Legenda Pelengkung Madyasura


Di Keraton Yogyakarta terdapat lima pintu gerbang. Akan tetapi, berbeda dari pintu gerbang biasanya, daun-daun pintu itu sudah tidak ada bekasnya. Yang tinggal hanyalah pelengkung yang cukup tebal. Pintu-pintu gerbang itu terletak di sebelah barat keraton dengan nama Pelengkung Jagabaya, disebut juga Pelengkung Taman Sari. Di sebelah selatan keraton, pintu gerbangnya disebut Pelengkung Nirbaya atau Pelengkung Gading. Yang terletak di sebelah timur laut keraton tersebut Pelengkung Wijilan, sedangkan yang terletak di sebelah barat laut disebut Pelengkung Jaga Sira atau Ngasem. Masih ada satu lagi pintu gerbang, terletak di sebelah utara, disebut Pelengkung Madyasura. Berbeda dari pelengkung-pelengkung lainnya, pelengkung ini tertutup.




Menurut sejarahnya, setiap pelengkung dilengkapi dengan jembatan sebab di sekeliling benteng keraton ada selokan yang cukup dalam. Adapun guna selokan itu untuk menahan serangan musuh. Kita masih ingat, Keraton Yogyakarta dibangun sesudah Perjanjian Gianti disepakati antara Pangeran Mangkubumi dan VOC. Walaupun suasana damai sudah dirasakan, Pangeran Mangkubumi masih was-was. Jangan-jangan, Belanda masih berkeinginan menganggu. Apalagi, pada tahun-tahun itu, prajurit Inggris di bawah pimpinan Raffles datang pula di Pulau Jawa.

Ada sesuatu yang menarik perhatian mengapa Pelengkung Madyasura ditutup. Penduduk yang tinggal di sekitar pelengkung itu dapat menceritakan suatu kisah yang menjelaskan sebab-sebabnya. Menurut mereka, Pelengkung Madyasura pernah dilalui oleh pasukan Inggris yang datang menyerbu keraton. Sebenarnya, serbuan itu datang atas undangan Adipati Anom, yang sudah disiapkan sebagai putra mahkota. Ini tentu saja aneh sekali. Namun, ada suatu alasan yang membuat putra mahkota bertindak seperti itu. Ia merasa kurang senang dengan ayahnya, Hamengku Buwono II, yang tampak begitu menaruh perhatian kepada Pangeran Mangkudiningrat, salah seorang putranya yang lain dari selir. Beberapa kali, Adipati Anom mencoba memberikan peringatan kepada sang Ayah, tetapi tidak mendapatkan tanggapan yang memuaskan. Untuk memaksa agar apa yang diinginkannya terlaksana, ia mengundang pasukan Inggris masuk. Akibatnya, Hamengku Buwono II terdesak dan diasingkan ke Ambon. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, beliau dikembalikan lagi ke keraton dan takhtanya dipulihkan. Untuk melupakan peristiwa yang menyedihkan itu, Sultan memerintahkan menutup Pelengkung Madyasura dengan semen sehingga tidak tampak bahwa tembok itu pada mulanya adalah pintu gerbang.

Di samping cerita di atas, ada pula cerita lainnya yang juga menarik. Seorang yang sudah cukup lanjut usianya bercerita bahwa Pelengkung Madyasura pernah disebut angker. Dikatakannya, setiap sore dari pelengkung yang sudah ditutup itu terdengar teriakan-teriakan minta tolong, ”Biyung ..., tulung ...”, yang artinya, ”Ibu ..., tolong ...”. Semenjak itu, muncullah nama baru untuk sejenis makhluk halus ialah Biyung Tulung. Oleh suatu sumber dikatakan, Biyung Tulung itu muncul dalam percakapan penduduk istilah Biyung Tulung muncul pada saat Tentara Pelajar sedang giat-giatnya bergerilya melawan Belanda pada tahun 1948–1949. Akan tetapi, apakah yang sebenarnya terjadi di Pelengkung Madyasura menurut mereka? Dikatakan oleh suatu sumber bahwa nun di kala itu, hiduplah seorang pemuda bernama Kartipeya. Ia berwajah tampan, tetapi suka mengganggu perempuan, khususnya mereka yang masih perawan. Orang tua yang mempunyai gadis cemas, jangan-jangan anak mereka tergaet oleh Kartipeya yang memang lihai dalam hal bujuk rayu. Beberapa usaha dilakukan oleh penduduk setempat untuk menanggulangi perbuatan pemuda kurang ajar itu, antara lain dengan mengundang seorang kiai yang dimohon mengajarkan agama kepada para perawan agar tetap beriman, tetapi usaha itu tidak banyak hasilnya. Hampir setiap hari, selalu ada berita bahwa Kartipeya berhasil menggaet seorang perawan.

