Musuh-musuh Islam selalu mengintai dan mencari kelengahan kaum muslimin, kemudian melemparkan syubhat-syubhat untuk membuat keraguan atas kebenaran Islam. Mereka berusaha mengaburkan sejarah emas generasi sahabat, dengan mencoba mencela dan melecehkannya, khususnya para perawi hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya, yaitu perawi yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah Abu Hurairah. Oleh karenanya, kita perlu mengetahui sejarah kehidupannya, agar kaum muslimin memiliki hujjah, tidak terbawa arus propaganda dan provokasi musuh-musuh Islam.
Nama dan Nasabnya
Namanya pada masa jahiliyah adalah Abdu Syams, sebagaimana ditetapkan Imam Bukhari, AtTirmidzi dan Al Hakim. Adapun setelah masuk Islam, namanya telah dirubah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini, dikarenakan tidak boleh memberi nama seseorang dengan nama “hamba fulan” (Abdul Fulan) atau hamba sesuatu. Yang boleh, hanya hamba Allah (Abdullah) semata, sehingga beliau diberi nama Abdullah atau Abdurrahman, namun Abdurrahman-lah yang lebih rajih.
Nama tersebut merupakan salah satu nama dari sekian nama-nama yang dimiliki Abu Hurairah. Menurut Al Hakim, nama itulah yang paling shah. Akan tetapi, Abu Ubaid berkata, bahwa nama beliau adalah Abdullah; dan Ibnu Khuzaimah terbiasa menggunakan nama tersebut.
Imam Bukhari dalam kitab Al Adab Al Mufrad mengutip dari Musa bin Ya’qub Al Juma’i yang telah bertemu dengan sahabat-sahabat setia Abu Hurairah. Bahwa sebelumnya, Abu Hurairah bernama Abdullah. Hal ini membuat Ibnu Hajar mengakui adanya kemungkinan benarnya dua nama tersebut.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu adalah orang Dausi–dengan difathahkan huruf “dal” dan disukunkan huruf “waw”- berasal dari Bani Daus bin ‘Adtsan. Kabilah Daus ini berasal dari Al Azd. Sedangkan Al Azd sendiri merupakan qabilah Yamaniah Qathaniyah yang terkenal silsilah nasab keturunannya terjaga sampai kakek tertinggi Al Azd bin Al Ghauts, sebagaimana telah dijelaskan oleh seorang pakar sejarah terpercaya Khalifah bin Khayyath.
Jika demikian halnya, berarti dia adalah Abu Hurairah Al Dausi Al Yamani. Imam Ad Daulabi meriwayatkan dari seorang tabi’in terkenal, Yazid bin Abu Hubaib, bahwa Abu Hurairah Ad Dausi Al Yamani merupakan sekutu Abu Bakar Ash Shiddiq.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah kepalsuan dan kebodohan orang yang menuduh, bahwa nasab Abu Hurairah tidak dikenal (majhul). Bahkan (perlu) kami tambahkan disini dengan menyatakan, bahwa Ibnu Ishaq – pengarang kitab sirah yang terkenal itu berkomentar tentang Abu Hurairah seraya berkata, ”Abu Hurairah adalah seorang mulia. Berkedudukan tinggi dan dipercaya di kalangan Bani Daus. Bani Daus senang memilikinya.”
Pamannya bernama Sa’ad bin Abu Dzubab yang diangkat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai gubernur wilayah Daus. Pengangkatan tersebut berlangsung hingga pemerintahan Umar. Nampaknya, kalaulah Sa’ad pada masa jahiliyah bukan seorang gubernur, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengangkatnya sebagai gubernur. Orang-orang yang meneliti sikap politik Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengangkat gubernur atau pemimpin bagi setiap suku atau kabilah, akan mengetahui, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu antusias mengangkat orang yang pada masa jahiliyahnya menjadi pemimpin bagi kaumnya, jika masuk Islam dan faqih (ahli agama), sebagaimana pengangkatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sahabat yang mulia Jarir bin Abdullah Al Bajali untuk menjadi wakil bagi kaumnya. (Demikian juga) Adi bin Hatim Ath Tha’i juga diangkat sebagai pemimpin bagi kaumnya.
