Pada saat perang Badar, Rasulullah SAW berpesan agar tidak menyakiti dua orang Quraisy dari pasukan kafir yang dipaksa berperang melawan Islam. Dua orang itu adalah Abbas bin Abdul Muttalib dan Abul Bakhtari bin Hisyam.
“Sesungguhnya ada beberapa orang dari keluarga Bani Hasyim dan yang bukan Bani Hasyim yang keluar dipaksa berperang, padahal sebenarnya mereka tidak hendak memerangi kita, oleh sebab itu siapa di antara kamu yang menemukannya, maka janganlah ia membunuhnya. Siapa yang bertemu dengan Abul Bakhtari bin Hisyam bin Harits bin Asad janganlah membunuhnya. Dan siapa yang bertemu dengan Abbas bin Abdul Muttalib jangan membunuhnya karena orang itu dipaksa ikut berperang!”
Siapakah orang-orang itu sampai mendapat perlindungan Rasulullah SAW? Abdul Bakhtari bin Hisyam adalah orang berusaha menutupi keislamannya dan tak pernah pergi berkumpul dengan pembesar Quraisy. Demikian pula Abbas bin Abdul Muttalib. Siapakah beliau?
“Itulah orangtuaku yang masih ada,” demikian Rasulullah SAW mengungkapkan perihal siapa Abbas bin Abdul Muttalib. Abbas adalah paman Rasulullah SAW sebagaimana halnya Hamzah Abdul Muttalib. Namun, Abbas berumur hampir sepantaran dengan Rasulullah SAW. Mereka tumbuh dan besar bersama. Abbas dikenal oleh suku Quraisy sebagai pribadi yang pemurah dan ramah.
Abbas tidak mengumumkan keislamannya sampai tahun pembebasan kota Mekah. Para ahli sejarah memandang Abbas sebagai orang yang belakangan masuk Islam, tetapi riwayat lain dalam sejarah memberitakan bahwa ia termasuk orang-orang Islam angkatan pertama, hanya saja menyembunyikan keislamannya itu.
Abu Rafi, khadam Rasulullah SAW, berkata, “Aku adalah suruhan (pelayan) bagi Abbas bin Abdul MUttalib, dan waktu itu Islam telah masuk kepada kami, ahli bait, keluarga nabi, maka Abbas pun masuk Islam begitu pula Ummul Fadl, dan aku juga masuk, hanya Abbas menyembunyikan keislamannya.”
Inilah letak kecerdasan Abbas bin Abdul Muttalib. Orang-orang Quraisy Mekah yang sudah mencurigai keislamannya tak mampu melakukan apapun padanya. Abbas juga menjadi pemberi informasi bagi Rasulullah di Madinah mengenai kegiatan orang Quraisy di Mekah. Sampai saatnya perang Badar, ia tak memiliki pilihan lain karena pemimpin Quraisy menguji siapa-siapa yang memihak mereka.
Usai perang Badar yang berakhir dengan kekalahan kaum kafirin kala itu, Abbas menjadi tahanan kaum muslimin. Namun, Rasulullah SAW tak sanggup tidur memikirkan hal ini. Ia mengingat pamannya berada di tahanan bersama tahanan yang lain. Dalam suara pelan Rasulullah SAW berlirih, “Serasa terdengar olehku rintihan Abbas dalam belenggu…”
Seorang muslimin yang kebetulan mendengar kata-kata Rasulullah SAW segera pergi menuju tempat tahanan dimana Abbas berada. Ia meringankan belenggu ditangannya. Ia kembali dan mengabarkan kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, aku telah melonggarkan ikatan belenggu Abbas sedikit.”
Rasulullah SAW kemudian memerintahkan kepada sahabatnya, “Ayo pergilah lakukan seperti itu kepada semua tahanan.” Beliau tak ingin kecintaannya kepada pamannya dibeda-bedakan kepada tahanan yang lain.
Setelah itu Rasulullah SAW berkata kepada Abbas, “Wahai Abbas, tebuslah dirimu, dan anak saudaramu Uqeil bin Ab Thalib, Naufal bin Harits dan teman karibmu, Utbah bin Amar, saudara Bani Harits, dan teman karibmu, Utbah bin Amar, saudara Bani Harits bin Fihir sebab kamu banyak harta.”
“Wahai Rasulullah, aku kan sudah masuk Islam, hanya orang-orang itu memaksaku,” kata Abbas yang kala itu tak berniat membayar tebusannya. Karena peristiwa ini turunlah ayat Al Quran:
“ Wahai Nabi, katakanlah kepada tawanan yang ada dalam tanganmu, jika Allah mengetahui dalam hati kalian kebaikan, pasti Ia akan mengganti apa yang telah diambil daripada kalian dengan yang lebih baik dan Ia mengampuni kalian, dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang .” QS Al Anfal 70
Akhirnya Abbas menebus dirinya dan orang-orang yang ditahan bersamanya. Ia kembali ke Mekah. Sampai pada suatu hari kemudian, ia menyusul Rasulullah SAW ke Khaibar.
