Kisah Petapa Gotama


Lima Mimpi Petapa Gotama
Setelah Pangeran Siddharta menyelesaikan praktik penyiksaan diri, di bulan Vesakha (April-Mei), Pangeran Siddharta berpikir, “Meskipun Aku telah berusaha sungguh-sungguh dengan cara penyiksaan diri, Aku tetap tidak mencapai Pencerahan Sempurna, Aku belum menembus Kebuddhaan. Mungkin ada cara lain untuk mempraktikkan jalan lain untuk mencapai Pencerahan Sempurna, untuk menembus Kebuddhaan.” Beliau teringat bahwa beliau pernah mengembangkan dan mencapai Jhàna Pertama melalui meditasi anapanasati. Pada saat itu, beliau duduk di bawah keteduhan pohon jambu (Eugenia jambolana) sewaktu upacara pembajakan sawah yang diselenggarakan oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana.

Beliau menyadari bahwa praktik Jhàna Pertama, melalui meditasi anapanasati, pasti adalah jalan yang benar. Akan tetapi, kondisi tubuh beliau tidak mendukung. Beliau memutuskan untuk memakan makanan yang padat dan kasar seperti nasi untuk memulihkan dan menyegarkan tubuhnya. Beliau menyadari bahwa pemulihan kondisi tubuhnya saat ini sangat penting sebelum beliau berusaha mencapai Jhàna melalui meditasi konsentrasi anapanasati.

Kejadian ini dilihat oleh kelima teman seperjuangannya dalam melakukan petapaan menyiksa diri. Kelima petapa tersebut beranggapan bahwa Petapa Gotama telah putus asa dalam berlatih sehingga mereka meninggalkan Petapa Gotama sendirian dan menuju ke Taman Rusa Isipatana.


Ketika kelima Petapa meninggalkan-Nya, Petapa Gotama hidup menyendiri dan mengalami kemajuan berkonsentrasi. Setelah lima hari hidup dalam kesunyian, tepat tanggal empat belas di bulan Waisak, Beliau bermimpi tentang lima hal, yaitu:

Tertidur di atas permukaan tanah, dengan pegunungan Himalaya sebagai bantalnya, tangan kiri-Nya di Samudra Timur, tangan kanan-Nya di Samudra Barat dan kedua kaki-Nya di Samudra Selatan. 

Sejenis rumput yang disebut tiriya dengan tangkai merah berukuran sebuah gandar sapi muncul dari pusar-Nya dan sewaktu Beliau melihat, rumput tersebut tumbuh, tinggi dan lebih tinggi hingga mencapai langit, angkasa luas, seribu yojanà ke atas dan diam di sana. 

Sekumpulan ulat berbadan putih dan kepala hitam perlahan-lahan merayap ke atas kaki-Nya, menutupi dari ujung kaki hingga ke lutut-Nya. 

Empat jenis burung berwarna biru, keemasan, merah, dan abu-abu terbang datang dari empat penjuru dan sewaktu mereka turun dan berdiri di atas kedua kaki-Nya, semua burung-burung itu berubah menjadi putih. 

Berjalan mondar-mandir, ke sana kemari di setumpukan kotoran setinggi gunung tanpa menjadi kotor.Petapa Gotama menafsirkan sendiri mimpi tersebut dan berkesimpulan: ”Pasti Aku akan mencapai Kebuddhaan hari ini juga.” 

Dàna Nasi Susu Ghana Oleh Sujàtà
Setelah mandi pagi, Petapa Gotama pergi ke pohon banyan yang setiap tahunnya dikunjungi oleh Sujata. Sujata adalah putri seorang kaya yang di masa mudanya sering berdoa di bawah pohon banyan. Ia meminta kepada dewa pohon supaya kelak jika menikah, mendapatkan suami orang kaya dan kasta yang sama. Hal itupun terkabul hingga akhirnya setiap tahun di bulan purnama Waisak, Sujàtà mempersembahkan ghana nasi susu kepada para dewa yang menunggu pohon tersebut.

