Kisah Inspiratif "Sebatang Kara"


Tanah di pekuburan umum itu masih basah ketika para pentakziah sudah pulang. Sementara Ogal masih duduk sambil sesekali menyeka air matanya. Ibu yang selama ini paling dia hormati dan cintai, tadi malam telah meninggal dunia, menghadap Tuhan Yang Maha Esa.

Burung-burung camar terbang rendah dan sesekali mencelupkan paruhnya di air laut. Bu Tutik dan suaminya masih berdiri di belakang sambil menunggu Ogal. Kedua orang tua asuh itu sangat setia kepada Ogal.



“Rasanya saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Bu,” tiba-tiba Ogal berkata dengan suara agak berat.

Bu Tutik memegang lengan Ogal sambil mengelus rambutnya. “Jangan berkata begitu, anakku. Kami
akan menjadi orang tuamu sampai kapan pun.”

“Sampai saya mandiri?” desak Ogal.

“Sampai kapan pun. Aku tidak akan membatasi kamu, sebab pada hakikatnya engkau adalah anakku juga.”

“Maksud Ibu?” Ogal tidak mengerti.

“Ya, rupanya engkau ditakdirkan untuk aku asuh dan menjadi anak kami. Tetapi kami bertekad untuk menjadi orang tuamu, bukan sekedar orang tua asuh.”

Ogal memeluk Bu Tutik. Air mata di pipinya tak henti-hentinya mengalir sehingga membasahi bajunya. Sementara suami Bu Tutik turut berduka atas kematian Bu Arpati. 

Sebenarnya Ogal masih ragu-ragu, apakah dia akan ikut Bu Tutik atau bertahan hidup dengan mandiri. Jika dia ikut Bu Tutik, tentu tidak dapat bekerja seperti ketika ia masih hidup bersama ibunya. Hal itu menjadikannya manja. Tetapi jika menolak kebaikan Bu Tutik, terasa tidak enak. Pengorbanan Ibu Guru itu sudah sedemikian besarnya.

Dari pengalaman hidupnya selama ini, banyak hal yang dapat Ogal petik. Ia biasa bekerja keras, tidak suka menggantungkan pada orang lain. Ia juga biasa hidup prihatin sehingga tidak suka berfoya-foya.

“Bolehkah saya menjajakan kue lagi, Bu?” pinta Ogal kepada Bu Tutik.

“Buat apa, Ogal?”

“Agar saya tetap bisa bekerja.”

“Kurasa tidak perlu, Ogal. Pusatkan perhatianmu untuk belajar. Sebentar lagi engkau akan ujian.”

“Tapi, saya tidak enak kalau menganggur, Bu!”

“Di rumahku engkau tidak mungkin menganggur. Engkau bisa belajar menggunakan komputer, mengetik, nonton TV, dan memelihara kebun.”

“Tapi, saya akan tidak bekerja, Bu!”

“Pada hakikatnya engkau bekerja juga.  Memelihara kebun atau membantuku di rumah juga bekerja.”

“Jadi, tidak harus menjajakan kue, Bu?”

Bu Tutik mengangguk.

“Kalau begitu, tolong carikan pekerjaan yang bisa saya lakukan.” 

Bu Tutik tersenyum. “Jangan khawatir.”

Bu Tutik ternyata dapat memenuhi harapan Ogal. Banyak pekerjaan yang dapat dilakukan Ogal. Misalnya, memelihara kebun mangga, mencatat keluar masuknya barang, dan sebagainya.

Kali ini Ogal tidak kalah sibuknya dengan sewaktu berada di desa nelayan. Bahkan mungkin boleh dikatakan sangat sibuk. Pekerjaan di rumah Bu Tutik tidak hanya satu, melainkan sangat banyak. Walaupun begitu, Bu Tutik tidak pernah memaksa Ogal untuk bekerja. Semua itu hanya semata-mata menuruti keinginan Ogal.