Abu Ubaid Al Qasim bin Salam menyatakan: Shafwan bin Isa telah menceritakan kepada kami dari Al Harits bin Abdurrahman bin Abu Dzubab dari Munir bin Abdullah dari ayahnya dari Sa’ad bin Abu Dzubab, ia berkata,”Aku mendatangi Rasulullah. Lalu aku menyatakan diri masuk Islam. Lalu aku bertanya,’Wahai, Rasulullah. Jadikan untuk kaumku pemimpin yang akan mengambil zakat mereka yang telah masuk Islam,’ lalu Nabi menunaikan hal itu dan mengangkatku sebagai ‘amil untuk mengambil zakat mereka. Abu Bakar pun mengangkatku juga. Demikian pula Umar mengangkatku untuk melakukan tugas tersebut.”
Dalam kisah tersebut, kalau kita perhatikan, memang tidak terdapat isyarat bahwa Sa’ad sebagai paman dari Abu Hurairah. Namun isyarat tersebut terdapat pada sejarah biografi anaknya, Al Harist bin Sa’ad bin Abu Dzubab. Yaitu ketika Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf menjelaskan, bahwa dia adalah anak dari paman Abu Hurairah. Telah sampai kepada kita keterangan yang jelas dari Abu Salamah dengan sanad yang shahih diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim. Demikian juga Ibnu Hibban menyebutkan hal itu dalam biografinya, bahwa ia merupakan anak dari paman Abu Hurairah.
Demikianlah kemuliaan dan keutamaan yang dimiliki Abu Hurairah dari jalur pamannya seorang gubernur. Adapun dari jalur paman dari ibu; sesungguhnya ibunya (Umaimah binti Shufaih bin Al Harist dari Bani Daus) memiliki saudara bernama Sa’ad bin Shufaih, seorang pahlawan pemberani Bani Daus. Pamannya inipun telah masuk Islam. Dengan demikian, menyatulah kemuliaan Abu Hurairah dari dua arah. Dan nyatalah kebatilan pendapat orang yang menyatakan jika Abu Hurairah seorang faqir terlantar.
Sebab Kunniyahnya yang Aneh
Abu Hurairah terkenal dengan kunniyah (julukan) nya. Tentang julukannya ini, Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Mereka memberikan gelar dan julukan kepadaku Abu Hurairah. Penyebabnya, tidak lain karena aku pernah menggembalakan kambing untuk keluargaku. Dan saat itu kudapati anak kucing liar, lalu aku masukkan ke kantong lenganku. Ketika aku pulang kembali ke rumah, mereka mendengar suara kucing di kamarku, kemudian bertanya, ‘Suara apakah itu, wahai Abdu Syams?’ Akupun menjawab,‘Anak kucing yang kutemukan (saat menggembala kambing)’. Mereka berkata,‘Kalau begitu, engkau adalah Abu Hurairah’. Semenjak itu, julukan dan gelar itu terus melekat padaku.”
Akan tetapi Abu Hurairah berkata, ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku Abu Hirin dan orang-orang memanggilku Abu Hurairah,” karenanya ia berkata, ”Kalian memanggil dan menjulukiku dengan julukan laki-laki (Abu Hirin), lebih aku sukai daripada julukan wanita (Abu Hurairah).” Disebutkan di beberapa tempat dalam Shahih Bukhari, bahwa dalam berbagai kesempatan dan peristiwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Abu Hurairah dengan panggilan Abu Hirrin.
Sifat (Ciri Khusus) Yang dimilikinya
Abdurrahman bin Abu Labibah memberikan sifat khusus bagi Abu Hurairah. Dia berkulit sawo matang, bahu dan pundaknya cukup lebar, rambutnya dikepang dan dibelah dua, dan gigi serinya renggang. Dhamdhan bin Jaus mensifatkannya sebagai seorang tua yang mengepang rambut kepalanya dan gigi serinya renggang.