Baiatul Aqabah Kedua
Pada Baiatul Aqabah kedua, dimana sebanyak 73 pria dan wanita perutusan Anshar datang ke Mekah di musim haji guna mengangkat sumpah setia kepada Allah dan RasulNya, dan untuk merundingkan hijrah Nabi SAW ke Madinah, waktu itu Rasulullah SAW menyampaikan berita perutusan dan baiat ini kepada pamannya karena Rasulullah SAW sangat mempercayainya dan memerlukan nasehat pamannya itu.
Kaab bin Malik yang berada dalam baiat tersebut bercerita: “Kami telah duduk menanti kedatangan Rasulullah SAW di tengah jalan menuju bukit, hingga akhirnya beliau datang dan bersamanya Abbas bin Abdul Muttalib. Abbas pun angkat bicara katanya:
“Wahai golongan Khazraj, anda sekalian telah mengetahui kedudukan Muhammad SAW di sisi kami, kami telah membelanya dari kejahatan kaum kami, sedang ia mempunyai kemuliaan dalam kaumnya dan kekuatan di negerinya. Tetapi ia enggan bergabung dengan mereka, bahkan ia bermaksud ikut kalian dan hidup bersama kalian. Seandainya kalian benar-benar hendak menunaikan apa yang telah kalian janjikan kepadanya dan kalian membelanya terhadap orang yang memusuhinya, silakan kalian memikul tanggung jawab tersebut. Tetapi seandainya kalian bermaksud akan menyerahkan dan mengecewakannya sesudah ia bergabung dengan kalian lebih baik dari sekarang kalian meninggalkannya.”
Abbas mengucapkan kata-kata yang begitu tegas dan lugas kepada orang Anshar kala itu. Pada awal kalimatnya ia terlebih dahulu bertanya, “Coba anda lukiskan kepadaku peperangan, bagaimana caranya anda memerangi musuh-musuh anda?” Abbas telah memperkirakan, orang Quraisy tak akan lagi mundur dalam memerangi Rasulullah selain memeranginya. Maka, peperangan itulah hal yang pertama kali ditanyakannya kepada orang Anshar.
Abbas mempertanyakan sanggupkan orang-orang Anshar yang telah bersedia melakukan baiat kepada Rasulullah SAW itu menghadapi suku Quraisy dalam berperang? Belum lagi diteruskan pertanyaannya, Abdullah bin Amar bin Hiram menjawab, “Demi Allah, kami adalah keluarga prajurit, yang telah makan asam garamnya medan laga, kamu pusakai dari nenek moyang kami turun temurun. Kami pemanah cekatan, penembus jantung setiap sasaran, pelempar lembing, memecah kepala setiap maling dan pemain pedang, penebas setiap penghalang.”
Abbas menjawab dengan wajah berseri, “Kalau begitu anda sekalian ahli perang, apakah anda juga punya baju besi?” Mereka menjawab, “Ada kamu punya cukup banyak.” Kemudian terjadilah pembicaraan penting dan menentukan antara Rasulullah SAW dan orang-orang Anshar.
Demikianlah peranan Abbas dalam membela Rasulullah SAW, padahal kala itu ia masih menyembunyikan keislamannya dari kalangan Quraisy.
Perang Hunain
Pada tahun ke delapan Hijriah, sesudah Allah membebaskan Mekah bagi Rasul dan agamaNya, sebagian kabilah yang berpengaruh di jazirah Arab tidak sudi melihat kemenangan gemilang ini dan perkembangan yang cepat dari agama Islam. Maka berhimpunlah kabilah-kabilah Hawazin, Tsaqif, Nashar, Jusyam dan lain-lain, untuk mengambil keputusan melancarkan serangan.
Meskipun hanya gabungan kabilah-kabilah, jumlah mereka banyak dan sangat kuat. Padahal waktu itu, jumlah pasukan muslimin mencapai 12 ribu orang. Namun, sebagian muslim yang bergabung dengan pasukan waktu itu masih lemah imannya. Ada rasa bangga pada besarnya jumlah ini bagi pasukan muslimin namun Allah memberi pelajaran untuk menyapu rasa sombong. Pada perang ini, kaum muslimin diberi pelajaran berharga dari Allah berupa serangan yang mendadak di awal peperangan.
Kala itu, pasukan muslimin berkumpul dan hendak menyusun kekuatan di sebuah lembah. Namun, tak disangka pasukan musuh telah sampai terlebih dahulu, bersembunyi dalam parit-parit dan tepi-tepi jalanan di bukit. Serangan mendadak itu membuat pasukan muslimin menjadi kocar-kacir.
Rasulullah SAW segera menaiki punggung kudanya sambil berteriak, “Hendak kemana kalian? Marilah kepadaku, aku adalah Nabi, tidak pernah bohong, aku anak Abdul Muttalib!” Orang-orang di sekeliling Nabi SAW waktu itu tinggallah Abu Bakar, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Muttalib, bersama anaknya Fadl bin Abbas, Jafar bin Harits, Rabiah bin Harits, Usamah bin Zaid, Aiman bin Ubeid dan beberapa sahabat yang tak banyak jumlahnya.
