Latar Belakang Terjadinya Perlawanan
1) Aceh adalah negara merdeka dan kedaulatannya masih diakui penuh oleh negara-negara Barat. Dalam Traktat London 17 Maret 1824, Inggris dan Belanda menandatangani perjanjian mengenai pembagian wilayah jajahan di Indonesia dan Semenanjung Malaya. Dalam hal tersebut Belanda tidak dibenarkan mengganggu kemerdekaan negara Aceh. Namun Belanda selalu mencari alasan untuk menyerang Aceh dan menguasainya.
2) Berdasarkan Traktat Sumatera, 2 November 1871, pihak Belanda oleh Inggris diberi kebebasan memperluas daerah kekuasaannya di Aceh. Sedangkan Inggris mendapat kebebasan berdagang di Siak. Hal ini mengganggu ketenangan Aceh, untuk itu Aceh mempersiapkan diri mengadakan perlawanan.
3) Semakin pentingnya posisi Aceh dengan dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869. Lalu lintas pelayaran di Selat Malaka semakin ramai semenjak Suez dibuka dan Aceh merupakan pintu gerbang ke Selat tersebut.
4) Aceh menolak mengakui kedaulatan Hindia Belanda atas kesultanan Aceh. Maka tanggal 26 Maret 1873 pemerintah Kolonial Belanda mengumumkan perang terhadap Aceh.
Jalannya Perlawanan
Setelah mendarat pada tanggal 5 April 1873 dengan kekuatan kurang lebih 3000 orang bala tentara, serangan terhadap mesjid dilakukan dan berhasil direbut, tetapi kemudian diduduki kembali oleh pasukan Aceh. Karena ternyata bertahan sangat kuat, serangan ditunda kembali sambil menunggu bala bantuan dari Batavia. Akhirnya penyerbuan tak diteruskan, malahan ekspedisi ditarik kembali. Pada bulan November 1873 Belanda mengirimkan ekspedisi kedua ke Aceh yang berkekuatan 8.000 pasukan dan dipimpin oleh Jenderal Van Swieten. Pada tanggal 9 Desember 1873 ekspedisi telah mendarat di Aceh, kemudian langsung terlibat pertempuran sengit. Belanda menggunakan meriam besar, sehingga laskar Aceh pimpinan Panglima Polim terus terdesak.
Akibatnya, mesjid raya kembali diduduki Belanda. Belanda terus bergerak dan menyerang istana Sultan Mahmud Syah. Pasukan Aceh terdesak dan Sultan Mahmud Syah menyingkir ke Luengbata. Daerah ini dijadikan pertahanan baru. Namun, tiba-tiba Sultan diserang penyakit kolera dan wafat pada tanggal 28 Januari 1874. Ia digantikan putranya yang masih kecil, Muhammad Daudsyah yang didampingi oleh Dewan Mangkubumi pimpinan Tuanku Hasyim. Perlawanan masih terus dilanjutkan di mana-mana sehingga Belanda tetap tidak mampu menguasai daerah di luar istana. Belanda hanya menguasai sekitar kota Sukaraja saja. Sementara itu, di seluruh Aceh dikobarkan suatu perlawanan bernapaskan Perang Sabilillah. Ulama-ulama terkenal, antara lain Tengku Cik Di Tiro dengan penuh semangat memimpin barisan menghadapi serbuan tentara Belanda.
Rakyat di daerah Aceh Barat juga bangkit melawan Belanda dipimpin oleh Teuku Umar bersama istrinya Cut Nyak Dien. Ia memimpin serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda sehingga menguasai daerah sekitar Meulaboh pada tahun 1882. Daerah-daerah lainnya di luar Kutaraja juga masih dikuasai pejuang-pejuang Aceh. Mayor Jenderal Van Swieten diganti Jenderal Pel yang kemudian tewas dalam pertempuran di Tonga. Tewasnya 2 perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Kohler dan Jenderal Pel merupakan pukulan berat bagi Belanda. Oleh karena sulitnya usaha untuk mematahkan perlawanan laskar Aceh maka pihak Belanda berusaha mengetahui rahasia kehidupan sosial budaya rakyat Aceh dengan cara mengirim Dr. Snouck Hurgronye, seorang misionaris yang ahli mengenai Islam untuk mempelajari adat-istiadat rakyat Aceh. Dengan memakai nama samaran Abdul Gafar, ia meneliti kehidupan sosial budaya rakyat Aceh dari bergaul dengan masyarakat setempat. Hasil penelitiannya menyimpulkan sebagai berikut: 1) Sultan Aceh tidak mempunyai kekuasaan apa-apa tanpa persetujuan dari kepala-kepala yang menjadi bawahannya. 2) Kaum ulama sangat berpengaruh pada rakyat Aceh.
Akhir Perlawanan
Perlawanan rakyat Aceh yang merupakan perlawanan paling lama dan terbesar di Sumatera akhirnya mendapat tekanan keras dari Belanda. Pada tanggal 26 November 1902, Belanda berhasil menemukan persembunyian rombongan Sultan dan menawan Sultan Muhammad Daud Syah pada tahun 1903. Disusul menyerahnya Panglima Polim dan raja Keumala. Sedangkan Teuku Umar gugur karena terkena peluru musuh tahun 1899. Pada tahun 1891 Tengku Cik Di Tiro meninggal dan digantikan putranya, yaitu Teuku Mak Amin Di Tiro. Dengan hilangnya pemimpin yang tangguh itu perlawanan rakyat Aceh mulai kendor, Belanda dapat memperkuat kekuasaannya.
0 Response to "Perlawanan Rakyat Aceh (1873 – 1912)"
Post a Comment