Perkembangan Hindu dan Buddha di Asia Selatan


Hindustan adalah sebutan untuk suatu kawasan yang sekarang menjadi wilayah negara India, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, dan Nepal. Kawasan Hindustan merupakan suatu kawasan yang tertutup dari kawasan lainnya. Di bagian timur, barat, dan selatan, kawasan ini dikelilingi oleh Laut Arab dan Samudra Hindia. Sementara di bagian utara, kawasan ini dibatasi oleh Pegunungan Himalaya dan Pegunungan Hindu Kush yang tegak memanjang. Selain laut, satu-satunya jalan darat untuk memasuki wilayah ini adalah sebuah celah di antara Pegunungan Himalaya dan Pegunungan Hindu Kush yang dinamakan Celah Kaiber (Khyber Pass).

Meski posisinya tertutup, kawasan Hindustan merupakan kawasan yang subur karena dialiri oleh banyak sungai yang lebar dan panjang. Sungai-sungai tersebut antara lain Sungai Indus, Gangga, Yamuna, dan Brahmaputra. 



Pada sekitar tahun 3000–2000 SM, kawasan Lembah Sungai Indus dihuni oleh bangsa Dravida. Pada masa tersebut, bangsa Dravida telah membangun sebuah kebudayaan yang maju. Mereka telah mengenal tulisan gambar (pictogram), sistem tata kota, dan sistem pemerintahan yang mengatur kehidupan masyarakatnya dengan peraturan-peraturan. Mereka telah mampu membangun kota-kota di kawasan Lembah Sungai Indus.

Sisa-sisa peninggalan sejarah bangsa Dravida dapat dilacak di  sebuah situs (lokasi) peninggalan sejarah yang dinamakan Mohenjo-Daro dan Harappa yang terletak di Larkana, Pakistan. Situs tersebut ditemukan sekitar tahun 1920-an oleh seorang ilmuwan Inggris yang bernama Sir John Marshall. MohenjoDaro dan Harappa memiliki luas sekitar 200 hektar. Mohenjo-Daro dan Harappa diperkirakan merupakan kota besar pada zaman logam. Pada bagian tengah situs tersebut, ditemukan pondasi dan reruntuhan beberapa bangunan yang diperkirakan merupakan pusat pemerintahan, sekolah, lumbung, dan pemandian umum.

Di sekitar situs tersebut juga ditemukan banyak pondasi dan reruntuhan bangunan yang lebih kecil, diperkirakan merupakan sisa-sisa rumah penduduk. Di antara bangunanbangunan tersebut, ada jalan-jalan yang lebar dan rata, serta lurus. Kebudayaan bangsa Dravida tersebut dikenal dengan sebutan kebudayaan Mohenjo-Daro dan Harappa.

Perkembangan Kebudayaan dan Agama Hindu di Hindustan
Perkembangan kebudayaan dan agama Hindu bermula dari terjadinya perpindahan bangsa Arya ke kawasan Hindustan pada abad ke-15 SM secara bergelombang dalam kelompok-kelompok besar melalui Celah Kaiber. Karena perpindahan bangsa Arya tersebut, terjadilah percampuran kebudayaan antara bangsa Arya dengan bangsa Dravida. Kebudayaan yang baru tersebut kemudian dinamakan kebudayaan Weda. Sumber ajaran agama Hindu terdapat pada kitab Weda yang ditulis dalam empat bagian (samhitu), yaitu sebagai berikut.
  1. Rigweda, berisi syair pujian kepada dewa.
  2. Samaweda, berisi nyanyian pada waktu melaksanakan upacara Rigweda.
  3. Yajurweda, berisi doa-doa yang diucapkan pada waktu upacara dengan diiringi penyajian Rigweda dan nyanyian Samaweda.
  4. Atharwaweda, berisi mantra-mantra yang digunakan untuk berbagai keperluan, seperti sihir dan  ilmu gaib.
Seiring dengan semakin banyaknya bangsa Arya yang pindah ke Hindustan, maka kebudayaan Weda berkembang pesat di kawasan Sungai Indus. Kemudian, karena jumlah penduduk yang semakin bertambah, sebagian penduduk mulai berpindah ke kawasan timur di sekitar Sungai Gangga dan Yamuna.