Dengan tujuan untuk melakukan persembahan nasi susu ghana, Sujàtà bangun pagi sekali pada hari purnama di bulan Vesàkha. Kemudian, Sujàtà memerah susu dari delapan ekor sapi miliknya. Anak-anak sapi (yang tidak diikat dengan tali) tidak berani mendekati induknya. Anehnya, ketika mangkuk susu ditempatkan tepat di bawah ambing sapi, susu mengalir deras terus menerus meskipun tidak diperah. Sujàtà menyaksikan peristiwa ajaib ini. Sujàtà mengulurkan tangannya dan menuangkan susu yang mengalir terus-menerus tersebut ke dalam kendi baru dan menyalakan api dengan tangan lainnya. Tidak lama kemudia, Sujàtà mulai memasak nasi susu.

Sujàtà memanggil pelayannya, Punnà, dan memerintahkan, “Punnà, hari ini dewa penjaga pohon banyan, sedang berbaik hati. Selama dua puluh tahun ini, aku belum pernah menyaksikan peristiwa-peristiwa ajaib ini. Cepat pergi bersihkan pohon banyan, tempat tinggal dewa penjaga. Punnà si pelayan menjawab, “Baiklah, Nyonya.” Ia segera pergi ke dekat pohon dan melihat Pertapa Gotama duduk di bawah pohon menghadap ke timur. Punnà si pelayan melihat seluruh pohon bercahaya kuning keemasan dengan cahaya yang terpancar dari tubuh Petapa Gotama/Bodhisatta. Punnà si pelayan ketakutan dan berpikir, “Hari ini dewa penjaga pohon banyan telah turun ke bawah pohon, kelihatannya Beliau duduk di sana untuk menerima dàna dengan tangannya sendiri.” Ia tergesa-gesa kembali ke rumah dan melaporkan hal ini kepada Sujàtà.

Sudah menjadi tradisi (dhammata) bagi seorang Bodhisatta untuk menerima persembahan nasi susu ghana pada hari Beliau akan mencapai Kebuddhaan, dan menerima makanan ini hanya menggunakan cangkir emas seharga satu lakh. Sujàtà berpikir, “Aku harus menempatkan nasi susu ghana ini dalam cangkir emas. Sujata mempersembahkan dana nasi susu ghana. Petapa Gotama menjelaskan bahwa dirinya bukan dewa pohon, namun seorang Petapa yang ingin mencari obat penderitaan bagi semua makhluk. Setelah memakan dana makanan, Petapa Gotama pergi ke sungai Neranjara dan bertekad dalam hatinya. 

“Aku akan mencapai kebuddhaan pada hari ini”

Setelah menyatakan tekad tersebut, Petapa Gotama melemparkan patta (Bowl)/mangkuk emas ke sungai Neranjana. Beliau berkata, “jika patta (Bowl) ini melawan arus sungai, maka aku akan mencapai kebuddhaan pada hari ini juga.” Ucapan Petapa Gotama terbukti karena Patta (Bowl) yang dilemparkannya ke sungai melawan derasnya aliran sungai Neranjana dengan kecepatan yang luar biasa.

Munculnya Singgasana Permata yang Besar
Petapa Gotama beristirahat di Hutan Sala di tepi Sungai Neranjarà. Beliau melakukan meditasi ànapàna, setelah mencapai delapan Lokiya Jhàna dan lima Abhinnà. Di kesejukan senja menjelang malam, Beliau berjalan di sepanjang jalan yang telah dihiasi oleh para dewa dan brahmà. Setelah turun dan mandi di Sungai Neranjarà, Beliau berjalan menuju pohon Mahàbodhi melalui jalan yang dibuat oleh para dewa dan brahmà. 

Pada waktu itu, dewa nàga, Yakkha, dan Gandabbha memberi hormat kepada-Nya dengan persembahan bunga-bunga dan wangi-wangian surgawi. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu surgawi yang merdu. Sepuluh ribu alam semesta hampir seluruhnya tertutupi oleh bunga-bunga dan wangi-wangian surgawi, juga oleh sorak-sorai para dewa dan brahmà.

