oleh bangsa-bangsa asing yang datang ke Maluku.
Pada 1521 M, Portugis memasuki Maluku dan langsung membantu Ternate. Begitu pula dengan Spanyol langsung membantu Tidore. Akibatnya, terjadilah perang di antara kedua bangsa asing tersebut. Persengketaan tersebut dapat diselesaikan melalui Perjanjian Saragosa. Isi perjanjian tersebut, yaitu Spanyol harus meninggalkan Maluku dan menguasai Filipina. Adapun Portugis untuk sementara dapat menguasai Maluku.
Penguasaan Portugis di Maluku mendapat perlawanan dari Sultan Khairun (1550–1570 M). Akan tetapi, dengan muslihat Jendral De Masquita, perlawanan Sultan Khairun dapat dipatahkan. Perjuangannya diteruskan oleh Sultan Baabullah (1570–1583 M). Usaha Sultan Baabullah mengusir Portugis berhasil pada 1575 M. Atas desakan bangsa Belanda yang merupakan musuh Portugis, akhirnya Portugis meninggalkan Maluku dan singgah di Timor Timur pada 1605 M. Dengan mudah mereka dapat menguasai pangkalan Ambon, Ternate, Tidore, dan Halmahera.
Penguasaan Portugis di Maluku mendapat perlawanan dari Sultan Khairun (1550–1570 M). Akan tetapi, dengan muslihat Jendral De Masquita, perlawanan Sultan Khairun dapat dipatahkan. Perjuangannya diteruskan oleh Sultan Baabullah (1570–1583 M). Usaha Sultan Baabullah mengusir Portugis berhasil pada 1575 M. Atas desakan bangsa Belanda yang merupakan musuh Portugis, akhirnya Portugis meninggalkan Maluku dan singgah di Timor Timur pada 1605 M. Dengan mudah mereka dapat menguasai pangkalan Ambon, Ternate, Tidore, dan Halmahera.
Selama dikuasai Belanda, rakyat Maluku merasa tertekan dengan monopoli Belanda. Belanda memonopoli hasil rempah-rempah dan untuk mempertahankan monopolinya, Belanda mengadakan pelayaran hongi. Pelayaran hongi adalah pelayaran keliling dengan perahu kora-kora untuk mengawasi peraturan monopoli perdagangan dan penanaman cengkih di Maluku yang dikeluarkan oleh Belanda. Bagi rakyat Maluku yang menyalahi aturan tersebut akan dikenakan sanksi.
Pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780–1805 M) Maluku mencapai kejayaannya dan dengan bantuan Inggris, Sultan Nuku dapat mengusir Belanda. Sejak itulah, Maluku tidak lagi diganggu oleh kekuasaan bangsa asing.
makasih mas atas infonya dan sangat bermanfaat artikelnya....
ReplyDelete