Alkisah, ada seorang bernama Mapihan yang berkehidupan dengan mencari ikan. Mapihan biasanya mencari ikan pada malam hari dengan menombak. Pada suatu malam, Mapihan mencari ikan di bawah pohon kariwaya. Sembari menunggu ikan yang akan ditangkap, Mapihan menghujamkan tombaknya ke pohon kariwaya. Sebagaimana diyakini penduduk, pohon kariwaya memiliki hantu penunggu. Mapihan tidak mengetahui hal tersebut.
Begitulah. Tidak lama setelah Mapihan menghujamkan tombaknya ke pohon tersebut, tiba-tiba terdengar suara gaib dari seseorang yang yang mengajak temannya untuk mencari istri Mapihan yang sedang melahirkan. Namun, teman yang diajak berbicara tersebut menolak karena kakinya sakit tertusuk benda tajam. Dalam pembicaraan antar kedua makhluk ghaib tersebut disebutkan bahwa anak yang akan dilahirkan istri Mapihan akan mati disambar buaya. Makhluk ghaib yang menolak tersebut adalah penunggu pohon kariwaya yang kakinya tertusuk tombak Mapihan.
Tentu saja Mapihan terkejut mendengar pembicaraan tersebut. Tanpa berpikir panjang Mapihan melangkahkan kakinya pulang untuk menemui istrinya. Benar saja, istrinya telah melahirkan seorang bayi perempuan. Untuk menghindari anaknya dimakan buaya, sebagaimana pembicaraan makhlukh ghaib dan temannya, Mapihan mengajak istrinya pindah dan menetap di Paramian, daerah pegunungan yang jauh dari sungai.
Di tempat yang baru, Mapihan membuat rumah dan menggali sumur untuk keperluan sehari-hari. Seiring perjalanan waktu, anak Mapihan tumbuh. Anak Mapihan menyukai berbagai permainan dan mempunyai berbagai mainan, diantaranya mainan berbentuk buaya yang terbuat dari pelepah daun kelapa.
Pada suatu hari, Mapihan bermaksud menghadiri peringatan Maulud Nabi Muhammad di Martapura. Berangkatlah Mapihan dengan perahu. Sesampai di daerah Muara Munti yang di dalamnya hidup seekor buaya yang bernama Tabuan Ranggas, Mapihan tidak sengaja mengeluarkan kata-kata yang seakan-akan menantang: “Jika Tabuan Ranggas benar-benar sakti, maka dirinya akan melihat kebenaran suara ghaib yang pernah didengarnya bahwa anaknya mati dimakan buaya.” Ucapnya lagi, rambut anaknya agar dikaitkannya di ujung aur (bambu besar) yang ada di seberang sungai sehingga sekembalinya dari Martapura, dia dapat melihat bahwa anaknya sudah meninggal Mapihan tidak tahu bahwa di daerah tersebut hidup seekor buaya Tabuan Ranggas.
Setelah pulang dari menghadiri peringatan Maulud Nabi Muhammad, tepat dimana dia mengeluarkan kata-kata menantang, Mapihan melihat ada seuntai rambut di pucuk bambu. Saat melihat itu, Mapihan bergegas pulang untuk mengetahui apakah anaknya sudah dimakan buaya. Sesampai di rumah, istrinya melaporkan bahwa anaknya dan mainan berbentuk buaya terjatuh ke dalam sumur, tetapi mayatnya tidak ditemukan. Mendengar cerita isterinya, Mapihan menyadari bahwa anaknya telah dimakan buaya Tabuan Ranggas.
Setelah peristiwa itu Mapihan hendak membalas dendam. Dengan tipu daya dia dapat membunuh buaya Tabuan Ranggas. Kepala buaya itu dipenggal dan dikuburkan di daerah ini. Akhirnya, tempat itu dinamakan Tabuan Ranggas.
Tema legenda Mapihan dan Tabuan Ranggas mengangkat sikap takabur tidak baik sedangkan amanat yang dapat diambil berdasarkan tema tersebut adalah walaupun kita memiliki kelebihan dibandingkan yang lain, kita tidak boleh takabur karena akan menghancurkan diri kita sendiri.
Mapihan adalah tokoh utama dalam legenda ini. Dia berbuat takabur setelah merasa keamanan diri dan keluarganya terjamin. Dia tahu bahwa anaknya akan mati dimakan buaya. Namun, setelah dia merasa aman karena tinggal di daerah pengunungan yang jauh dari sungai, dia takabur dengan sesumbar ingin melihat anaknya dimakan buaya. Akhirnya, anaknya tewas karena dimakan buaya akibat sesumbarnya sendiri.
Sikap takabur seperti yang dilakukannya karena ia merasa bahwa diri dan keluarganya sudah berada di tempat yang aman. Akibat sikapnya itu, anaknya tewas dimakan buaya jadi-jadian. Kita tidak boleh bersikap takabur/sombong karena sesuatu yang kita miliki. Sikap takabur atau sombong akhirnya akan merugikan diri sendiri.
Sumber: Kisah Rakyat Banjar
0 Response to "Kisah Mapihan dan Tabuan Ranggas"
Post a Comment