Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi menjadi lima wilayah, yaitu Kotamadya, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Bantul. Konon, kabupaten yang disebut terakhir ini mempunyai kisah tersendiri yang mengungkapkan cerita tentang Desa Karang Lo dan Karang Gayam yang terletak di sebelah timur Kali Opak.
Alkisah, di samping kesaktian yang terkenal di hampir seluruh Pulau Jawa, ternyata Senapati, pendiri Dinasti Mataram itu, juga tak henti-hentinya menghadapi pemberontakan. Salah satu di antaranya yang menyulitkannya adalah pemberontakan di bawah pimpinan Ki Ageng Mangir Wonoboyo.
Menurut beberapa informasi yang masuk, Ki Ageng Mangir Wonoboyo cukup sakti dan mempunyai pengikut berjumlah ratusan, bahkan ribuan. Oleh karena itu, jika Senapati memerintahkan penyerbuan ke wilayah Mangir, pertempuran besar tidak akan terhindarkan. Artinya, sejumlah prajurit akan gugur dan luka, serta rakyat kecil akan banyak menderita pula. Oleh karena itu, Ki Juru Mertani, penasihat Senapati, dipanggil menghadap. Kepadanya dimintakan pertimbangan bagaimana caranya menundukkan Mangir tanpa banyak meminta korban.
Mendengar permintaan Senapati yang demikian itu, Ki Juru Mertani diam sejenak, merenung. Sesaat kemudian, ia mendesah, memandang Senapati dengan mata sayu. Dikatakannya, bahwa orang yang mampu mengalahkan Ki Ageng Mangir hanyalah Ratu Pembayun ialah putri sulung Senapati yang terkenal cantik, berkulit kuning, bersih, ramah, dan senantiasa tersenyum. Tentu saja, Senapati terkejut. Bagaimana mungkin seorang wanita yang baru berangkat remaja dan sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam peperangan ditugasi untuk menaklukkan tokoh yang terkenal sakti. Ki Juru Mertani menjawab bahwa itulah saran yang dapat ia ajukan. Semuanya, akhirnya, terpulang kepada Senapati sendiri. Ditegaskan lagi oleh Ki Juru Mertani bahwa hanya Pembayun yang mampu mengalahkan Ki Ageng Mangir tanpa pertumpahan darah. Jika kelak ada korban maka korban itu hanyalah Ki Ageng Mangir sendiri. Mungkin Pembayun sedikit harus berkorban perasaan.
Sesudah panjang lebar Ki Juru Mertani menjelaskan rencananya dengan segala alasan-alasannya, akhirnya gagasan itu diterima oleh Senapati. Rapat siang itu, konon, berakhir pada pukul dua siang. Ki Juru Mertani kembali ke rumahnya dan Senapati masuk ke ruang dalam. Siang itu, Senapati tidak mempunyai selera makan. Dalam benaknya, masih berkecamuk bagaimana cara membujuk Pembayun. Ia tahu, gagasan yang cemerlang dari Ki Juru Mertani tidak terlalu mudah dilaksanakan.
Ketika santap malam usai, Senapati tidak segera beranjak dari duduknya. Kepada seorang abdi wanita, Senapati memerintahkan agar Pembayun dipanggil menghadapnya. Dengan tergopoh-gopoh, Pembayun datang, ia menghaturkan sembah, dan duduk bersila di hadapan ayahnya yang penuh wibawa itu. Senapati tidak segera mengemukakan rencananya, tetapi terlebih dahulu menjelaskan bahwa Pembayun sekarang ini sudah cukup dewasa. Dikatakan oleh Senapati bahwa siapa pun dia, jika mengaku warga Mataram, mempunyai kewajiban berbakti kepada negeri dan rakyat. Pembayun mendengarkan kata-kata Senapati dengan saksama, tetapi belum juga paham mengapa tiba-tiba ayahnya memberikan petuah seperti itu.
Sesudah dengan panjang lebar Senapati menjelaskan nilai-nilai luhur yang harus dihayati seorang putri raja, Senapati mulai menerangkan bahwa Mataram sedang dalam keadaan bahaya. Alangkah terkejut Pembayun tatkala Senapati menegaskan bahwa hanya Pembayun yang dapat membebaskan Mataram dari ancaman bahaya itu.
