Kisah Sahabat Nabi: "Hudzaifah Ibnul Yaman"


Kota Madain sedang ramai menunggu kedatangan seorang wali negeri mereka yang baru saja diangkat oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. Mereka mendengar wali mereka itu seorang yang sholeh, bertaqwa, dan berjasa membebaskan Iraq. Namun, tiba-tiba yang muncul seorang yang hanya menunggang keledai. Kain alas duduknya lusuh, sambil makan roti dan garam.

Orang-orang mengerumuninya. Hudzaifah pun menatap air muka para penduduk. Mereka diam seolah ingin mendengarkan perkataannya.

"Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah!" kata Hudzaifah lantang.

Salah seorang dari penduduk bertanya, "Dimanakah tempat-tempat fitnah itu wahai Abu Abdillah?"

Hudzaifah pun menjawab," Pintu-pintu rumah pembesar. Seorang di antara kalian masuk menemui mereka dan mengatakan ucapan palsu serta memuji perbuatan baik yang tak pernah mereka lakukan."

Demikianlah ucapan Hudzaifah ketika pertama kali diangkat menjadi wali negeri di kota Madain. Penduduk pun memandang wali mereka itu dengan kesan pertama sebagai orang yang tak mau ada celah sedikitpun terhadap kemunafikan.





Kebaikan dan Kejahatan
Hudzaifah adalah seorang yang anti kemunafikan. ia bersama saudaranya, Shafwan, menemani bapaknya menghadap Rasulullah SAW dan ketiganya masuk Islam. Semenjak masuk Islam, ia mempelajarinya langsung dari Nabi, dan tak ada persoalan hidupnya yang disembunyikannya. Ia adalah orang yang jujur dan mudah baginya untuk membaca tabiat atau air wajah orang lain.

Hudzaifah pandai mengenal karakter dan sifat manusia. Ia pandai menebak wajah dan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Hal inilah yang diandalkan oleh khalifah Umar bin Khattab ketika memilihnya. Itu lantaran ia sebelumnya telah lama bergaul dengan orang yang jahat dan munafik sehingga mudah mengenalinya. Hudzaifah menuturkan:

"Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di dalamnya.

Pernah ku bertanya, "Wahai Rasulullah, dulu kita berada dalam kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini, apakah di balik kebaikan ini ada kejahatan?"

"Ada," jawab Rasulullah SAW.

"Kemudian setelah kejahatan masih ada lagi kebaikan?" tanyaku pula.

"Memang tapi kabur dan bahaya," jawab Rasulullah SAW.

"Apa bahaya itu?"

"Yaitu segolongan umat mengikuti sunnah bukan sunnahku, dan mengikuti petunjuk bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu dan laranglah."

"Kemudian setelah kebaikan tersebut masihkah ada kejahatan?" tanyaku pula.

"Masih," jawab Nabi. "Yakni para tukang seru di pintu neraka. Barangsiapa menyambut seruan mereka akan mereka lemparkan ke neraka!"

Lalu kutanyakan kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, apa yang harus saya perbuat bila saya menghadapi hal demikian?"

Jawab Rasulullah SAW, "Senantiasa mengikuti jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka."

"Bagaimana kalau mereka tidak punya jamaah dan tidak pula pemimpin?"

"Hendaklah kamu tinggalkan golongan itu semua, walaupun kamu akan tinggal di rumpun kayu sampai kamu menemui ajal dalam keadaan demikian."

Musuh Kemunafikan
Hudzaifah ibnu Yaman menempuh kehidupan dengan mata terbuka dan hati waspada terhadap sumber fitnah dan liku-likunya demi menjaga diri dan memperingatkan manusia terhadap bahayanya. Laksana seorang filsuf, ia berkata:

"Sesungguhnya Allah Ta'ala telah membangkitkan Muhammad SAW, maka diserunya manusia dari kesesatan kepada kebenaran, dari kekafiran kepada keimanan. Lalu yang menerima mengamalkannyalah, hingga dengan kebenaran itu yang mati menjadi hidup dan dengan kebatilan yang hidup menjadi mati. Kemudian masa kenabian berlalu, dan datang masa kekhalifahan menurut jejak beliau, dan setelah itu tiba di jaman kerajaan yang durjana.

Di antara manusia ada yang menentang, baik dengan hati dan lisannya tanpa mengikutsertakan tangannya, maka golongan ini telah meninggalkan suatu cabang dari yang haq.

Dan ada pula yang menentang dengan hatinya semata, tanpa mengikutsertakan tangan dan lisannya, maka golongan ini telah meninggalkan dua cabang dari yang haq.