Muhammad bin Sirin memberikan ciri khusus, bahwa Abu Hurairah adalah seorang yang berkulit putih, halus, lembut dan tidak kasar. Dia mengecat jenggotnya dengan hanna’ (pohon pacar) dan berpakaian dengan kain katun.
Keislaman dan Hijrahnya
Di tengah-tengah kesesatan jahiliyah dan kegelapan syirik, sampailah seruan dakwah tauhid dari Mekkah kepada seorang yang mulia, penyair ulung dan dermawan, yaitu Ath Thufail bin Amr Ad Dausi. Kemudian Ath Thufail masuk Islam dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah, lalu kembali kepada kaumnya di wilayah Daus. Ia menyeru kepada kaumnya, sehingga ada yang masuk Islam. Diantara mereka ialah Abu Hurairah.
Ibnu Hajar menyebutkan riwayat Hisyam bin Al Kalbi tentang kisah Ath Thufail. Bahwa ia mendakwahi kaumnya untuk masuk Islam, lalu ayahnya masuk Islam, sedangkan ibunya tidak. Dan Abu Hurairah saja yang memenuhi panggilannya. Demikianlah permulaan kisah keislaman Abu Hurairah.
Kemudian Ath Thufail bin Amr Ad Dausi mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya, ”Apakah baginda Nabi berada dalam lindungan yang cukup kuat dan jaminan keamanan?” Dia berkata lagi,”Ada perlindungan dan suaka politik pada Bani Daus yang ada sejak zaman jahiliyah (jika engkau ingin),” namun Nabi enggan untuk mendapatkan jaminan keamanan tersebut, karena (memilih) jaminan Allah kepada kaum Anshar. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, Ath Thufail pun hijrah ke Madinah pula.
Ath Thufail berkata,”Aku mendatangi Rasulullah bersama orang-orang yang telah masuk Islam dari kaumku, sedangkan (waktu itu) Rasulullah berada di Khaibar, hingga tinggal di Madinah tujuh puluh atau delapan puluh keluarga dari Bani Daus.”
Mulai saat itulah Abu Hurairah bertugas dan bertanggung jawab untuk memaparkan berita-berita tentang dirinya dan berita para delegasi tersebut. Abu Hurairah berkata, ”Ketika Rasulullah berangkat menuju Khaibar, Beliau mengangkat Siba’ bin Al Fathah Al Ghifari sebagai pejabat sementara Madinah, kami lalu tiba disana. Ketika tiba di Madinah, jumlah kami sebanyak 80 keluarga Bani Daus.” Berkata seseorang, ”Rasulullah berada di Khaibar dan akan datang menemui kalian,” akupun menimpalinya, ”Tidaklah aku mendengar Rasulullah beristirahat di suatu tempat, kecuali aku mendatanginya. Lalu kami menemui Siba’ bin Al Fathah dan kami bersiap-siap. Kemudian aku menemui Rasulullah pada suatu hari sebelum penaklukan (kota Makkah) atau sehari setelahnya. Rasulullah telah menaklukan An Nuthah dalam keadaan mengepung Ahli Kutaibah (penduduk benteng Kutaibah). Kamipun bertahan disana hingga Allah Ta’ala membukanya untuk kami.”
Masa Persahabatannya dengan Rasulullah Hu ‘Alaihi Wa Sallam
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu datang ke Khaibar pada bulan Shafar tahun ke 7 H, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 11 Hijriah. Sehingga lamanya bersahabat dengan Nabi sekitar 4 tahun lebih. Masa-masa itulah yang ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dengan pernyataannya, ”Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi selama empat tahun.”