Pada saat itu Sotthiya, seorang brahmana pemotong rumput berjalan datang dari arah berlawanan membawa rumput-rumputan kering. Ketika Sotthiya mengetahui bahwa Bodhisatta menginginkan beberapa rumput, ia memberikan delapan ikat rumput kering kepada-Nya. Bodhisatta membawa delapan ikat rumput tersebut pergi menuju Mahàbodhi untuk bermeditasi. Kemudian, Bodhisatta mempersiapkan tempat duduk di sebelah Timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima sebelumnya dari Sotthiya.

Begitu Beliau menebarkan delapan ikat rumput itu, rumput-rumput itu berubahmenjadi singgasana permata yang besar. Singgasana itu berukuran enam belas lengan,yang sangat indah yang tidak dapat dilukiskan dan diukir oleh pelukis dan pengukir yang paling ahli sekalipun. Singgasana tersebut tercipta dalam bentuk yang sangat menakjubkan (dari sebuah singgasana permata). Di tempat itulah Petapa Siddharta duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ke Timur dengan tekad yang bulat. Dengan pikiran terpusat, Bodhisatta berseru, ”Meskipun hanya kulit-Ku yang tersisa, meskipun hanya urat-Ku yang tersisa, meskipun hanya tulang-Ku yang tersisa, meskipun seluruh tubuh-Ku dan seluruh daging dan darah-Ku mengering, jika aku belum mencapai Kebuddhaan, Aku tidak akan mengubah postur-Ku dari duduk bersila seperti sekarang ini.”

Demikianlah, dengan mengembangkan tekad atas empat faktor, Beliau duduk di atassinggasana permata yang tidak terlihat (aparàjita). Beliau duduk dengan postur/posisiduduk bersila (postur/posisi menaklukkan musuh, bukan mengaku kalah). Postur/posisiduduk yang dilakukan oleh Bodhisatta adalah postur/posisi yang tidak dapat dihancurkanbahkan oleh ratusan petir yang menyerang bersamaan.

Meditasi
Petapa Siddharta melakukan meditasi Anapana/Anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan objek keluar dan masuknya napas. Tidak seberapa lama pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya. Pikiran-pikiran itu seperti keinginan kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai penghidupan suci yang bersih dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa. Selain itu, timbul pula keinginan yang sangat dan melekat kepada benda-benda, malas dan tidak suka mengerjakan apa-apa. Perasaan takut terhadap jin-jin,hantu-hantu jahat, keragu-raguan, kebodohan, keras kepala, keserakahan timbul pula dalam pikirannya. Tidak hanya itu, keinginan untuk dipuji dan dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal juga timbul dalam pikirannya. Lalu, rasa tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain pun timbul dalam batinnya. Perjuangan hebat dalam batin Petapa Siddharta melawan keinginan dan nafsu-nafsu tidak baik, dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan dewa Mara yang jahat.

Godaan Mara
Pada saat Petapa Siddharta melakukan meditasi muncullah Mara, dewa hawa nafsu. Mara bermaksud menghalang-halangi Petapa Siddharta memperoleh Penerangan Agung. Kemunculan Mara juga disertai dengan balatentaranya yang mahabesar. Balatentara itu ke depan, ke kanan, dan ke kiri lebarnya 12 league dan ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9 league. Mara sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat balatentara yang demikian besar datang, semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling Petapa Siddharta  seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala, dan lain-lain, segera menyingkir dari tempat itu. 

Petapa Siddharta ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh kesempurnaan kebajikan (Paramita) yang sejak lama dilatihnya. Mara berusaha untuk menakut-nakuti Petapa Siddharta dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang berbunyi tak henti-hentinya. Lalu, diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang mengerikan. Namun demikian, usaha Mara tersebut ternyata gagal semua. Akhirnya Mara menyambit dengan Cakkavudha, yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang bergantung dan melindungi kepala Petapa Siddharta. 

Mara kehabisan akal dan tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi. Dengan perasaan panik serta marah, ia meneriakkan perintah (kepada pasukannya), “Mengapa kalian hanya berdiri diam di sana? Jangan biarkan Pangeran Siddhattha ini mencapai cita-cita-Nya menjadi Buddha; tangkap Dia, bunuh Dia, tusuk, dan hancurkan Dia. Jangan biarkan Dia melarikan diri. ”Ia sendiri mendekati Bodhisatta, duduk di punggung gajah Girimekhala. Sambil melambai-lambaikan sebatang anak panah, ia berkata kepada Bodhisatta, “O Pangeran Siddhattha, menjauhlah dari singgasana permata itu.” Pada saat itu, prajurit-prajurit Màra terlihat dalam wujud yang menakutkan, dan mengancam dengan tindakan-tindakan yang menakutkan.