Atas dorongan salah seorang tetua di wilayah itu, dilakukanlah semacam penyelidikan mengapa Kartipeya begitu ”sakti”. Dari penyelidikan orang-orang kampung diperoleh keterangan bahwa setiap Kamis malam, Kartipeya selalu pergi ke hutan Krendhowahono. Di mana letak hutan itu, penduduk yang tinggal di sekitar Pelengkung Madyasura tidak dapat menjelaskannya. Yang jelas, di hutan itu Kartipeya bertemu dengan Batari Durga, lazim disebut Dewi Uma. Menurut keterangan, menjelang pukul tiga pagi sebelum ayam jantan berkokok, Dewi Uma muncul dari dunia gaib, menampakkan diri, dan mendekati Kartipeya yang tengah semadi. Uma, membangunkannya dan bertanya apa yang diinginkannya. Pemuda tampan itu selalu menjawab dengan kata-kata yang sama ialah ingin digandrungi perawan-perawan di kampung atau di desa mana saja yang didatanginya. Mendengar permintaan itu, Uma tersenyum dan menjawab bahwa permintaannya akan dikabulkan, asalkan ia tidak berbuat mesum di bawah Pelengkung Madyasura. Kartipeya menyanggupinya. Batari Durga segera membuka lengannya lalu mencabut satu helai bulu ketiaknya dan memberikannya kepada pemuda itu sambil berpesan seperti biasanya bahwa ia harus membungkusnya dengan kain putih. Dipesankan juga bahwa jika ia melanggar ketentuan yang dikatakannya, ia akan mendapat malu atau mungkin malahan tewas. Di samping itu, dipesan pula seperti biasanya bahwa benda itu hanya dapat bertahan selama tujuh hari di tangannya. Di luar itu, jika Kartipeya memerlukan lagi, ia harus datang ke tempat yang sama dan memohon dengan cara yang sama pula.

Tatkala informasi ini disampaikan kepada tetua di kampung itu, segeralah tetua itu menghubungi seorang sakti yang dikenal dengan nama Kiai Wirong Sardula, yang kemudian bersedia mengakhiri kegelisahan orang-orang di kampung itu. Diajukanlah syarat, jika Kartipeya terjebak, cukuplah dibuat malu. Jangankan dibunuh, dilukai pun tidak diperkenankan. Sesudah tetua itu menyatakan kesanggupannya memegang janji, Kiai Wirong Sardula segera memberikan tiga batang lidi enau yang harus diletakkan di bawah Pelengkung Madyasura.

Hari berikutnya, di kampung itu terdengar berita bahwa Kartipeya menaruh perhatian kepada Rara Sukresthi, salah seorang perawan yang dikenal sangat molek dan elok wajahnya. Ini artinya, pada malam nanti, di kampung itu pasti terjadi sesuatu. Oleh karena itu, selepas magrib, tetua itu segera meletakkan tiga buah lidi pemberian Kiai Wirong dengan harapan Kartipeya akan lupa pesan Dewi Uma dan melanggar pantangannya. Jelasnya, lidi itu akan bertenaga menarik Kartipeya masuk ke bawah Pelengkung Madyasura yang seharusnya dihindari. Beberapa orang pemuda diminta bersiap-siap tidak jauh dari pelengkung itu. Tujuannya, jika Kartipeya masuk ke bawah pelengkung, mereka akan berteriak-teriak.

Apa yang kemudian terjadi sesuai dengan rencana. Menjelang tengah malam, Kartipeya menggelandang Sukresthi masuk ke bawah Pelengkung Madyasura. Begitu kaki Kartipeya menginjak tanah Pelengkung Madyasura, ia berteriak keraskeras. Ia mengira, tiga buah lidi itu tiga ekor ular. Bersamaan dengan itu, muncullah pemuda-pemuda sambil membawa obor serta berteriak-teriak. Akan tetapi, ternyata tidak hanya demikian. Salah seorang pemuda yang juga menaruh hati pada Sukresthi membakar Kartipeya dan pemuda lainnya melempari dengan batu. Bahkan lebih ganas lagi, mereka menyerbu dan memukul pemuda tampan dengan pentungan dan senjata tumpul lainnya.

Kartipeya takut kalau Sukresthi ikut terluka, ia mencoba melindunginya dengan cara mendekapnya. Akan tetapi, pemuda yang menaruh hati pada perawan itu semakin panas, cemburu, dan marah. Ia mengacungkan tangannya dan memberikan perintah agar mereka dikubur hidup-hidup. Sejak saat itu, Pelengkung Madyasura tertutup. Itulah sebabnya pada tahuntahun yang silam, terdengar suara mengadu, ”Biyung ... tulung”, ”Ibu ... tolong”. Menurut mereka, itulah suara penyesalan Kartipeya.