Dikatakan oleh Senapati bahwa telah dirancang suatu cara untuk mengatasi bahaya itu. Adapun rancangan itu, Pembayun harus menyamar menjadi penari tayub, dengan tugas membuat Ki Ageng Mangir terpikat. Untuk itu, ia harus senantiasa bersama dengan rombongan tayub di bawah pimpinan Ki Sandiguna, nama samaran dari Tumenggung Martalaya, salah seorang komandan pasukan tempur Mataram yang pernah berhasil menaklukkan wilayah Brang Wetan atau Jawa Timur. Konon, tidak hanya Pembayun saja yang akan menari, tetapi juga beberapa putri-putri lainnya di keraton yang akan menyertai, misalnya Ni Ijah, Ni Witri, dan Ni Sita. Mereka semua harus berganti nama, Pembayun harus menyebut dirinya Rara Kasihan, Ni Ijah diganti namanya menjadi Rara Kebes, Ni Witri diberi nama baru Rara Luwes, sedangkan Ni Sita menjadi Rara Ayu. Mendengar titah Senapati, Pembayun tersenyum. Tugas itu baginya sangat menarik. Hanya mungkin yang terberat, bagaimana nanti kalau Ki Ageng Mangir sungguh-sungguh tertarik; dan bagaimana kalau Pembayun sendiri juga terkena panah asmara. Dengan kata lain, ia meragukan kemampuannya untuk bermain sandiwara. Akan tetapi, dengan bujukan Senapati bahwa Pembayun tidak perlu khawatir, akhirnya lega juga hatinya.
Persiapan pun dimulai. Mereka berlatih secara diamdiam agar punggawa keraton tidak tahu. Konon, permaisuri Senapati pun tidak tahu apa yang tengah terjadi. Dikatakan oleh pemberi informasi bahwa di antara mereka yang ikut membantu persiapan itu adalah seorang nenek yang di kala mudanya juga sangat cantik. Kepada Pembayun dan tiga perawan lainnya yang akan menyertai dinasihatkan agar senantiasa menjaga diri untuk tampil segar dan bugar. Di samping itu, mereka diminta mengolesi ketiak mereka dengan kapur sirih untuk menghilangkan bau sekaligus menjaga agar pori-pori kulit tetap terbuka dan tetap berkeringat.
Setelah persiapan cukup matang, berangkatlah rombongan itu. Begitu mulai memasuki desa, mereka langsung mengamen. Orang-orang berkerumun dan mulai memuji-muji kecantikan para penari, terutama Rara Kasihan dan Rara Ayu. Sesuatu yang menarik adalah bahwa Rara Kasihan memiliki daya pesona tersendiri. Oleh karena itu, beberapa orang tua ikut datang melihat tayuban itu, ingin tahu apakah Kasihan menggunakan mantra-mantra agar dapat menguasai orang ataukah murni muncul dari pribadi Kasihan. Ternyata, daya tarik Kasihan memang murni. Inilah yang kemudian membuat Ki Ageng Mangir tertarik dan akhirnya memanggil rombongan itu untuk main di wilayah Mangiran. Ia sendiri akan ikut menikmati dan menari bersama para penari itu.
