Proses Masuknya Islam ke Turki


Istambul adalah ibukota kerajaan Turki Usmani. Kota ini sebelumnya merupakan ibukota kerajaan Romawi Timur yang bernama Konstantinopel. Konstantinopel sendiri sebelumnya sebuah kota bernama Byzantium yang terletak di Selat Bosporus, yang oleh Konstantin, kaisar romawi dimaksudkan untuk menjadi ibukota kerajaannya yang baru, kerajaan Romawi. Maksud itu memang tidak jadi dilaksanakan. Akan tetapi, ketika kerajaan Romawi terpecah menjadi dua, Romawi barat dan Romawi Timur, tahun 395, Konstantinopel menjadi ibukota Romawi Timur. Kalau ibukota Romawi Barat, Roma, jatuh ke tangan bangsa Goth tahun 476, maka Konstantinopel bertahan seribu tahun kemudian sampai sultan Turki Usmani berhasil menaklukkannya tahun 1453 dan menjadikannya sebagai ibukota kerajaan yang baru. Pada masa jayanya, kerajaan Romawi Timur dapat dikatakan sebagai sebuah Negara adi daya yang hanya dapat disaingi oleh kerajaan Persia.


Sebenarnya, jauh sebelum Turki Usmani di bawah Sultan Muhammad Al-Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel, para pemimpin Islam sudah sejak zaman Khulafaur Rasyidin, kemudian khalifah Bani Umayyah dan Khalifah Bani Abbas berusaha ke arah itu. Namun, baru pada masa kerajaan Turki Usmani usaha itu berhasil.

Setelah Muhammad Al-Fatih menjadikan Istambul sebagai ibukota kerajaan Turki Usmani, ia melakukan penataan hal-ihwal orang-orang Kristen Yunani (Romawi). Dalam penataan tersebut ia tetap memberikan kebebasan kepada pihak gereja, seperti yang dilakukan para pendahulunya dan mengikuti agama lain sesuai dengan ajaran agama Islam yang menghormati keyakinan suatu agama. Berkenaan dengan kekuasaan keagamaan orang Kristen Yunani, ia bahkan menyerahkan pelaksanaannya kepada penguasa keagamaan mereka. Hal yang sama juga berlaku bagi penganut agama Yahudi. Setiap agama mempunyai komunitasnya sendiri yang disebut dengan millet. Sultan memberi kebebasan kepada penganut agama Kristen, misalnya, untuk memilih dan menentukan patriarch. Bilamana seorang patriarch sudah terpilih, ia kemudian melantiknya dan memberikan tongkat serta memasukkan cincin kepatriachan kepada patriarch terpilih itu. Itu tidak pernah terjadi pada masa raja-raja Kristen sendiri sebelumnya. Penduduk Istambul memang heterogen dalam bidang agama. Menurut sensus tahun 1477, penduduk Istambul berdasarkan agama adalah sebagai berikut : Muslim 8951 rumah tangga (60%), penganut Kristen Ortodoks (Yunani) 3151 rumah tangga (21,5 %), Yahudi 1647 rumah tangga (11%), dan lain-lain 1054 rumah tangga (7,5%).

Sebagaimana halnya dengan Konstantinopel pada masa kerajaan Romawi  Timur, kerajaan Turki Usmani dengan ibukota Istambul itu, juga menjadi sebuah Negara adi daya pada masa jayanya. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian  besar Eropa Timur, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Bahkan, Negara-negara Islam di daerah yang lebih jauh juga mengakui kekuasaannya. Sebagai sebuah  kerajaan Islam terbesar pada waktu itu, maka raja-rajanya juga memakai gelar  khalifah. Istana khalifah terletak di kota ini. 

Sebagai ibu kota, disinilah tempat berkembangnya kebudayaan Turki yang merupakan perpaduan bermacam-macam kebudayaan. Bangsa Turki Usmani banyak mengambil ajaran etika dan politik dari bangsa Persia. Sebagai bangsa yang berasal dari Asia Tengah, Turki memang suka berasimilasi dan senang bergaul dengan bangsa lain. Dalam bidang kemiliteran dan pemerintahan, kebudayaan Bizantium banyak mempengaruhi kerajaan Turki Usmani ini. Namun, jauh mereka berasimilasi dengan bangsa-bangsa tersebut, sejak pertama kali mereka masuk Islam, bangsa Arab sudah menjadi guru mereka dalam bidang agama, ilmu, prinsip-prinsip kemasyarakatan, dan hukum. Huruf Arab dijadikan huruf resmi kerajaan. Kekuasaan tertinggi memang berada di tangan Sultan, tetapi roda pemerintahan dijalankan oleh Shadr Al-a’zam (Perdana Menteri) yang berkedudukan di ibu kota. Jabatan-jabatan penting, termasuk perdana menteri, seringkali justru diserahkan kepada orang-orang asal Eropa dengan syarat menyatakan diri secara formal masuk Islam. 

Dalam bidang arsitektur, masjid-masjid yang dibangun disana membuktikan kemajuannya. Masjid memang merupakan suatu ciri dari sebuah kota Islam, tempat kaum muslimin mendapat fasilitas lengkap untuk menjalankan kewajiban agamanya. Gereja Aya Sophia, setelah penaklukan diubah menjadi sebuah mesjid agung yang terpenting di Istambul. Gambar-gambar makhluk hidup yang ada sebelumnya ditutup, mihrab didirikan, dindingnya dihiasi dengan kaligrafi yang indah, dan menara-menara dibangun. Masjid-masjid penting lainnya adalah Masjid Agung Al-Muhammadi atau Masjid Agung Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Abu Ayyub Al-Anshari (tempat pelantikan para sultan Usmani), Masjid Bayazid dengan gaya Persia, dan Masjid Sulaiman Al-Qanuni. 

Disamping masjid, para sultan juga membangun istana-istana dan villa-villa yang megah, sekolah, asrama, rumah sakit, panti asuhan, penginapan, pemandian umum, pusat-pusat tarekat, dan sebagainya. Rumah-rumah dan villa mewah juga dimiliki oleh pedagang-pedagang kaya, istana dan villa biasanya dilengkapi dengan taman dan tembok di sekelilingnya. Jalan-jalan yang menghubungkan antara satu daerah dengan daerah lain, terutama dengan ibukota yang dibangun. 



0 Response to "Proses Masuknya Islam ke Turki "

Post a Comment