Tanggal 30 September 1965 malam itu, Jenderal A.H. Nasution memberikan ceramah di Universitas Muhammadiyah Kebayoran Baru, disertai Brigjen. Mudhar Amin, mengenai masalah sistem (Pertahanan/Keamanan Rakyat Semesta). Beliau pulang menjelang tengah malam karena ceramahnya cukup lama. Malam itu Kol. Latief memeriksa penjagaan anak buahnya di rumah Pak Nas. Hal itu diketahui Pak Nas, tanpa curiga dan syak wasangka.
Para ajudan sudah tidur di kamar belakang. Mereka pun lelah. Lama Pak Nas tidak dapat tidur. Udaranya sangat panas. Kebetulan banyak nyamuk masuk tempat tidur. Waktu terus juga berjalan tanpa terasa. Komandan jaga, Serda Ishak dengan sejumlah anggotanya berada di rumah jaga. Mereka semua diserahi tugas menjaga keselamatan Jenderal Nasution. Seorang jaga di rumah monyet, seorang tidur di rumah jaga, seorang tidur di halaman rumah dan seorang lagi jaga di belakang rumah.
Jam 04.00 pagi.
Satu formasi kendaraan bermotor yang terdiri dari tiga buah truk dan web dating dari arah selatan melewati rumah monyet. Pada jarak kurang lebih 20 meter truk di muka memutar haluan, menghadap ke selatan di seberang jalan. Semua kendaraan itu mengangkut anak buah Djaharup terdiri dari anggota-anggota Yon 454, Yon 530, Brigif I/jaya, Cakrabirawa dan anggota pemuda rakyat berpakaian seragam hijau seperti telah dipersiapkan oleh G-30-S/PKI. Tanpa banyak bicara mereka turun dari kendaraan untuk kemudian bergerak maju ke rumah Pak Nas. Para pengawal yang berada di halaman tidak curiga karena dari seragamnya kelihatan bahwa mereka adalah pasukan pengawal Istana. Mendadak empat orang mendekati rumah jaga sambil mengucapkan “selamat malam”. Serentak dengan ucapan itu 30 orang datang menyergap. Mereka mengancam yang ada di halaman dan di rumah jaga. Setiap gerakan kecil dijawab dengan tembakan ke samping dan ke atas. Tiga puluh orang lagi mengurung Praka Omon yang berada di rumah monyet, 20 orang lainnya terus menuju ke belakang dan 15 orang masuk ke dalam rumah. Untuk memblokir jalan, pasukan pemberontak itu menempatkan 30 orang anggotanya.
Terbukanya pintu kamar tamu telah memaksa Ibu Nasution membuka kamar tidur. Begitu pintu kamar terbuka terlihat olehnya seorang berpakaian Cakrabirawa siap untuk menembak. Segera pintu ditutupnya, karena merasa curiga terhadap “para tamunya”. Pak Nas akan membuka pintu, tetapi isterinya melarang. Terdorong oleh karena ingin mengetahui, Pak Nas kemudian membuka pintu. Begitu pintu terbuka, moncong senjata memuntahkan peluru. Sebagai prajurit yang telah banyak berpengalaman dan makan asam-garamnya peperangan, Pak Nas segera bertiarap. Istrinya cepat-cepat menutup pintu dan menguncinnya. Hargijono-si pembunuh-dengan kedua temannya siap di pintu. Ibu Nas tegak menahan pintu sedangkan suaminya tiarap tidak jauh dari kakinya bersama Ade Irma. Lima peluru menembus daun pintu lewat di atas kepalanya, sebutir lewat di atas kepalanya, sebutir lagi lewat rambut Ibu dan beberapa lewat ketiaknya. Mendengar rentetan tembakan itu ibu kandung Pak Nas masuk dari kamar samping memeluk anaknya. Dikira anaknya menderita luka. Tetapi kemudian Ibu Nas memperingatkan agar suara tidak terdengar dari luar.
Pada waktu itu pula Mardiah, adik kandung Pak Nas, tergopoh-gopoh masuk kamar, mengambil Ade untuk menyelamatkannya. Tetapi ia tersesat melewati pintu yang telah dijaga pasukan pengkhianat. Sekali lagi rentetan peluru meninggalkan larasnya. Tiga peluru bersarang di lambung Ade, dua peluru mengenai tangan Mardiah. Tetapi Mardiah tak menghiraukan sentuhan benda panas itu. Ibu Nas menutup pintu dan menguncinya. Butir-butir tembaga simpang-siur di atas kepala dan di bawah ketiaknya. Dengan matanya ia member isyarat kepada suaminya. Pelan-pelan Pak Nas bangkit dan dengan diantar isterinya ia keluar kamar, melewati gang menuju ke samping rumah. Ia segera melompati tembok. Sebuah senjata Garand di dekat rumah jaga berdentam tiga kali. Salah satu pelurunya menyentuh paha Pak Nas, akan tetapi ia tidak berpikir lebih panjang lagi. Nalurinya mengatakan bahwa jiwanya terancam, karena itu ia harus menyelamatkan diri.