Bangsa Arya yang menguasai kawasan tersebut berusaha keras menjaga kekuasaannya agar posisinya tetap berada di atas bangsa Dravida. Untuk kepentingan tersebut, mereka kemudian membagi masyarakat dalam kelas-kelas yang disebut kasta. Sistem kasta membagi masyarakat menjadi beberapa kelas berdasarkan pekerjaan dan kekayaan. Kasta seseorang menentukan hak dan kewajiban mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, dapat dipastikan bangsa Arya akan menempatkan diri pada kasta-kasta yang tinggi, sedangkan bangsa Dravida ditempatkan pada kasta-kasta yang rendah.

Semula, ada empat kasta dalam kehidupan masyarakat, yakni sebagai berikut.

  1. Kasta brahmana, terdiri atas para pendeta dan orangorang pintar.
  2. Kasta ksatria, terdiri atas orang-orang yang duduk di pemerintahan, tentara, raja, dan keluarga raja.
  3. Kasta waisya, terdiri atas para petani dan pedagang.
  4. Kasta sudra, terdiri atas para buruh, tukang, dan pelayan.
Dalam perkembangannya, orang-orang bangsa Dravida ternyata masih dapat berpindah kasta ke tingkat yang lebih tinggi. Untuk itu guna lebih memperkuat posisinya dalam masyarakat, bangsa Arya memunculkan kasta kelima untuk bangsa Dravida, yakni kasta paria(artinya kaum buangan). Orang-orang yang ada dalam kasta paria tidak diberi hak apa pun dalam masyarakat dan mereka dipisahkan dari kehidupan masyarakat.

Adanya sistem kasta dalam masyarakat menandai lahirnya kebudayaan baru yang dinamakan kebudayaan Hindu. Pemberlakuan sistem kasta ini kemudian diikuti oleh berkembangnya kepercayaan yang menyembah banyak dewa dan dewi (politeisme). Beberapa dewa sesembahan mereka di antaranya adalah Dewa Agni (dewa api), Dewa Surya (dewa matahari), Dewa Bayu (dewa angin), Dewa Indra (dewa perang), Dewi Laksmi (dewi keberuntungan), Dewi Saraswati (dewi kesenian), dan Dewa Ganesha (dewa pengetahuan).

Selain dewa dan dewi di atas, masih banyak dewa-dewi lainnya. Namun, pada sekitar abad ke-7 SM, kebudayaan Hindu menempatkan tiga dewa yang dianggap menempati posisi paling tinggi, yakni Dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam, dan Dewa Syiwa sebagai perusak alam. Ketiga dewa itu disebut Trimurti.

Kepercayaan Hindu diajarkan secara turun-temurun melalui syair atau nyanyian yang berisi pemujaan pada dewa dan berbagai petunjuk kehidupan. Setelah berabad-abad, berbagai ajaran tersebut dihimpun menjadi sebuah buku yang dinamakan Wedayang artinya pengetahuan. Kitab Weda ditulis dalam bahasa Sanskerta dengan huruf Pallawa. Bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa hanya dapat diucapkan dan dibaca oleh para brahmana. Karena itu, hanya brahmana yang berhak untuk membaca Weda. Masyarakat Hindu melaksanakan ajaran agamanya dengan berbagai macam bentuk peribadatan. Ibadah yang paling utama adalah menyembah dewa di kuil-kuil dan perayaan hari-hari besar. Hari besar masyarakat Hindu antara lain Rakhsa-Bandhan dan Navaratri.

Seiring dengan perkembangan masyarakat Hindu yang pesat, kemudian terciptalah corak pemerintahan berbentuk kerajaan. Munculnya kerajaan-kerajaan Hindu di kawasan Hindustan sangat memengaruhi pola interaksi masyarakat Hindu. Karena negara berkewajiban menyejahterakan rakyatnya, maka kerajaan-kerajaan tersebut mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan menggalakkan pertanian, peternakan, dan pembuatan barang-barang untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pada akhirnya, hasil pertanian dan pembuatan barang, serta peternakan mengalami kelebihan (surplus). Surplus ini mendorong dilakukannya perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lain, termasuk dengan kawasan di luar Hindustan. Diperkirakan dari perdagangan inilah awal tersebarnya kebudayaan dan agama Hindu ke kawasan lain, termasuk Indonesia.

Perkembangan Agama Buddha di Hindustan
Pada abad ke-6 SM, di kawasan Lumbini, kaki Pegunungan Himalaya (sekarang bagian dari wilayah negara Nepal), ada sebuah kerajaan yang bernama Kapilawastu. Pada sekitar tahun 563 SM, kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja yang bernama Suddodhana. Pada tahun tersebut lahir seorang putra Raja Suddodhana yang bernama Pangeran Sidharta.

