Kisah Sahabat Nabi: "Bilal bin Rabah"


“Saya ini adalah seorang budak Habsyi…dan kemarin saya seorang budak belian.” Demikianlah penuturan Bilal bin Rabah sambil pipinya membasah mengenang dirinya masa lalu. Kalau bukanlah karena jasa Abu Bakar, tidaklah ia menjadi sahabat Rasulullah SAW dan muadzin yang pertama dalam Islam.

Bilal dulunya hanya seorang budak. Namun, tanyakanlah kepada sekian banyak muslim saat ini siapa yang tidak mengenalnya.  Seorang budak yang saat masuk Islam harus disiksa tuannya dengan tindihan batu dan ia meneriakkan kata, “Ahad! Ahad!”

Tanpa Islam, Bilal bin Rabah yang hanya seorang budak itu bukanlah siapa-siapa, seseorang yang tak berharga, tertindas dan terinjak. Tanpa Islam, tak akan mungkin kedudukan harkat dan martabatnya terangkat menjadi sorotan dalam sejarah. Tanpa Islam, hitam warna kulitnya tak membuatnya lebih terkenal dari tokoh-tokoh yang lebih kaya dan tampan.

Bilal adalah budak dari Bani Jumah di Mekah. Hari-harinya sebagai budak berlalu tanpa menyisakan harapan untuk hari esok. Ia mengenal Nabi Muhammad SAW dari cerita-cerita tuannya sendiri, Umayah bin Khalaf.  Obrolan tuannya dengan sesama Bani Jumah yang penuh kebencian  pada Rasulullah SAW.

Tapi, pembicaraan yang penuh kebencian itu malah semakin meneguhkan hati Bilal akan keberadaan Nabi SAW.  Sampai akhirnya ia mengikrarkan dirinya sebagai seorang Islam kepada Rasulullah SAW secara diam-diam. Namun, lama kelamaan beritanya  tersebar.

Tentulah berkobar kemarahan Umayah mendengar hal tersebut. “Matahari yang terbit hari ini takkan tenggelam dengan Islamnya budak durhaka itu!”


Siapalah Bilal itu sampai berani menentang tuannya? Juga, siapakah Bilal yang hanya seorang budak, sangatlah mudah bagi tuannya untuk menyiksanya? Dibaringkan tanpa sehelai pakaian di atas pasir panas sepanas bara, lalu dijatuhkan batu besar di atas dadanya.

Siapakah Bilal yang bisa melawan semua siksaan itu?
Ya, siapakah Bilal yang bisa melawannya kalau bukan karena ada iman yang bersarang didadanya? “Teriakkan Lata dan Uzza!”  Hardik kafirin yang menyiksanya.  Maka Bilal pun berteriak, “AHAD!”

Siapakah budak kulit hitam itu yang setelah ditindih batu dalam panasnya mentari, lalu diarak keliling bukit-bukit dengan tali pada leher dan badannya.  Diteriaki anak-anak dan dicemooh keliling Mekah.  Siapakah laki-laki yang tetap mengucapkan Ahad, walaupun dijanjikan akan diberi keringanan hukuman keesokan harinya?

“Kesialan apa yang menimpa kami disebabkanmu, hai budak celaka! Demi Tuhan Lata dan Uzza, akan kujadikan kau sebagai contoh bagi bangsa budak dan majikan-majikan mereka!” Umayah berteriak lalu meninju badan budak yang tak lagi bertenaga.

Tak ayal segala daya dilakukan Umayah. Ia menyuruh orang untuk berpura-pura kasihan pada Bilal. Mereka membujuk Bilal untuk meninggalkan Islam dengan berbagai tawaran indah.  Maka lagi-lagi keesokannya Bilal di bawa ke padang pasir yang panas untuk mendapatkan siksaan yang sama.

Pada saat siksaan yang menderanya hampir mencapai puncaknya di hari yang panas itu, tiba-tiba datanglah Abu Bakr As Shidiq ra. “Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena mengatakan bahwa Tuhanku ialah Allah?” Abu Bakr menghampiri Umayah lalu katanya, “Terimalah ini untuk tebusannya, lebih tinggi dari harganya dan bebaskan dia!”

“Bawalah dia, Demi Lata dan Uzza, seandainya harga tebusannya tak lebih dari satu ugia, pastilah ia akan kulepaskan juga,” kata Umayah. “Demi Allah, andainya kalian tak hendak menjualnya kecuali seratus ugia, pastilah akan kubayar juga,” ujar Abu Bakr.

Demikianlah Allah telah membebaskan Bilal melalui Abu Bakr ra.  Bilal berada bersama orang-orang muslim yang dicintainya, menikmati kemerdekaannya dari budak. Meninggalkan kenestapaan, dan turut berhijrah bersama Rasulullah SAW ke Madinah. Sampai akhirnya perintah sholat turun, dan Bilal ditunjuk sebagai muadzin pertama.

Bilal di Perang Badar
Umayah bin Khalaf yang merupakan majikan Bilal sebenarnya tidak mau turut berperang di Badar. Namun, suatu hari datanglah pemuka kaum Quraisy yang sangat mendorong adanya perang yaitu Ughbah bin Abi Muith kepadanya.  “Hai Abu Ali, terimalah dan gunakanlah pedupaan ini, karena kamu tak lebih dari seorang wanita,” kata Ughbah.

“Keparat, apa yang yang kau bawa ini?” teriak Umayah dengan geramnya. Tak dapat mengelak akhirnya Umayah turut perang Badar. Ughbah juga yang dahulu mendorong Umayah menyiksa Bilal sebelum menyuruhnya berperang.

