Pendudukan Militer Jepang di Indonesia


Pada bulan Februari 1942 Jepang masuk ke Indonesia lewat Tarakan, Minahasa, Balikpapan, dan Palembang. Selanjutnya Jepang melakukan penyerbuan ke Indonesia pada tanggal 1 Maret 1942. Pendaratan tentara Jepang di Pulau Jawa dipimpin oleh Jenderal Hitoshi Imamura yang dibagi tiga tempat, yaitu Teluk Banten, Indramayu, dan Bojonegoro. Serbuan-serbuan yang dilakukan oleh Jepang di beberapa tempat di Jawa tidak dapat dibendung oleh pasukan Belanda. Akhirnya, pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang terjadi di Kalijati. Pihak Belanda diwakili oleh Panglima Tentara Belanda Jenderal Teer Porten dan Jepang diwakili oleh Jenderal Imamura. Sejak saat itu berakhirlah kekuasaan Belanda di Indonesia.


Rakyat Indonesia yang merasakan hidup dijajah selama bertahun-tahun sudah merasa jemu terhadap perang dan penjajahan. Oleh karena itu, pada saat Jepang masuk ke Indonesia mereka menyambut kedatangan mereka dengan harapan Jepang akan memberikan kedamaian dan kemakmuran. Jepang dianggap sebagai pembebas penderitaan bangsa Indonesia (Ratu Adil). Kesempatan inilah yang dimanfaatkan Jepang dengan sebaik-baiknya untuk menanamkan paham fasis di Indonesia.

Campur tangan pemerintah pendudukan Jepang tidak saja terjadi di lembaga-lembaga politik di pusat, tetapi juga pada lembaga tradisional di pedesaan, yang berupa indoktrinasi dan depolitisasi. Dalam bidang sosial ekonomi, pemerintah pendudukan Jepang mengadakan pengaturan terhadap distribusi barang-barang yang dianggap penting untuk kepentingan perang. Sumber daya alam dan tenaga manusia dieksploitasi dan dimanfaatkan untuk kepentingan penjajah.

1. Eksploitasi Sumber Daya Alam
Saat Jepang datang ke Indonesia, perekonomian Indonesia sedang mengalami kelumpuhan. Hal ini disebabkan adanya taktik bumi hangus yang dijalankan oleh Belanda sebagai penguasa sebelumnya. Tempat yang dibumihanguskan yaitu instalasi tambang minyak bumi di Tarakan dan Balikpapan (Kalimantan Timur).

Langkah yang diambil Jepang untuk mengatasi kelumpuhan ekonomi ini yaitu dengan melakukan rehabilitasi sarana ekonomi demi kepentingan perang, seperti memperbaiki jembatan, telepon, mengawasi perkebunan (teh, karet, kina, dan kopi).

Dalam usahanya mengeksploitasi sumber daya alam, pemerintah Jepang memerintahkan rakyat menyerahkan hasil panennya, baik hasil pertanian seperti padi maupun hasil perkebunan seperti teh, karet, kina, dan kopi. Pemerintah juga memonopoli harga jual dan harga beli bahan pangan. Harga beli untuk hasil panen ditentukan oleh pemerintah dan umumnya sangat rendah. Sumber daya alam lain yang wajib diserahkan kepada Jepang adalah emas. Emas ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit Jepang. Selain emas, juga ada minyak bumi dan batu bara sebagai bahan baku industri, bijih besi sebagai bahan baku senjata, dan lain-lain.

Pada masa pendudukan Jepang, rakyat Indonesia dituntut menyetorkan padi pada pemerintah, menanam jarak, kapas, dan rami (rosela). Kehidupan rakyat menjadi semakin miskin karena penghasilan dan kekayaannya dikuras untuk kepentingan Jepang.

2. Eksploitasi Sumber Tenaga Kerja
Kerja paksa yang dilakukan pada zaman Jepang disebut romusha. Mereka dikirim ke luar Jawa atau bahkan ke luar negeri, seperti ke Malaysia, Myanmar, Thailand, dan lain-lain untuk bekerja di perkebunan, industri, dan untuk tenaga membangun sarana perang.