Sejak lahir, banyak cenayangdan pendeta yang meramalkan bahwa Pangeran Sidharta akan menjadi seorang tokoh besar, namun sebelumnya dia akan menerima berbagai kesusahan dan penderitaan. Untuk mencegah agar ramalan tersebut tidak menjadi kenyataan, maka Pangeran Sidharta dikurung dalam istana dan sama sekali tidak boleh keluar agar tidak menyaksikan berbagai macam penderitaan dan kesusahan yang dialami manusia.

Namun suatu hari di tahun 533 SM saat Pangeran Sidharta berusia 29 tahun, ia berkesempatan untuk keluar istana dan berjalan-jalan ke beberapa desa di sekitar istananya. Dalam perjalanan itu, Pangeran Sidharta menyaksikan berbagai macam hal yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Ada jenazah manusia, orang tua yang sakit-sakitan, dan orang-orang yang berpenyakit kulit. Oleh karena terdorong oleh keingintahuannya, Pangeran Sidharta memutuskan untuk meninggalkan istana dan segala kemewahan yang dirasakannya sejak kecil. Ia kemudian mengembara untuk mencari hakikat kehidupan yang sesungguhnya.

Pada suatu hari di tahun 528 SM, Pangeran Sidharta tiba di sebuah desa bernama Ghaya yang terletak di tepi Sungai Gangga. Di bawah sebatang pohon kalpataru yang rindang, ia bertapa. Pada suatu malam, ia merasa mendapat pencerahan dan memahami hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Sejak itu ia menjadi Buddha (artinya yang mendapat pencerahan). Sementara tempatnya bertapa dinamakan Bodhi Ghaya dan pohon yang menaunginya saat mendapat pencerahan dinamakan pohon bodhi.

Setelah mendapat pencerahan, Sidharta melanjutkan pengembaraannya. Sidharta tiba di Taman Rusa yang terletak di Desa Sarnath, Benares. Di tempat itu, untuk pertama kalinya Sidharta berceramah pada orang-orang dan mengajarkan hakikat kehidupan. Inti ajaran Buddha berupaCatur Aryasatyani, maksudnya empat kebenaran mulia. Adapun empat kebenaran mulia tersebut adalah sebagai berikut.
1) Dalam kehidupan manusia, penderitaan lebih hebat daripada kebahagiaan.
2) Penderitaan manusia timbul karena adanya hasrat untuk hidup.
3) Hanya dengan usaha, maka penderitaan itu dapat terhapus.
4) Cara mencapainya dapat dilakukan dengan menjalankan delapan jalan utama (astavida).

Ajaran Buddha tidak mengenal sistem kasta. Semua pengikut Buddha adalah sama kedudukannya dan semua wajib mengamalkan ajaran-ajaran sang Buddha yang disebut Dharma.

Sepeninggal sang Buddha, agama Buddha terpecah menjadi dua aliran, yaitu Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana. Buddha Hinayana berarti kendaraan kecil, sedangkan Buddha Mahayana berarti kendaraan besar. Perbedaan pandangan antara aliran Hinayana dengan Mahayana dalam hal keanggotaan sangha, cita-cita dan tujuan akhir kehidupan manusia, serta perbedaan keyakinan tentang masyarakat dewa 

Perkembangan Pemerintahan Masa Hindu-Buddha di Hindustan
Perkembangan kebudayaan dan agama Hindu–Buddha berkembang dengan pesat. Sedangkan masyarakat yang semakin beragam perlu diatur dengan sistem pemerintahan yang dapat menyejahterakan seluruh masyarakatnya. Maka, masyarakat Hindu–Buddha pun mengenal sistem negara dalam bentuk kerajaan.

Kerajaan-kerajaan di kawasan Hindustan muncul di pusat-pusat peradaban dan kebudayaan. Pada awalnya, kerajaan-kerajaan tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Kemudian, antarkerajaan di kawasan tersebut mulai saling menjatuhkan karena didorong oleh beberapa sebab, antara lain keinginan untuk memperluas wilayah dan memakmurkan masyarakatnya.

Dalam situasi seperti itu, ada sebuah kerajaan yang tampil sebagai kerajaan yang paling berpengaruh dan memiliki wilayah yang luas. Kerajaan tersebut adalah Kerajaan Magadha yang terletak di Lembah Sungai Gangga, yakni di Bihar, bagian selatan Hindustan. Kerajaan Magadha didirikan oleh Mahapadma Nanda pada tahun 360 SM. Anak cucu Mahapadma yang memimpin kerajaan tersebut kemudian disebut Dinasti (keluarga) Nanda.

