Bakti Bima Kepada Bhagawan Drona


Diceritakan pada waktu Bhagawan Drona menjadi guru putra-putra Hastina, banyak pula putra raja dari negara lain datang ke Hastinapura berguru kepada Bhagawan Drona. Diantara murid-murid tersebut yang paling mahir dalam ilmu panah adalah Arjuna. Dihadapan semua murid-muridnya Bhagawan Drona memuji kecakapan Arjuna. Katanya,”Anakku Arjuna, tidak akan ada orang lain yang menandingi kepandaianmu dalam ilmu panah.” Sedang yang  paling pandai dalam menggunakan gada adalah Bima. Duryodana sangat iri kepada Bima.


Pada suatu hari guru besar Drona menyuruh Bima pergi mencari Tirta Prawidi yang ada dalam goa di kaki Gunung Chandramuka (sebenarnya di sana tidak ada Tirta Prawidi, yang ada justru dua raksasa yang ganas). Ini adalah hanya untuk menguji keberanian dan kesetiaan Bima kepada guru Drona. Karena baktinya kepada guru besar Drona, tanpa curiga Bima berangkat ke Gunung Chandra- muka. Sesampainya dia di sana dia dihadang oleh dua raksasa yang bernama Rukmuka dan Rukmakala. Terjadilah pertempuran hebat antara Bima dengan kedua raksasa tersebut. Kedua raksasa itu dapat dibunuh dengan susah payah oleh Bima. Seketika itu pula jasad kedua raksasa itu berubah menjadi Dewa.

Kedua Dewa itu mengucapkan terimakasih kepada Bima karena telah membebaskannya dari kutukan. Kedua Dewa itu dikutuk menjadi raksasa karena telah melakukan kesalahan. Kedua Dewa itu lalu memberikan hadiah kepada Bima berupa sebuah ikat pinggang kotak-kotak hitam putih (poleng). Ikat pinggang itu akan mengantarkan Bima mengarungi samudra betapapun luas dan dalamnya. Setelah itu kedua Dewa itu kembali ke sorga. Bima kemudian pulang menghadap guru Drona dan melaporkan bahwa di sana tidak ada Tirta Prawidi bahkan yang ada hanyalah dua raksasa yang dibunuhnya, tetapi Bima tidak melaporkan hadiah yang didapat dari Dewa itu.

Mendapat laporan seperti itu, dalam hati Bhagawan Drona memuji keberanian dan bakti Bima terhadap guru. Guru Drona mengatakan bahwa Tirta Prawidi itusudah pindah tempat di Hutan Gumiling dan untuk ke dua kalinya Bima diuji. Drona menyuruh Bima pergi ke Hutan Gumiling untuk mencari Tirta Prawidi. Sekali lagi karena rasa baktinya kepada guru, Bima dengan iklas dan senang hati melaksanakan tugas gurunya itu. Tanpa berpikir panjang Bima berangkat ke Hutan Gumiling. Di sana Bima dihadang oleh seekor naga yang besar, naga tersebut lalu membelit tubuh Bima dan ingin mematuknya namun Bima berhasil mencekik leher naga itu dan kuku pancanakanya menembus tenggorokan naga tersebut. Naga itupun lalu menggelepar dan mati. Sesaat kemudian bangkai naga itu tiba-tiba berubah menjadi seorang dewi, lalu berkata kepada Bima, “Terimakasih Raden, aku Dewi Maheswari.

Karena kesalahan yang aku perbuat aku dikutuk menjadi naga. Atas bantuanmu kini aku terbebas dari kutukan.” Dewi Maheswari lalu menganugerahi Bima mantra “Jala Sengara.” Dengan mantra ini, Bima bisa mengarungi samudra sebesar apapun ombaknya. Bima kembali kepada guru Drona, menyatakan bahwa Tirta Prawidi tidak ada di Hutan Gumiling. Karena keberhasilan Bima melaksanakan tugas gurunya itu, guru Drona mengujinya lagi dengan ujian yang lebih berat. Guru Drona lalu menyuruh Bima mencari Tirta Prawidi itu di tengah samudra. Walaupun Bima sesungguhnya tidak bisa berenang, tetapi karena baktinya kepada guru Bima langsung berangkat. Di tengah samudra dia dihadang oleh naga besar bernama Nawatnawa. Naga Nawatnawa berhasil dibunuh oleh Bima, akan tetapi Bima sendiri pingsan dan terdapar di sebuah pulau karang. Ketika ia sadar, di depannya berdiri seorang manusia sangat kecil lalu menyapanya, “ Aku ini Dewa Ruci, masuklah ke mulutku, engkau akan menemui apa saja yang kau cari.” Bima menjawab.”Badanmu begitu kecil, bagaimana aku masuk ke dalam tubuhmu. Kelingkingku saja tidak mungkin masuk.” Dewa Ruci berkata lagi, “Lihatlah wahai Pandu Putra. Jangankan tubuhmu yang kecil itu, Bhuwana Agung inipun ada dalam perutku.” Manusia kecil itu tampak makin lama makin besar, sehingga tanpa ragu-ragu  lagi Bima memasuki mulut Dewa Ruci.

Di dalam perut Dewa Ruci, Bima melihat pemandangan Bhuwana Agung. Ia juga mendengar suara gaib yang memberi pelajaran tentang ilmu kadyatmikan. Ia juga diserahkan sebuah cupu (sejenis periuk) yang tertutup untuk diserahkan kepada Guru Drona. Setelah itu ia tiba-tiba sudah berada di tepi pantai. Ia lantas pulang menyerahkan cupu itu kepada Guru Drona. Ketika Guru Drona membuka cupu tersebut, dari dalamnya keluar api yang membakar rambutnya hingga menjadi botak. Sejak peristiwa itu Guru Drona tidak lagi menguji Bima.