”Aku bosan terus-terusan berkelahi, Buaya,” kata Ikan Sura.
”Aku juga, Sura. Lalu, apa yang harus kita lakukan agar kita tidak lagi berkelahi?” tanya Buaya. Ikan Hiu Sura yang sudah memiliki rencana untuk menghentikan perkelahiannya dengan Buaya, memang telah memiliki satu cara.
”Untuk mencegah perkelahian di antara kita, sebaiknya kita membagi daerah kekuasaan menjadi dua. Aku berkuasa sepenuhnya di dalam air dan harus mencari mangsa di dalam air, sedangkan kamu berkuasa di daratan dan mangsamu harus yang berada di daratan. Sebagai batas antara daratan dan air, kita tentukan batasnya, yaitu tempat yang dicapai oleh air laut pada waktu pasang surut. Bagaimana, Buaya?”
”Baiklah aku terima usulmu yang bagus itu!” jawab Buaya.
Pembagian daerah kekuasaan itu ternyata memang telah membuat perkelahian antara Ikan Sura dan Buaya sudah tak terjadi lagi. Mereka menghormati daerah kekuasaannya masing-masing. Selama mereka mematuhi kesepakatan yang telah mereka buat bersama, keadaan aman dan damai. Akan tetapi, pada suatu hari, Ikan Sura mencari mangsa di sungai. Hal itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar Buaya tidak mengetahui. Akan tetapi, Buaya memergoki perbuatan Ikan Sura itu. Tentu saja Buaya sangat marah melihat Ikan Sura melanggar janjinya. Buaya segera menghampiri Ikan Sura yang sedang menikmati mangsanya di sebuah sungai.
”Hai, Sura, mengapa kamu melanggar peraturan yang telah kita sepakati berdua?
Mengapa kamu berani memasuki sungai yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaanku?” tanya Buaya.
Ikan Sura yang tak merasa bersalah tenang-tenang saja.
”Aku melanggar kesepakatan? Bukankah sungai ini berair.
Bukankah aku sudah bilang bahwa aku adalah penguasa di air? Nah, sungai ini, kan, ada airnya, jadi juga termasuk daerah kekuasaanku,” kata Ikan Sura.
”Apa? Sungai itu, kan, tempatnya di darat, sedangkan daerah kekuasaanmu ada di laut, berarti sungai itu adalah daerah kekuasaanku!” Buaya ngotot.
”Tidak bisa. Aku, kan, tidak pernah bilang kalau di air hanya air laut, tetapi juga air sungai,” jawab Ikan Sura.
”Kalau begitu kamu mau membohongiku lagi? Baiklah kita buktikan siapa yang memiliki kekuatan yang paling hebat, dialah yang akan menjadi penguasa tunggal!” kata Buaya. Mereka berdua terus cekcok, masing-masing berusaha mengemukakan alasanalasannya, masing-masing pun saling menolak dan saling ngotot mempertahankan kebenaran-kebenaran dari alasan-alasannya sendiri. Akhirnya, mereka berkelahi lagi.
Pertarungan sengit antara Ikan Sura dan Buaya terjadi lagi. Pertarungan kali ini makin seru dan dahsyat. Mereka saling menerjang dan menerkam, saling menggigit dan memukul. Dalam waktu sekejap, air di sekitarnya menjadi merah oleh darah yang ke luar dari luka-luka kedua binatang itu. Kedua binatang raksasa itu tanpa istirahat terus bertarung mati-matian.
Dalam pertarungan sengit itu, Buaya mendapat gigitan Ikan Sura di pangkal ekornya sebelah kanan. Selanjutnya, ekornya itu terpaksa selalu membelok ke kiri. Akan tetapi, buaya puas karena telah dapat mempertahankan daerahnya. Ikan Sura telah kembali lagi ke lautan.
Peristiwa pertarungan antara Ikan Sura dan Buaya itu mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, nama Surabaya selalu dikait-kaitkan dengan peristiwa itu. Lambang Ikan Sura dan Buaya bahkan dipakai sebagai lambang Kota Madya Surabaya.