Namun Abu Hurairah sendiri menjelaskan dalam Shahih Bukhari, bahwa ia menemani Rasulullah selama 3 tahun. Seolah-olah Abu Hurairah menghitung masa menjadi pengikut setia ‘mulazamah’ hanya selama 3 tahun, yaitu setelah kedatangan mereka dari Khaibar, atau ia tidak menghitung waktu-waktu safar (perjalanan) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; baik untuk berperang, berhaji maupun umrah. Sebab, mulazamahnya ketika berada di Madinah sangatlah berbeda dengan mulazamah sewaktu bepergian. Atau masa-masa tersebut diartikan sebagai waktu ketika dia berada di Shuffah (menjadi Ahli Shuffah) yang sangat bersemangat dan antusias. Sedangkan pada waktu lainnya, sikap antusiasme tersebut tidak sebagaimana disebutkan. Wallahu a’lam. Atau kurangnya hitungan masa tersebut dengan tidak memasukkan perhitungan saat bepergian ke Bahrain tahun ke delapan Hijriah ditemani Al Alla’ Al Hadrami, gubernur Nabi untuk wilayah Bahrain.
Keutamaan yang diraih Abu Hurairah
Sungguh, masuknya Abu Hurairah ke kalangan para sahabat, memberinya keutamaan bertambah. Dia mendapatkan pahala sebagai sahabat Nabi, mendapatkan sifat ‘adalah (adil) yang menempel pada semua sahabat yang telah ditetapkan dalam ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang mulia. Barangsiapa yang menolaknya, berarti telah menolak Al Qur’an dan hadits shahih serta ijma’ generasi /pertama dari kaum muslimin.
Dia mendapatkan keutamaan atas do’a Rasulullah kepada kabilahnya, Daus, agar mendapat petunjuk. Juga mendapatkan keutamaan Yaman, karena ia sebagai orang Yaman. Demikian juga mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan RasulNya, karena hijrahnya sebelum penaklukan kota Mekkah dan mendapatkan keutamaan do’a Rasulullah kepadanya. Sekaligus mendapatkan keutamaan sebagai orang miskin dan Ahli Shuffah, pahala berjihad di bawah panji Rasulullah serta pahala menghafal hadits Rasulullah dan menyampaikannya.
Cinta Abu Hurairah Kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Abu Hurairah sangat mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketulusan cintanya diungkapkan dengan pernyataannya: “Wahai, baginda Rasulullah. Ketika aku melihat engkau, bahagia kurasakan dalam diriku dan sejuk pandanganku”. Kecintaan itu menanamkan perasaan mendalam terhadap nama Rasulullah, sampai-sampai ia tidak mampu menguasai dirinya, terisak menangis berkali-kali sampai pingsan.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad hasan (baik) sampai kepada Syafi’i Al Ashbahi tentang gambaran nyata cinta Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ketika kecintaannya itu sedang menguasai dirinya.
Ketika Syafi’i memasuki Madinah, tiba-tiba ada seseorang tengah dikelilingi banyak orang. Ia bertanya, ”Siapakah orang itu?” Mereka menjawab, ”Abu Hurairah.” Lalu aku mendekatinya hingga duduk di hadapannya, sedangkan ia sedang menyampaikan hadits kepada mereka. Ketika ia diam dan sendirian, aku bertanya kepadanya, Aku tegaskan dengan sebenar-benarnya, ketika anda menyampaikan kepadaku satu hadits yang anda dengar dari Rasulullah, anda faham dan ketahui.” Lalu Abu Hurairah menjawab,”Ya. Akan aku sampaikan kepadamu satu hadits yang telah disampaikan Rasulullah kepadaku, aku faham dan ketahui,” lalu Abu Hurairah tertegun sampai tercengang.