Seorang wanita yang kala itu berada di sana adalah Ummu Sulaim binti Mulhan. Ia sedang hamil tapi langsung menaiki onta suaminya, Abu Thalhah ra dan membawanya kea rah Rasulullah SAW. Ia membuka selendangnya untuk diikatkan kepada perutnya yang hamil. Sambil memegang khanjar yang terhunus, ia berkata kepada Nabi, “Demi bapakku dan ibuku yang menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah, bunuhlah semua mereka yang melarikan diri itu sebagaimana anda membunuh mereka yang memerangi anda, mereka patut mendapatkannya. “
Sambil tersenyum, Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya Allah telah cukup, jadi pelindung, dan jauh lebih baik, hai Ummu Sulaim!”
Abbas berada di dekat Rasulullah saat itu, memegang tali kekang kudanya, menghadang maut dan bahaya. Abbas kemudian disuruh untuk memanggil pasukan muslimin yang lari kocar-kacir karena suaranya yang lantang.
“Hai golongan Anshar! Hai pemegang baiat!” Terdengarlah suara Abbas oleh mereka, seolah teringatkan pula akan janji setia mereka pada Baiatul Aqabah. Mereka berpaling kembali kepada jihad sambil meneriakkan, “Labbaika! Labbaika! Kami datang! Kami datang!”
Sesungguhnya suara Abbas kala itu merupakan penggambaran keteguhan hati orang-orang yang diberi sakinah Allah dalam ayat Al Quran yang turun berkenaan dengan perang Hunain:
“… dan di waktu perang Hunain, yakni ketika kalian merasa bangga dengan jumlah kalian yang banyak, maka ternyata itu tidak berguna sedikit pun bagi kalian, hingga bumi yang lapang kalian rasakan sempit, lalu kalian berpaling melarikan diri…! Kemudian Allah menurunkan sakinahNya kepada RasulNya dan kepada orang-orang beriman, dan diturunkannya balatentara yang tiada kalian lihat dan disiksaNya orang-orang kafir, dan itulah memang balasan bagi orang-orang kafir.” QS At Taubah 25-26.
Pasukan muslim yang mendengar panggilan Abbas maju tanpa gentar, menyerang musuh-musuh, pertempuran berlangsung sengit. Pasukan musuh dari pihak Hawazin dan Tsaqif pun berjatuhan dikalahkan pasukan berkuda Allah SWT.
Mengurusi Masalah Air
Pada suatu musim kemarau, di waktu penduduk dan negeri ditimpa kekeringan, keluarlah Amirul mukminin Umar bin Khattab bersama kaum muslimin ke lapangan terbuka. Mereka melakukan sholat istisqa. Mereka berdoa memohon hujan kepada Allah.
Umar berdiri sambil memegang tangan kanan Abbas, diangkatnya tangan itu sambil berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya kami pernah memohonkan hujan melalui perantaraan NabiMu pada masa beliau masih berada di antara kami, Ya Allah, sekarang kami meminta hujan pula perantaraan paman NabiMu, maka mohonkanlah kami diberi hujan.”
Belum lagi kaum muslimin meninggalkan tempatnya, hujan telah turun.Para sahabat pun menemui Abbas memberinya salam dan menciumnya, “Selamat, kami ucapkan untuk Anda, wahai penyedia air minum Haramain (Mekah dan Madinah).
Demikianlah perihal Abbas bin Abdul Muttalib. “Abbas adalah saudara kandung ayahku. Maka siapa yang menyakiti Abbas, tak ubahnya menyakitiku.” Rasulullah SAW bersabda.
Bersama istrinya Ummu Fadl, yang merupakan wanita kedua masuk Islam setelah Khadijah istri Rasulullah SAW, Abbas meninggalkan keturunan yang diberkati, salah satunya yaitu Abdullah bin Abbas atau yang dikenal sebagai Ibnu Abbas, seorang yang alim, abid dan sholeh.
Setelah di Mekah mengurusi air para jamaah haji, Abbas tinggal di Madinah di masa akhir hidupnya. Pada tanggal 14 Rajab 32 Hijriah, penduduk Madinah mendengar kabar meninggalnya Abbas yang kala itu berusia 82 tahun. Begitu banyak kaum muslimin yang mengiringi kepergian Abbas seperti belum pernah ada dari kalangan sahabat sebelumnya. Jenazahnya disholatkan dipimpin khalifah Ustman bin Affan ra dan dimakamkan di Baqi Madinah.
Salam bagimu, semoga Allah meridhoimu ya Abbas bin Abdul Muttalib.
Alhamdulillah
Sumber: G+
0 Response to " Kisah Sahabat Nabi: "Abbas bin Abdul Muttalib""
Post a Comment