Entah bagaimana mulanya, sudah beberapa hari ini Kancil selalu saja teringat pada pohon pisang yang pernah ditanamnya bersama Kera. Akhirnya, sesudah mencari ke sana kemari selama beberapa hari, Kancil dan Kera menemukan pohon pisang yang mereka cari. Pohon itu ternyata sedang berbuah lebat. Sayangnya, tidak semua pohon yang mereka tanam berbuah denga baik. Pohon yang ditanam kera tidak menghasilkan buah satupun. Bahkan pohon itu kelihatan seperti akan mati. Daunnya kering, dan batangnyapun seperti akan roboh.
Sudahlah,”kata Kancil menenangkan kera.” Begini saja, aku ada usul, bagaimana kalau hasilnya kita bagi dua saja? Kau dan aku mendapat bagian yang sama. Lagi pula tanpa bantuanmu, bagaimana aku bisa memetik pisang itu. Kau kan tahu aku tidak bisa memanjat.
Mendengar itu, senang sekali Kera. Tanpa berkata ini dan itu lagi, Kera langsung memanjat. “ Sebaiknya kau hitung dulu dengan cermat. Biar kita bisa membagi dengan adil, berapa bagianmu dan berapa bagianku, ”kata Kancil setelah Kera sampai di atas. Kerapun menghitung.
Satu, dua, tiga, empat............ semuanya tiga puluh. Kalau begitu kau lima belas, aku juga lima belas. Tapi sebentar..... coba kuhitung lagi sekali. Kelihatannya ada beberapa buah yang terlalu masak, dan rusak ujung-ujungnya. Dari pada dibuang, biarlah bagian-bagian yang masih bisa dimakan ini untukku saja.” Sambil berkata begitu, Kera langsung mengupas beberapa buah pisang yang katanya terlalu masak dan rusak itu lalu memakannya.
Ternyata, banyak sekali pisang yang kata Kera terlalu masak. Itu berarti semakin sedikit jumlah pisang yang bisa dibagi dua dengan kancil. Lama-lama tahulah Kancil bahwa apa yang dikatakan Kera itu tidak benar. Dari kulit pisang yang terus dibuangnya ke bawah, ternyata tidak semuanya rusak. Kancil memungut beberapa kulit pisang itu dan berkata:
Hai, Kera, kulit pisang ini kelihatannya baik-baik saja. Semua bagus-bagus, tidak terlalu masak atau rusak seperti yang kau katakan.” Di luar dugaan Kancil, tiba-tiba Kera tertawa keras sekali, dengan nada yang sangat mengejek pula. Kancil, Kancil, ternyata kau tidak secerdik yang ku kira. Buktinya sekarang ini.
Sudahlah, diam saja kau di situ, tunggu aku menghabiskan pisang ini. Setelah habis nanti tolong bersihkan sampah yang berserakan itu. Anggap saja aku ini tuanmu. Ha Ha Ha.”
Malu dan marah sekali Kancil ditipu dan diperlakukan seperti itu. Ingin rasanya ia melempar Kera penghianat itu dengan apa saja, asal terbalas sakit hatinya. Tak kusangka hatimu sebusuk itu, Kera. “Ternyata hatimu lebih busuk dari hati buaya yang licik dan rakus itu. Kau tidak pantas makan pisang. Kau lebih pantas makan bangkai. Ya bangkai, biar tambah busuk hatimu,”kata Kancil dengan geram.
Mendengar itu malah Kera tertawa lebih keras. Kancil terus mengumpat dengan bermacam-macam umpatan yang tidak enak di dengar.Karena terus menerus diumpat kera menjadi marah. Iapun membalas umpatan itu dengan kulit pisang. Kulit-kulit pisang itu tidak saja dibuang ke bawah, tetapi dilemparkan ke arah Kancil. Terus, terus dan terus. Lama kelamaan, karena tidak sabar lagi mengupas pisang, memakan isinya, dan melemparkan kulitnya kepada
Kancil, Kera mulai melempar Kancil dengan pisang yang masih utuh. Di bawah, Kancil menangkap pisang-pisang itu, mengupas dan memakannya sambil terus mengejek. Semakin banyak ejekan yang diteriakkan Kancil, semakin banyak pisang yang diterimanya. Ketika pisang di pohon itu hampir habis, Kancilpun lari. Perutnya sudah buncit karena kekenyangan.Setelah Kancil lari, sadarlah Kera. Ejekan-ejekan itu rupanya akal cerdik Kancil untuk mendapatkan pisang. “Kurang ajar dia, pisang yang diperolehnya lebih banyak dari pada yang aku makan.”
0 Response to "Dongeng Kancil dan Kera"
Post a Comment