Dan ada pula yang tidak menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka golongan ini adalah mayat-mayat bernyawa."

Hudzaifah juga berbicara tentang hati dan mengenai kehidupannya yang beroleh petunjuk dan yang sesat, katanya:

"Hati itu ada empat macam. Hati yang tertutup, itulah dia hati orang kafir.  Hati yang dua muka, itulah dia hati orang yang munafik. Hati yang suci bersih, di sana ada pelita yang menyala, itulah dia hati orang yang beriman. Dan hati yang berisi keimanan dan kemunafikan. Tamsil keimanan itu adalah laksana sebatang kayu yang dihidupi air yang bersih, sedang kemunafikan itu tak ubahnya bagai bisul yang dialiri darah dan nanah. Maka mana di antara keduanya yang lebih kuat, itulah yang menang."

Lidah Hidzaifah tajam dan pedas. Itu karena pengalamannya yang luas. Hal ini pun membuatnya bertanya kepada Rasulullah SAW:

"Saya datang menemui Rasulullah SAW, kataku padanya, "Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam terhadap keluargaku, dan saya khawatir kalau-kalau hal itu akan menyebabkan saya masuk neraka."

Maka kata Rasulullah SAW, "Kenapa kamu tidak istigfar? Sungguh saya beristigfar kepada Allah tiap hari seratus kali."

Suatu kala pernah ia mengalami kepahitan dalam hidup saat dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan bapaknya, Husail bin Yabir,  terbunuh saat perang Uhud. Saat itu kaum muslim tak mengetahui jika bapaknya juga telah masuk Islam. Hudzaifah melihat dari jauh saat pedang menghujam tubuh bapaknya. "Ayahku, jangan ia ayahku."  Tetapi Allah berkehendak lain.

Saat kaum muslimin mengetahui mengenai kesalahan itu, mereka pun diliputi perasaan bersalah dan duka. Namun, Hudzaifah berkata, "Semoga Allah mengampuni tuan-tuan. Ia adalah sebaik-baiknya Penyayang."

Usai perang Rasulullah SAW memerintahkan untuk membayar diyat kepada Hudzaifah atas kematian bapaknya. Namun, ia menolaknya dan menyuruh membagikannya kepada kaum muslimin.

Menjadi Mata-Mata
Sewaktu terjadi perang Khandaq, angin topan dan badai meraung dan menderu. Rasulullah SAW memerintahkan Hudzaifah menjadi mata-mata untuk menyusup ke dalam tenda-tenda kaum kafir yang telah berminggu-minggu tertahan di luar Madinah dan tak bisa masuk kota karena kaum muslim membuat pertahanan berupa parit.

Maka kala malam Hudzaifah mengendap-ngendap meninggalkan Madinah untuk sampai di perkemahan musuh. Kala itu angin kencang, alat penerangan mereka padam. Abu Sufyan yang menjadi panglima kaum Quraisy khawatir kalau-kalau ada penyusup yang datang.

Abu Sufyan menyeru kepada anak buahnya, "Hai segenap golongan Quraisy, hendaklah masing-masing kalian memperhatikan kawan duduknya, dan memegang tangan serta mengetahui siapa namanya!"

Maka secepat kilat, Hudzaifah yang sedang menyusup itu mencari orang-orang di perkemahan musuh yang bisa dipegang tangannya. "Maka segeralah saya menjabat tangan laki-laki yang duduk di dekatku, kataku kepadanya, "Siapa kamu ini?" ujarnya, "Si anu anak si anu."

Demikianlah Hudzaifah bersiasat. Tak satupun tentara musuh menyadari kehadirannya di sana. Sekali Abu Sufyan berseru kepada pasukannya, "Hai orang-orang Quraisy, kekuatan kalian sudah tidak utuh lagi. Kuda-kuda kita telah binasa, demikian juga halnya unta. Bani Quraidhah telah pula menghianati kita sebagaimana kalian saksikan sendiri, kita telah mengalami bencana angin badai, periuk-periuk berpelantingan, api menjadi padam dan kemah-kemah berantakan. Maka berangkatlah kalian, saya pun akan berangkat." Lalu, Abu Sufyan naik ke punggung untanya dan mulai berangkat, diikuti dari belakang oleh tentaranya.

Berkata Hudzaifah:
"Kalau tidaklah pesan Rasulullah SAW kepada saya agar tidak mengambil suatu tindakan sebelum menemuinya lebih dahulu, tentulah saya bunuh Abu Sufyan itu dengan anak panah." Lalu kembalilah Hudzaifah kepada Rasulullah SAW dan menceritakan pengalamannya itu.

