Terjadinya inflasi yang semakin tinggi pada akhir pemerintahan Orde Lama (±650%), mendorong pemerintah Orde Baru menyelamatkan perekonomian negara melalui jalan stabilisasi dan rehabilitasi. Stabilisasi berarti pengendalian inflasi agar harga-harga tidak melonjak dengan cepat. Sementara itu, rehabilitasi berarti perbaikan terhadap sarana dan prasarana serta perbaikan terhadap alat-alat produksi.
Selama Pelita I dan II, pertanian menjadi sektor yang sangat penting dalam ekonomi Indonesia. Oleh karena itu pemerintah memberi perhatian utama terhadap pembangunan sektor pertanian. Produksi beras meningkat berkat berhasilnya usaha intensifikasi pertanian melalui Bimas dan Inmas dengan panca usaha tani. Selain beras, hasil pertanian yang lain seperti tanaman karet, kopi, cengkih, gula, dan lada juga meningkat.
Selain sektor pertanian, pembangunan industri juga menunjukkan perkembangan yang positif. Selama Repelita I, produksi pupuk urea meningkat 41,3%. Industri-industri yang cukup berkembang selama Repelita I-II antara lain industri semen, kertas, ban, botol, gelas, soda, gas, farmasi, industri logam, baja, dan lain-lain.
Selama masa Orde Baru, perdagangan luar negeri melalui ekspor impor juga berkembang. Ekspor Indonesia meliputi hasil pertanian, hasil industri, dan hasil tambang nonmigas. Komoditi hasil pertanian meliputi kopi, karet, tembakau, rempah-rempah, dan lain-lain. Contoh komoditi industri antara lain alat-alat listrik, minyak kelapa sawit, dan kertas. Sedang tambang nonmigas contohnya bauksit, batu bara dan bijih-bijihan.
Kegiatan impor Indonesia meliputi impor makanan dan minuman,bahan bakar dan pelumas, alat angkutan (kendaraan), dan suku cadang kendaraan. Meskipun melakukan kegiatan impor, namun kegiatan ekspor yang cukup banyak dapat menambah kas negara. Bahkan pada pelita I dan II gerak ekonomi Indonesia menunjukkan kemajuan. Pada pelita I dan II (1960 – 1979) hasil kinerja perekonomian Indonesia sangat memuaskan. Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% setahun. Sementara itu laju inflasi turun menjadi 47% pada akhir pelita I dan 9,5% pada akhir pelita II. Adapun investasi meningkat dengan laju 11% menjadi 24% dari produk domestik Bruto selama 10 th.
Perkembangan ekonomi yang semakin meningkat ini dilatarbelakangi oleh adanya krisis energi yang melanda dunia pada tahun 1973 sebagai akibat dari harga minyak bumi di pasaran dunia yang membumbung tinggi.
Hal tersebut disebabkan adanya embargo dari negara-negara Arab anggota OPEC sehubungan dengan ada-nya konflik Arab-Israel. Peristiwa ini sangat menguntungkan Indonesia karena Indonesia sebagai negara pengekspor minyak dapat mengekspor minyak lebih banyak. Jadi, Indonesia banyak mengembangkan sumur pengeboran minyak lepas pantai, seperti sumur Shinta I di Tenggara Pulau Sumatra, sumur Attaka di lepas pantai Kaltim, dan sumur Arjuna di lepas pantai Laut Jawa.
Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1983 negara-negara OPEC sepakat memutuskan untuk memotong, baik harga maupun produksi minyak. Harga minyak mentah diturunkan sebesar US$ 5 per barel dan ditetapkan sistem kuota produksi. Hal ini terjadi karena adanya kemelut minyak dunia dan resesi yang melanda negara-negara industri. Peristiwa ini tentu saja memengaruhi perekonomian Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan ekonomi, maka pada tahun 1983 pemerintah melakukan berbagai kebijakan berikut ini.
- Menekan anggaran belanja secara berturut-turut dalam bulan Januari 1983 dan Januari 1984.
- Menambah pinjaman luar negeri.
- Menggalakkan ekspor komoditas nonmigas.
- Membatasi impor barang mewah.
- Mengurangi perjalanan ke luar negeri.
- Menggalakkan penggunaan produk-produk dalam negeri.
- Mendevaluasi rupiah sebesar 28% (pada tanggal 30 Maret 1983).
- Menjadwal ulang atau bahkan membatalkan hampir 50 proyek publik yang bersifat intensif kapital dan intensif kandungan impor.
- Tidak menaikkan gaji pegawai negeri.
- Menaikkan harga bahan bakar minyak.
- Mengurangi subsidi atau pupuk dan pestisida.
- Memberikan subsidi atau bahan pangan tertentu.
- Memberlakukan serangkaian UU baru di bidang perpajakan.
- Melakukan deregulasi parsial sistem perbankan.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut dilaksanakan selama satu pelita (1979 - 1984). Pada awal Pelita IV (1984 - 1989), Indonesia telah berhasil berswasembada beras.
Pada akhir Pelita IV terjadi perkembangan di sektor perbankan dan pasar modal (Bursa Efek Jakarta). Pada pelita ini, Indonesia sudah dapat mengurangi ketergantungan penerimaan devisa pada minyak. Indonesia juga mula memerankan ekspor nonmigas. Selain itu, peran sektor swasta dalam perekonomian nasional semakin besar.
Ekspor nonmigas Indonesia meningkat dengan pesat, bahkan Indonesia sudah mulai mengekspor barang-barang dari berbagai produk industri. Pertumbuhan ekonomi yang begitu meningkat ini tidak lepas dari adanya proses industrialisasi yang digalakkan pemerintah dan didukung oleh investasi asing dan pinjaman dari luar negeri.
Dalam perkembangannya, kehidupan perekonomian yang semakin meningkat ini ternyata tidak dapat bertahan lama sebab peningkatan ekonomi ini dibangun di atas fondasi ekonomi yang keropos. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai bersifat semu karena hal ini merupakan hasil utang dari luar negeri. Keroposnya perekonomian Indonesia semakin diperparah oleh tindakan dari para pengusaha yang menyalahgunakan kepentingan mereka dalam pembangunan ekonomi. Adanya sikap KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) menyebabkan mereka lebih bebas menggunakan hak utang mereka tanpa kontrol dari pemerintah. Akibatnya, pada akhir tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi dan moneter yang sampai sekarang belum dapat diselesaikan. Pertumbuhan ekonomi pun merosot tajam hingga 13,2%. Selain itu, berbagai usaha industri ditutup karena meningkatnya biaya produksi. Hal ini menyebabkan menurunnya pendapatan devisa negara dan munculnya banyak pengangguran.
0 Response to "Perkembangan Ekonomi Pada Masa Orde Baru"
Post a Comment