Kesabaran Abu Hurairah Menahan Haus untuk Belajar
Abu Hurairah hidup pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Shuffah dalam keadaan faqir, tidak memiliki harta, rumah dan mata pencaharian. Dia merasa cukup dengan kemudahan yang diberikan Allah kepadanya dan kepada para ahlus shuffah, yaitu berupa hadiah untuk mereka dan makanan yang dinikmati bersama dengan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menyiapkan diri menemani dan mulazamah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semata, hanya karena ingin mendengarkan dan menghafal seluruh sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan untuk menyebarkannya. Juga untuk melihat perbuatan, keadaan, pergaulan dan keputusan hukum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya ialah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari Muhammad bin Sirin, ia berkata : Kami pernah berada di sisi Abu Hurairah. Dia memakai dua helai pakaian yang dicelup dengan tanah merah (berwarna merah) dari bahan katun, lalu ia menariknya seraya mengucapkan, “Bakh, bakh!” Abu Hurairah menarik pakaiannya seraya berkata,”Sungguh aku pernah terjatuh di antara mimbar Nabi dan kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha dalam keadaan pingsan, lalu datanglah seseorang dengan meletakkan kakinya di leherku. Dia menganggapku sudah gila, padahal aku tidak gila. Tidak menimpaku, kecuali kelaparan.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu Berjihad
Abu Hurairah pun tidak tertinggal melaksanakan tugas suci membela agama dengan berperang di jalan Allah, sebagaimana nampak jelas keikut sertaannya dalam beberapa peperangan Nabi, diantaranya:
- Keikutsertaannya dalam perang Khaibar dan perang di Wadi Al Qura’.
- Keikutsertaanya dalam Umratul Qadha (umrah pengganti).
- Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Dzatur Riqa’ sebagaimana disampaikan Imam Al Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ”Aku shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peperangan yang kami mendapati shalat khauf (shalat karena takut).” Juga dikuatkan oleh kisah yang diriwayatakan Abu Dawud dari Urwah bin Zubair yang menceritakan dari Marwan bin Al Hakam, bahwa ia bertanya kepada Abu Hurairah : “Pernahkah anda shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat khauf?” Abu Hurairah menjawab,”Pernah.” Marwan bertanya,”Kapan?” Abu Hurairah menjawab,”Tahun terjadinya perang Dzaturiqa.” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu juga hadir dalam mengusir sebagian bangsa Yahudi Madinah. Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tentang pengusiran tersebut. Ia berkata: Ketika kami di dalam masjid, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, seraya bersabda, ”Berangkatlah menuju pemukiman Yahudi.” Kamipun keluar hingga sampai di Baitul Midras.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Masuklah ke dalam agama Islam, niscaya anda selamat. Ketahuilah, bahwa bumi ini milik Allah dan RasulNya. Dan aku akan mengusir kalian dari tempat ini. Barangsiapa diantara kalian memiliki sedikit harta, maka juallah. Jika tidak, ketahuilah bahwa daerah ini milik Allah dan RasulNya.” Kisah ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim.
- Keikutsertaan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dalam Al Fath Al Akbar (penaklukan Makkah), Hunain dan Thaif. Dipaparkan Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Maukah aku ajarkan pada kalian satu hadits tentang kalian, wahai seluruh kaum Anshar? (Lalu ia menyebut penaklukan kota Mekkah), seraya berkata,”Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke Mekkah. Setelah sampai disana, lalu Beliau mengangkat Az Zubair (sebagai pemimpin pasukan) di salah satu sayap pasukan. Dan di sayap lainnya mengangkat Khalid. Beliau juga mengutus Abu Ubaidah (memimpin) pasukan infantri yang tidak berpakaian baju besi. Mereka pun mengambil tempat dan posisi di tengah-tengah lembah. Sementara itu, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam kelompok kecil (peleton) tersendiri. Beliau memandang sekeliling dan melihatku, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,”Abu Hurairahkah anda?” Aku pun menjawab, ”Kupenuhi panggilan engkau, wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidak boleh menemuiku, kecuali dari kalangan Anshar (tambahan dari salah seorang perawi hadits ini). “Panggilkan kaum Anshar.” Dia Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Mereka pun mengelilingi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan orang Quraisy dengan seluruh kabilah dan pengikutnya berkumpul sambil berkata,”Kita dahulukan mereka. Jika mereka mendapatkan sesuatu (kemenangan), kita pun akan (merasakan) bersama mereka. Dan jika mereka mendapatkan musibah, kita akan berikan yang diminta dari kita.” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,”Tidakkah kalian menyaksikan kumpulan kabilah Quraisy dan pengikut pengikut mereka?” Lalu Beliau meletakkan salah satu telapak tangannya di atas yang lainnya dan berkata, ”Temuilah aku di Shafa.” Abu Hurairah berkata, ”Kami pun bergegas berangkat. Maka tidak ada seorang pun dari kami yang ingin membunuh seseorang, kecuali membunuhnya. Dan tidak seorang pun dari mereka menghadang kami, sedikitpun.”
- Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Tabuk, sebagaimana diriwayatkan Imam Ath Thahawi dengan sanad yang shahih sampai kepada beliau Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Kami keluar bersama Rasul pada perang Tabuk.”
- Keikutsertaan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dalam perang Mu’tah.
- Keikutsertaannya menumpas gerakan pemurtadan (harakatu ar riddah), sebagaimana telah diriwayatkan Imam Al Bukhari dalam kisah penumpasan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu terhadap gerakan pemurtadan ini. Abu Hurairah berkata: Ketika Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat dan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai pengganti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kufurlah orang-orang yang kufur dari bangsa Arab. Umar bertanya kepada Abu Bakar,”Wahai, Abu Bakar. Bagaimana anda akan memerangi mereka? Padahal Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi ‘Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah’. Karenanya, barangsiapa telah mengucapkannya, ia telah terjaga dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan cara yang haq. Dan hisab berikutnya berada pada Allah’.” Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menjawab, ”Demi Allah. Aku akan memerangi orang-orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, sebab zakat adalah haknya harta. Demi Allah. Jika mereka menghalangiku meskipun cuma sedikit –dalam riwayat lain (ikat kepala)- padahal sebelumnya (pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menunaikannya, niscaya aku perangi mereka karena keengganannya (itu).” Umar pun menimpalinya,” Demi Allah. Tidaklah aku melihat, melainkan Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka. Aku pun mengetahui dia (berada) pada kebenaran. Imam Muslim, Abu Dawud dan An Nasa’i juga memaparkan kisah ini. Tetapi lafadznya tidak menunjukkan keikutsertaan Abu Hurairah dalam peperangan itu, kecuali dalam riwayat An Nasa’i dengan sanad yang tidak kuat. Namun dalam riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang telah dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir, terdapat pernyataan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu setelah pemaparannya mengenai kisah tersebut: “Kami berperang bersama Abu Bakar, lalu kami memandangnya sebagai keputusan yang sangat tepat”.
- Keikutsertaannya dalam perang Yarmuk, peperangan di Armenia dan daerah Jurjan, sebagaimana dipaparkan Ibnu Asakir tentang kisah perang Yarmuk. Demikian juga Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Al Ishabah menukil dari Ibnu Asakir juga.
Sedangkan Ibnu Khaldun memberikan catatan, bahwa pada masa kekhalifahan Utsman, Abu Hurairah tinggal bersama Gubernur Armenia Abdurrahman bin Rabi’ah. Ketika Abdurrahman terbunuh dalam peperangan melawan Turki, sebagian tentaranya menuju Jailan dan Jurjan. Di dalam barisan tentara tersebut terdapat Salman Al Farisi dan Abu Hurairah.
Abu Hurairah tidak hanya mencukupkan dengan jihad yang terus-menerus, mencurahkan kemampuan dan pengorbanannya ini saja, (tetapi) ia juga berharap menambah dengan yang lainnya.
Imam An Nasa’i meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan kami untuk memerangi India. Jika aku mendapatinya, maka akan aku korbankan jiwa dan hartaku. Karena jika aku terbunuh, maka aku adalah syuhada’ yang paling utama. Dan jika aku kembali, maka aku adalah Abu Hurairah, orang yang dibebaskan dari api neraka (al muharrarah).
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz: Jika aku mendapatkan syahid, maka aku menjadi sebaik-baiknya syuhada. Dan jika aku kembali (masih hidup), maka aku adalah Abu Hurairah Al Muharrarah (terbebas dari api neraka).
Itulah gambaran singkat pribadi yang agung seorang sahabat besar yang namanya sengaja dicaci maki secara membabi buta oleh musuh-musuh Islam, kaum zindiq yang berkedok cinta ahli bait- red.
0 Response to "Kisah Sahabat Nabi: "Abu Hurairah" "
Post a Comment