Pada tahun 326 SM, kawasan Hindustan berhasil dimasuki oleh tentara dari Kerajaan Macedonia yang dipimpin langsung oleh Raja Iskandar Agung (Alexander the Great). Sejak itu, banyak kerajaan yang jatuh ke tangan pasukan Macedonia, kecuali Magadha.

Dalam suasana kalut seperti itu, pada tahun 322 SM seorang panglima yang bernama Chandragupta Maurya melakukan pemberontakan. Chandragupta Maurya berhasil merebut tahta dan mengakhiri kepemimpinan Dinasti Nanda. Sejak itu, Magadha pun mulai dipimpin oleh Dinasti Maurya. 

Pada masa pemerintahannya, Chandragupta Maurya menetapkan Hindu sebagai agama resmi negara dan sangat menekankan pembangunan sehingga kebudayaan dan agama Hindu pun meningkat dengan pesat. Chandragupta Maurya banyak membangun sarana umum dan jalan-jalan yang menghubungkan berbagai tempat di wilayah kekuasaannya.

Chandragupta Maurya kemudian menyerahkan tahta kepada putranya yang bernama Bindusara pada tahun 298 SM. Pada masa pemerintahan Bindusara, wilayah kerajaan bertambah luas lagi. Seperti ayahnya, Bindusara giat melakukan penaklukan-penaklukan terhadap kerajaan lain. Pada akhir pemerintahannya tahun 273 SM, seluruh kawasan Hindustan Selatan telah menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Magadha.

Bindusara kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Ashoka. Ashoka melanjutkan kebijakan ayah dan kakeknya untuk memperluas Kerajaan Magadha. Pada masa pemerintahannya, dia berhasil memperluas wilayah kerajaan hingga ke Afghanistan dan Nepal.

Pada tahun 261 SM, dalam sebuah penyerangan ke Kerajaan Kalinga, Ashoka sadar bahwa kekerasan dan peperangan hanya akan menghasilkan penderitaan bagi rakyat. Sejak itu, Ashoka lebih memerhatikan rakyatnya. Dia kemudian memeluk agama Buddha. Pada masa pemerintahannya, agama Buddha mengalami masa keemasan di Hindustan. Masa pemerintahan Ashoka kemudian banyak diisi dengan penyebaran agama Buddha. Ashoka meningkatkan kesejahteraan rakyat, persamaan hak, dan mengajarkan rakyatnya untuk tidak melakukan kekerasan.

Setelah wafatnya Ashoka pada tahun 232 SM, kejayaan Dinasti Maurya mulai memudar. Para penerusnya lebih sering saling berebut kekuasaan daripada mengurusi rakyat. Akibatnya, satu per satu wilayah kekuasaan Dinasti Maurya melepaskan diri dan membentuk kerajaan baru. Raja terakhir Dinasti Maurya yang bernama Brhadratha meninggal dalam sebuah pemberontakan pada tahun 185 SM. Setelah menghilangnya Dinasti Maurya, selama 500 tahun kawasan Hindustan diduduki secara bergantian oleh bangsa Macedonia, Kushan, dan Shaka. Namun pada abad ke-4 M, muncul Dinasti Gupta yang didirikan oleh Ghatotkhaca. Ghatotkhaca lebih dikenal dengan nama Chandra Gupta I.

Dinasti Gupta menetapkan Hindu sebagai agama negara. Oleh karena itu, agama Hindu yang sempat memudar pada masa Dinasti Maurya kembali mengalami kemajuan. Dinasti ini berhasil memerintah India hingga sekitar dua abad. Chandra Gupta I memerintah dari tahun 320–353 M. Kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Samudera Gupta. Samudera Gupta wafat pada tahun 376 dan digantikan putranya, Chandra Gupta II. Pada masa pemerintahan Chandra Gupta II, agama Hindu mengalami masa keemasan di Hindustan. Hal ini tidak terlepas dari terjadinya peningkatan perdagangan antara bangsa Hindustan dengan Cina yang saat itu diperintah Dinasti Khan, dan hubungannya dengan Romawi. 

Perkembangan agama Hindu pada masa pemerintahan Chandra Gupta II ditandai dengan kemajuan pesat dalam bidang astronomi, matematika, dan sastra. Sebaliknya, agama Buddha tidak pernah berkembang lagi di Hindustan dan lebih banyak berkembang di luar kawasan tersebut.


0 Response to "Perkembangan Hindu dan Buddha di Asia Selatan"

Post a Comment