Maka berkecamuklah perang Badar. Pada suatu saat telah ditakdirkan Allah, Ughbah akhirnya terbunuh di tangan Bilal. Sementara itu, Umayah yang ketakutan meminta perlindungan dari Abdurahman bin Auf agar menjadikannya tawanan dan menyelamatkan nyawanya. Namun, hal tersebut terlihat oleh Bilal. “Ini dia, gembong kekafiran, Umayah bin Khalaf, biar aku mati daripada orang ini selamat,” terial Bilal.

“Hai Bilal dia tawananku,” ujar Abdurrahman. “Tawanan? Padahal pertempuran masih berkobar dan peperangan masih berputar,” kata Bilal. Sambil menatap kepada kaum muslim lain, Bilal berteriak, “Hai Pembela-pembela Allah, ini dia gembong orang kafir, Umayah bin Khalaf! Biar aku mati daripada dia lolos.” Berdatanglah pasukan muslimin kala itu dan Abdurrahman bin Auf tak lagi bisa melindunginya. Umayah tewas di perang Badar.

Adzan di Kabah
Saat penaklukan Mekah, Bilal masuk ke dalam Kabah bersama Rasulullah SAW. Lebih dari 300 buah berhala ditemukan di dalamnya. Segeralah Rasulullah SAW menghancurkan berhala-berhala tersebut, terutama berhala yang menggambarkan nabi Ibrahim sedang main judi.

Setelah membersihkan berhala, Rasulullah  SAW menyuruh Bilal naik ke bagian atas masjid untuk mengumandangkan adzan. Itulah adzan pertama yang berkumandang di Mekah.  Setiap yang ada di situ memperhatikan dengan seksama apa yang Bilal akan lakukan. Semuanya hening dan tenang menunggu.  Sementara kaum musyrik yang bersembunyi di rumah-rumah mereka bertanya-tanya dalam hati sama-sama menanti.

Berkumandanglah adzan yang merdu menaungi Kabah dan sekitarnya.
Tiga orang bangsawan Quraisy berpandang-pandangan. Mereka adalah Abu Sufyan bin Harb, yang baru saja masuk Islam, Attab bin Useid serta Harits bin Hisyam yang belum masuk Islam. Mata mereka tertuju kepada Bilal yang menginjak-injak berhala lalu mengumandangkan adzan.

Attab berkata, “Sungguh Useid dimuliakan Allah, ia tidak mendengar sesuatu yang amat dibencinya.” Lalu Harits berkata, “Demi Allah, seandainya saya tahu bahwa Muhammad SAW itu di pihak yang benar pastilah saya paling dahulu akan mengikutinya.”

Abu Sufyan yang menukas pembicaraan kedua orang temannya itu, “Saya tak hendak mengatakan sesuatu karena seandainya saya berkata, pastilah akan disebarkan oleh kerikil-kerikil ini.”

Saat Rasulullah SAW berlalu meninggalkan Kabah, beliau menghampiri mereka, “Saya tahu apa yang telah kalian katakan tadi.”

Setelah Rasulullah mengungkapkan apa yang telah mereka katakan, berkata Harits dan Attab, “Kami menyaksikan bahwa Anda adalah Rasulullah. Demi Allah tak seorang pun mendengarkan pembicaraan kami sehingga kami bisa menuduhnya telah menyampaikannya kepada Anda.”

Setelah itu lalulah Bilal di hadapan mereka. Teringatlah kembali orang mereka pidato Rasulullah SAW yang baru disampaikan:

“Hai golongan Quraisy! Allah telah melenyapkan daripada kalian kesombongan jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang! Manusia itu dari Adam, sedang Adam dari tanah!”

Menangis Mengingat Rasulullah SAW
Sepanjang hidupnya Bilal tak berubah dari keserdahanaan. “Saya seorang Habsyi yang kemarin menjadi budak belian,” demikianlah Bilal mengingat-ingat dirinya dahulu agar bisa mensyukuri kebaikan nasibnya.  Saat meminang gadis pun Bilal selalu bersikap mulia dan rendah hati.

“Saya ini Bilal, dan ini saudara saya, kami berasal dari budak bangsa Habsyi. Pada mulanya kami berada dalam kesesatan kemudian diberi petunjuk Allah, dahulu kami budak-budak belian lalu dimerdekakan oleh Allah. Jika pinangan kami Anda terima Alhamdulillah, segalam puji bagi Allah, dan seandainya Anda tolak, maka Allahu Akbar, Allah Maha Besar.”

Setelah Rasulullah SAW tiada, Bilal sudah tak berkeinginan lagi menjadi muadzin. Ia meminta kepada Umar bin Khattab untuk pergi ke Suriah untuk berjuang di medan perang. Umar memintanya untuk tetap menjadi muadzin namun Bilal tak sanggup mengumandangkan adzan terutama pada kalimat syahadat yang kedua.  Ia akan sedih mengingat Rasulullah SAW telah tiada sehingga suaranya tercekat di tenggorakan.

Suatu kali Umar bin Khattab berkunjung ke Suriah, dan meminta Bilal mengumandangkan adzan. Bilal memenuhi permintaan Umar dan itulah adzan Bilal yang terakhir. Saat sampai pada kalimat asyhadu anna Muhammadar Rasulullah…..Bilal mulai mencucurkan air mata. Memandang itu, menangislah semua yang memandanginya, dan tangisan terkeras terdengar dari khalifah Umar bin Khattab.

Bilal berpulang ke rahmatullah di Suriah sebagai pejuang di jalan Allah. Semoga Rahmat dan karunia Allah melimpah ruah kepada Bilal bin Rabah.

Alhamdulillah




1 Response to " Kisah Sahabat Nabi: "Bilal bin Rabah""