Melihat ada seseorang lari, seorang gerombolan penculik menembak ke arah orang itu, tetapi tidak kena, rupanya tembakan kurang ke bawah arahnya. Jenderal Nasution sendiri tetap bersembunyi di pekarangan tetangganya. Napasnya turun naik, jantungnya berdebar-debar keras.
Cakra, pikirnya, mengapa Cakra dikirim untuk membunuh saya. Tetangganya kanan-kiri sudah pada bangun mendengar suara tembakan itu, akan tetapi mereka sayang pada nyawanya masing-masing. Karena itu tak ada satu pun yang keluar.
Setelah mengantar suaminya, Ibu Nasiution mengambil Ade dari Mardiah. Digendongnya si bungsu yang berlumuran darah. Rambutnya tergerai dan tak teratur, dadanya turun naik. Matanya nyalang melihat beberapa orang pembunuh di bawah pohon jambu lari ke dapur.
“Kalian datang kemari hanya untuk membunuh anak saya” bentak Ibu Nas. Tetapi kemudian Djaharup membentaknya menyuruh diam. Ibu Nasution menggendong Ade. Perutnya berlumuran darah, pahanya hancur. Pak Nas waktu itu berada dipagar tembok. Ia tertegun memandang anak tercinta digendong Ibu. Satu perasaan halus mendorong ia untuk turun membela sang putri. Tetapi dorongan untuk menyelamatkan diri memaksanya untuk meloncat ke pekarangan tetangga. Menyembunyikan diri.
Ibu Nas berdoa agar diri dan keluarganya diselamatkan terhindar dari renggutan maut. Kemudian Ibu Nas masuk kamar makan dan bermaksud menelpon Pangdam V/jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah serta dokter. Tetapi dengan bentakan gerombolan penculik menanyakan tempat Bapak. Ibu menjawab bahwa Bapak sudah dua hari keluar kota.
Pada waktu gerombolan penculik datang, Praka Djamdjuri sedang jaga di belakang, di depan garasi. Sepucuk Carl Gustaf tersandang di badannya. Mendengar hingar-bingar di muka ia bergerak ke sana. Dilihatnya sekelompok anggota Cakra, memakai setangan leher. Ia lari ke belakang untuk memberitahu Sersan Muhammad.
Begitu mendengar letusan senjata, Yanti, puteri pertama Pak Nas yang berumur tiga belas tahun, tersentak dari tidurnya. Bersama Alfiah ia melompati jendela dan lari ke kamar ajudan, bersembunyi di kolong tempat tidur. Praka Djamdjuri karena melihat Cakrabirawa tidak jadi member tahu Muhammad, akan tetapi memberitahu pada ajudan. Lettu Pierre Tendean dan AKP Hamdan Mansjur sudah bangun. Djamdjuri melaporkan kepada ajudan bahwa di belakang banyak pasuka. Ajudan segera mengisi Garandnya. Waktu itu ia mengenakan celana hijau dan jaket cokelat, bergerak menuju sumber suara. Dalam perjalanan ia bertemu Idris yang keluar dari dalam rumah. Tiba-tiba Idris bertanya dengan nada membentak. Lettu Pierre Tendean menjawab bahwa ia ajudan Jenderal Nasution. Kemudian terdengar peluit panjang karena gerombolan penculik mengira Lettu Tendean adalah Jenderal Nasution. Gerombolan penculik yang ada di dalam rumah diperintahkan keluar semua. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa yang tertangkap itu bukan Jenderal Nasution, tetapi yang lain mengatakan bahwa itu Jenderal Nasution.
Jam empat lebih delapan menit.
Suasana kembali sepi. Lettu Pierre Tendean dibawa para penculik. Peluru membekas di sana sini; bau mesiu masih mengembang di udara pagi. Daun-daun pintu berlubang kena tembakan. Darah menggelimang di lantai. Ibu Nas sendiri, setelah suasana kembali sunyi segera mengangkut Ade ke RSPAD. Diperintahkannya kepada AKP Hamdan Mansjur untuk melapor kepada Pangdam V/Jaya.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 antara jam 10.00-11.00 Latief sebagai gembong G-30-S/PKI masih sempat pergi ke RSPAD secara preman dan menanyakan apakah Jenderal Nasution berada di RSPAD untuk menghadiri operasi pengobatan puterinya Ade Irma Suryani. Tetapi ternyata Jenderal Nasution tidak berada di sana. Tujuan Latief mencari Jenderal Nasution ialah karena ia telah mengetahui bahwa Jenderal Nasution lolos dari penculikan gerombolan G-30-S/PKI dan hanya berhasil menculik Lettu Pierre Tendean. Sekiranya Latief bertemu Pak Nas di RSPAD ia bermaksud akan membunuh Jenderal Nasution. Demikianlah betapa bukti kekejaman terror G-30-S/PKI yang dikendalikan oleh Supardjo dan Latief yang didalangi PKI terhadap atasannya sendiri. Tuhan tidak mengizinkan perbuatan terkutuk Latief ini, yang telah mengkhianati atasannya, negara dan bangsa Indonesia.
Sumber: Monumen Pancasila Cakti hal. 103-107
0 Response to "Usaha Penculikan Jenderal DR. A.H. Nasution"
Post a Comment