Para romusha kebanyakan diambil dari Pulau Jawa karena pulau ini banyak penduduknya, sehingga memungkinkan untuk mengerahkan tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Para romusha dalam bekerja ternyata mendapat perlakuan buruk. Misalnya, kesehatan tidak dijamin, makanan tidak cukup, dan pekerjaannya terlalu berat sehingga kondisinya sangat menyedihkan. Keadaan ini oleh Jepang ditutupi dengan mengatakan bahwa romusha adalah prajurit ekonomi atau pahlawan pekerja yang sedang menunaikan tugas suci untuk angkatan perang Jepang. Kabar tentang perlakuan Jepang yang kejam terhadap para romusha akhirnya menyebar juga ke seluruh penduduk di Indonesia.

3. Mobilisasi Tenaga Muda
Sejak Jepang dipukul mundur oleh Sekutu dalam pertempuran di Laut Karang pada tanggal 7 Mei 1942, Jepang mulai memanfaatkan para pemuda Indonesia dengan membentuk beberapa organisasi semimiliter berikut ini.

a. Seinendan (Barisan Pemuda)
Seinendan dibentuk pada tanggal 9 Maret 1943 dengan tujuan mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Golongan pemuda ini berumur antara 14 - 22 tahun.

b. Fujinkai (Barisan Wanita)
Fujinkaia dalah himpunan wanita yang dibentuk pada bulan Agustus 1943. Anggota Fujinkaiharus berumur minimum 15 tahun, dengan batas maksimum tidak ditentukan. Dalam Fujinkai pun diberikan latihan-latihan militer.

c. Keibodan (Barisan Pembantu Polisi)
Keibodan adalah barisan pembantu polisi. Keibodan dibentuk pada tanggal 29 April 1943, terdiri atas pemuda desa berusia 23 - 35 tahun. Di Sumatra dikenal dengan nama Bogodan dan di Kalimantan disebut Borneo Konan Hokokudan.

d. Suisyintai (Barisan Pelopor)
Suisyintai juga disebut barisan pelopor. Barisan pelopor merupakan organisasi pemuda pertama yang dibimbing langsung oleh kaum nasionalis Indonesia. Pemimpin Suisyintai, yaitu Ir. Soekarno dibantu oleh R.P. Suroso, Otto Iskandardinata, dan dr. Buntaran Martoatmodjo. Barisan ini dibentuk pada tanggal 14 September 1944 dan dianggap "onderbouw" dari Jawa Hokokai (organisasi pengganti Putera).

e. Seinentai (Barisan Murid-Murid Sekolah Dasar)
Seinentai atau kaikyoseinen teishintai sering disebut sebagai Hisbullah Seinentai, yaitu barisan semimiliter dari kaum muda Islam.

f. Gakukotai (Barisan Pelajar Sekolah Lanjutan)
Setiap pagi, para pelajar diwajibkan mengadakan upacara dengan mengibarkan bendera Jepang Hinomaru, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo, mengucapkan janji dalam bahasa Jepang, hormat seikerei kepada Kaisar Jepang di Tokyo yang dilakukan dengan membungkukkan badan dalam-dalam ke arah Timur Laut, arah letak kota Tokyo, dan berolah raga taisho (senam).Selain organisasi semi militer, Jepang juga membentuk organisasi kemiliteran untuk bala bantuan tentara Jepang dalam menghadapi Sekutu.
a. Heiho
Heiho dibentuk pada bulan Oktober 1943. Heiho merupakan pasukan militer Jepang dari penduduk pribumi, dengan tujuan menambah jumlah kekuatan tentara Jepang untuk mempertahankan negeri-negeri yang telah didudukinya. Mereka ditempatkan di dalam organisasi militer.
b. Peta (Pembela Tanah Air)
Peta dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 atas usul dr. Gatot Mangkuprojo. Para calon perwira Peta dilatih di kota Bogor. Peta dibentuk di Jawa, sedangkan di Sumatra badan semacam ini disebut giyugun atau tentara sukarela. Peta bersifat Indonesia dan perwira-perwiranya dari Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, mereka yang berasal dari Peta banyak yang menjadi pemimpin Indonesia, seperti
Jenderal Sudirman, Jenderal Gatot Subroto, Supriyadi, dan Jenderal Ahmad Yani.