Demikianlah menjelang magrib, rombongan itu tiba di Mangiran. Pada malam harinya, Kasihan menunjukkan kebolehannya. Leher, lengan, serta lenggoknya begitu menarik. Sebelumnya, Rara Kebes alias Ijah tampil disusul Rara Luwes dan Rara Ayu. Malam itu, desa Mangiran terguncang oleh rombongan tayub di bawah pimpinan Ki Sandiguna. Tidak hanya itu, rakyat bahkan semakin memuji-muji Ki Ageng Mangir yang telah berhasil memanggil rombongan hiburan yang sangat memuaskan seluruh kawula, baik tua maupun muda. Oleh karena itu, Mangir mulai berpikir jika Kasihan dapat diambil menjadi istrinya, tidak hanya ia akan bahagia karena mempunyai istri cantik, tetapi juga akan meningkatkan kewibawaan di muka rakyatnya. Sadar akan kenyataan ini, dipanggillah Ki Sandiguna dan hasrat hatinya dikemukakannya. Ki Sandiguna hanya tersenyum, tetapi kemudian menggeleng. Ia katakan, bagaimana mungkin Ki Ageng Mangir akan mengambil istri bernama Rara Kasihan yang hanya seorang penari tayub dan keturunan orang biasa. Ki Ageng mendesaknya dan akhirnya, setelah Kasihan ditanya kesediaannya, Ki Sandiguna melepaskannya. Perkawinan segera disiapkan dalam waktu dekat, yang menurut beberapa sumber cerita, tidak terlalu mewah, tetapi cukup khidmat sesuai permintaan Ki Sandiguna.
Dua malam setelah upacara perkawinan itu usai, Ki Sandiguna pamit untuk melanjutkan perjalanan ngamen. Akan tetapi, begitu rombongan lepas dari wilayah Mangiran, jalan mereka berbelok menuju Mataram untuk melapor kepada Senapati. Di Mataram, rombongan sudah dinantikan oleh Senapati sendiri, yang kemudian merasa sangat puas setelah mendengar laporan dari Ki Sandiguna.
Tiga bulan lewat. Rara Kasihan mulai gelisah karena ingat akan tugasnya, tetapi hatinya juga sudah terpaut dengan Mangir. Namun, sebagai seorang putri Senapati, tugas akhirnya lebih berat. Maka pada suatu malam, diungkapkanlah rahasia yang selama ini disimpan. Mangir tentu sangat terkejut bahwa ternyata Kasihan adalah Putri Pembayun, putri sulung musuhnya. Akan tetapi, di lain pihak, Mangir juga bangga bahwa ia akhirnya mampu mempersunting seorang putri dari orang besar dan berkuasa serta sakti. Pertimbangan inilah yang kemudian mendorong keputusannya untuk melaksanakan permintaan Pembayun menghadap Senapati di Mataram, menghaturkan sembah dan minta maaf.
Ki Ageng Mangir dan Pembayun dengan beberapa punggawa pun berangkat ke Mataram. Sebagai seorang yang telah melakukan pemberontakan, hati Mangir tetap tidak tenteram. Tatkala tiba di suatu desa, Mangir minta istirahat sebentar. Di desa ini, Mangir mengutarakan keraguannya kepada Pembayun apakah benar Senapati akan memaafkannya. Sedikit pertengkaran terjadi sehingga istirahatnya memakan waktu beberapa hari untuk memulihkan kesepakatan. Sementara itu, karena Rara Kasihan sudah terkenal sebagai penari tayub, orang desa pun banyak membicarakannya. Demikianlah, akhirnya desa itu diberi nama Kasihan, letaknya di Kabupaten Bantul.
Dengan bujuk rayu yang cukup meyakinkan, akhirnya Mangir bersedia melanjutkan perjalanan ke Mataram. Tiba di keraton, setelah persenjataan Mangir dititipkan kepada penjaga, Mangir diperkenankan menghadap. Pada waktu itu Senapati sudah siap menerimanya. Ia duduk di atas singgasana yang terbuat dari batu kali berwarna hitam legam. Dengan tenang Mangir datang menghaturkan sembah. Kepalanya membungkuk mencoba mencium telapak kaki Senapati. Akan tetapi, Senapati membenturkan kepala Mangir ke singgasananya sehingga meninggal. Pembayun menjerit melihat suaminya meninggal. Bagaimanapun Mangir adalah ayah dari bayi yang tengah dikandungnya. Jenazah Mangir kemudian dimakamkan di Kota Gede, makam raja-raja. Akan tetapi, separo di luar. Ini petunjuk bahwa Mangir adalah menantu Senapati sekaligus musuh.
Untuk mengatasi kesedihan Pembayun, putri sulung itu segera dinikahkan dengan Pangeran Tepasana, yang kemudian bergelar Ki Ageng Karang Lo di wilayah Karang Gayam, sebelah timur Kali Opak.