Menundukkan Irak
Hudzaifah adalah juga seorang yang mahir bertempur. Ia yang dikenal taat beribadah dan seorang pemikir ini juga dikenal sebagai pemberani di medan perang. Ia merupakan tokoh penting dalam pembebasan Irak.

Pada peperangan besar Nahawand, saat orang Parsi berhasil menghimpun 150 ribu tentara, Amirul Mukminin Umar bin Khattab memilih Nu'man bin Maqarrin sebagai panglima Islam. Kepada Hudzaifah dikirim surat agar ia menuju tempat itu sebagai komandan dari tentara Kufah. Umar menyatakan dalam suratnya:

"Jika kaum muslimin telah berkumpul, maka masing-masing panglima hendaklah mengepalai anak buahnya, sedang yang akan menjadi panglima besar ialah Numan bin Muqarrin. Dan seandainya Nu'man tewas, maka panji-panji komando hendaklah dipegang oleh Hudzaifah dan kalau ia tewas pula maka oleh Jarir bin Abdillah."

Amirul Mukminin masih menyebutkan beberapa nama lagi, ada tujuh orang banyaknya yang akan memegang pimpinan tentara secara berurutan.

Maka berhadapanlah kedua pasukan. Pasukan Parsi 150 ribu  orang dan kamu muslimin hanya 30 ribu orang. Nu'man bin Muqarrin tewas dan kepemimpinan pasukan dipegang Hudzaifah. "Allahu Akbar. Ia telah menepati janjiNya. Allahu Akbar telah dibelaNya tentaraNya!" Demikianlah seruan Hudzaifah.

Ia memutar kekang kudanya dan menuju pasukan muslim sembari berseru: "Hai umat Muhammad SAW, pintu-pintu surga telah terbuka lebar, siap sedia menyambut kedatangan tuan-tuan, jangan biarkan ia menunggu lama. Ayuhlah wahai pahlawan Badar! Majulah pejuang-pejuang Uhud, Khandaq dan Tabuk!"

Hudzaifah telah membakar semangat pasukan muslim. Kemenangan perang Nahawand segera didapat.

Pindah ke Kufah
Segera setelah kaum muslimin di kota Madain di bawah pimpinan Saad bin Abu Waqqash kurang memadai, khalifah Umar memerintahkan untuk pindah ke Kufah. Maka pergilah Hudzaifah bersama Salman bin Ziad untuk menyelidiki lokasi yang tepat untuk bermukim. Hudzaifah menemukan tempat di sebuah padang yang kosong berbatu.

Segera setelah mereka pindah ke Kufah kaum muslimin mendapatkan kebaikan. Mereka yang sakit sembuh, yang lemah menjadi lebih kuat, dan urat mereka berdenyutan menyebarkan arus kesehatan. Hudzaifah mengatakan: "Tidaklah termasuk yang terbaik di antara kalian yang meninggalkan dunia untuk kepentingan akhirat, dan tidak pula yang meninggalkan akhirat untuk kepentingan dunia, tetapi hanyalah yang mengambil bagian dari kedua-duanya."

Pada suatu hari di antara hari-hari yang datang silih berganti di tahun 36 hijriah, Hudzaifah mendapat panggilan menghadap Ilahi. Saat di akhir hidupnya itulah, datang beberapa orang sahabat kepadanya. Maka ditanyakanlah kepada mereka, "Apakah tuan-tuan membawa kain kafan?"

"Ada," ujar mereka.

"Coba lihat," kata Hudzaifah.

Maka tatkala dilihatnya kain kafan itu baru dan agak mewah, terlukislah pada kedua bibirnya senyuman terakhir bernada ketidaksenangan, katanya, "Kain kafan ini tidak cocok bagiku. Cukuplah bagiku dua helai kain putih tanpa baju. Tidak lama aku akan berada dalam kubur menunggu diganti dengan kain yang lebih baik atau dengan yang lebih jelek."

Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Hudzaifah sempat mengucapkan kata-kata:
"Selamat datang wahai maut. Kekasih tiba di waktu rindu. Hati bahagia tak ada keluh kesah atau sesalku."

Lalu ruh suci itupun pergilah membawa kesholehan dan ketaqwaannya.

Salam untukmu Hudzaifah Ibnul Yaman, semoga ridha Allah bersamamu.

Alhamdulillah


0 Response to "Kisah Sahabat Nabi: "Hudzaifah Ibnul Yaman""

Post a Comment