4. Akibat Pendudukan Jepang di Indonesia
Politik imperialisme Jepang di Indonesia terlihat dan berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam dan mobilisasi tenaga kerja untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya. Berdasarkan orientasi itu, Jepang secara ekstensif melakukan eksploitasi ekonomi, penetrasi politik, dan tekanan kultural pada masyarakat Indonesia hingga tingkat pedesaan. Pengawasan sosial diberlakukan dengan pembentukan organisasi-organisasi sosial, serta tekanan-tekanan mental dan agitasi secara terus-menerus dalam berbagai bidang kehidupan.

a. Bidang Politik
Pemerintahan sipil tetap dipertahankan untuk mencegah kekacauan, tetapi pimpinan dipegang oleh tentara Jepang, baik di pusat maupun di daerah. Struktur atau bentuk pemerintah daerah berdasarkan undang-undang tersebut terdiri atas Syu atau karesidenan, Si atau kota, Ken atau kabupaten, Gun atau kawedanan, Son atau kecamatan, dan Ku atau desa. Pembagian struktur pemerintahan daerah tersebut memberi dampak yang positif bagi bangsa Indonesia. Tokoh-tokoh bangsa Indonesia diberi kedudukan yang penting dalam pemerintahan. Hal tersebut memberi/menambah pengalaman berpolitik para tokoh bangsa. Selain itu para tokoh bangsa dapat semakin matang dalam perjuangan ke arah kemerdekaan. Campur tangan pemerintah Jepang terhadap pangreh praja merupakan bentuk bentuk penetrasi politik terhadap lembaga-lembaga politik tradisional di pedesaan. Kepala desa yang tadinya dipilih oleh rakyat secara demokratis, oleh Jepang dilakukan melalui seleksi dan tes yang dibuat oleh pemerintah Jepang. Semua dimaksudkan untuk memilih kepala desa yang mengerti administrasi pemerintahan dan sekaligus untuk menyingkirkan orang-orang yan tidak disukai pemerintah Jepang.

b. Bidang Sosial Ekonomi
Diberlakukannya politik penyerahan padi secara paksa didasarkan pada kebutuhan bahan pangan yang meningkat bagi tentara Jepang di medan pertempuran. Akibat dari eksploitasi, kehidupan masyarakat di pedesaan sangat memprihatinkan, kemiskinan endemis semakin meluas, kondisi kesehatan sangat merosot, dan angka kematian sangat tinggi. Keadaan petani dan masyarakat pedesaan di Jawa benar-benar berada pada tingkat yang sangat rendah.

c. Bidang Mentalitas Masyarakat
Masyarakat pedesaan di Jawa banyak yang diambil dan dijadikan tenaga kerja paksa (romusha) untuk menangani proyek-proyek pembangunan, seperti pembangun benteng-benteng pertahanan, lubang-lubang pertahanan, jembatan, maupun tempat-tempat penyimpanan bahan makanan.



Selain itu para wanita dipaksa untuk menjadi ianfu (wanita tunasusila) yang melayani kebutuhan para prajurit Jepang. Perlakuan yang tidak manusiawi tentara Jepang terhadap romusha dan ianfu serta tidak adanya jaminan sosial menyebabkan beribu-ribu romusha meninggal dengan mengenaskan. Keadaan sangat buruk itu menghantui masyarakat desa dan berkembang menjadi ketakutan serta kegelisahan komunal.


0 Response to "Pendudukan Militer Jepang di Indonesia"

Post a Comment