Yang dilakukan Petapa Siddharta adalah bagaikan seorang ayah yang penuh welas asih. Beliau tidak menunjukkan kemarahan sedikit pun kepada putranya yang nakal, bahkan sebaliknya ia akan merangkulnya, memangkunya dan menidurkannya di pangkuannya dengan cinta kasih dan welas asih. Demikian pula Bodhisatta mulia, Petapa Siddharta memperlihatkan kesabaran terhadap semua perbuatan buruk dari Màra yang jahat. Petapa Siddharta tidak sedikit pun merasa sedih, ataupun merasa takut. Bahkan Petapa Siddharta melihat Mara dengan penuh cinta kasih dan welas asih.Bumi telah menjadi saksi, bahwa Petapa Siddharta lulus dari semua percobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala berlutut di hadapan Petapa Siddharta dan Mara menghilang, lari bersama-sama dengan balatentaranya. Para dewa yang menyingkir sewaktu Mara tiba dengan balatentaranya, datang kembali dan semua bersuka cita dengan keberhasilan Petapa Siddharta. Setelah berhasil mengalahkan Mara, Petapa Siddharta memperoleh kebijaksanaan-kebijaksanaan.

Selain itu, Petapa Siddharta juga mampu menembus tiga pengetahuan sebelum matahari terbenam pada hari purnama di bulan Vesàkha. Tiga pengetahuan tersebut adalah sebagai berikut.

Waktu Jenis Kebijaksanaan
  1. Pukul 18.00 - 22.00 (Waktu Jaga Pertama) Kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan jelas kelahiran - kelahirannya yang dulu (Pubbeni-vasanussatinana).
  2. Pukul 22.00 - 02.00 (Waktu jaga kedua) Kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kematian dan tumimbal lahir makhluk-makhluk sesuai dengan karmanya (Cutupapatanana).
  3. Pukul 02.00 - 04.00 (Waktu jaga ketiga) Kebijaksanaan untuk dapat menyingkirkan secara menyeluruh semua kekotoran batin yang halus sekali (Asavakkhayana).
  4. Petapa Siddharta mencapai Kebuddhaannya di jaga terakhir di malam purnama bulan Vesàkha itu juga.
Dengan demikian, beliau mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara untuk menghilangkannya. Dengan ini beliau telah menjadi orang yang paling bijaksana dalam dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadanya. Sekarang beliau dapat menjawab cara untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, usia tua, dan kematian. Batinnya menjadi tenang sekali dan penuh kedamaian, karena sekarang beliau mengerti semua persoalan hidup dan menjadi Buddha. Dengan muka bercahaya terang, penuh kebahagiaan, beliau dengan suara lantang mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut.

“Dengan sia-sia aku mencari Pembuat Rumah ini Berlari berputar-putaran dalam lingkaran tumimbal lahir Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habis-habisnya O, Pembuat Rumah, sekarang telah kuketahui Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi Semua atapmu telah kurobohkan Semua sendi-sendimu telah kubongkar Batinku sekarang mencapai keadaan Nibbana Dan berakhirlah semua nafsu keinginan.”

Keajaiban-keajaiban Lainnya
Dikisahkan bahwa pada saat itu bumi bergetar karena gembira dan di udara sayup-sayup terdengar suara musik yang merdu. Seluruh tempat itu penuh dengan kehadiran para dewa yang turut bergembira. Seluruh dewa dan makhluk yang berada di tempat itu ingin melihat orang yang berhasil mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha. Selain itu, pohon-pohon mendadak berbunga dan menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru. Binatang-binatang di hutan yang biasanya saling bermusuhan, pada waktu itu dapat hidup berdampingan dengan damai. Demikianlah Pangeran Siddharta yang dilahirkan pada saat purnamasidi di bulan Waisak tahun 623 SM, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana pada usia 29 tahun, dan setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada usia 35 tahun.