Kekaisaran Persia adalah sejumlah kekaisaran bersejarah yang berkuasa di Dataran Tinggi Iran, tanah air asal Bangsa Persia, dan sekitarnya termasuk Asia Barat, Asia Tengah dan Kaukasus. Saat ini nama Persia dan Iran sudah menjadi kebiasaan; Persia digunakan untuk isu sejarah dan kebudayaan sedangkan Iran digunakan untuk isu politik.
Bangsa Arya hijrah ke Iran dan mendirikan kekaisaran pertama Iran yang bernama Kekaisaran Media (728 – 550 SM). Kekaisaran ini telah menjadi simbol pendiri bangsa dan juga kekaisaran Iran. Kemudian disusul dengan Kekaisaran Akhemeniyah (546 SM) yang didirikan oleh Koresh yang Agung (Cyrus yang Agung).
Cyrus Agung menjadikan Persia sebagai pusat kerajaan baru yang perkasa. Cyrus memimpin pasukan penunggang kuda dan pemanah ulung, ia juga menaklukkan kerajaan yang memiliki kekuasaan di sekitar Laut Mediterania. Cyrus Agung juga terkenal sebagai pemerintah pertama yang mewujudkan undang-undang mengenai hak-hak kemanusiaan. Hal ini tertulis di atas artefak yang dikenal sebagai Silinder Koresh. Ia juga merupakan pemerintah pertama yang memakai gelar Agung dan juga Shah Iran. Di zamannya, perbudakan dilarang di kawasan-kawasan taklukannya (juga dikenal sebagai Kekaisaran Persia). Perluasan kekuasaan ini kemudian diteruskan oleh Raja Cambyses (531-522 SM) yang berhasil menguasai Mesir dan penggantinya, Darius I (Darius Agung 522 SM – 486 SM) yang memperluas wilayah hingga India dan Yunani. Di bawah pemerintahan Cyrus yang Agung dan Darius yang Agung, Kekaisaran Persia menjadi sebuah kekaisaran yang terbesar dan terkuat di dunia pada zaman itu. Pencapaian utamanya ialah sebuah kekaisaran besar pertama yang mengamalkan sikap toleransi dan menghormati budaya-budaya dan agama-agama lain di kawasan jajahannya.
Di bawah pemerintahan Darius I pada tahun 520 SM, Persia berhasil mendirikan kota Persepolis dekat Pasargade. Darius I memusatkan administrasi di kota ini. Selain itu, terdapat monument dinasti ini. Kota ini pula yang dijadikan sebagai simbol kemewahan dari Kekaisaran Persia, dimana terdapat tiang-tiang yang besar dan tinggi pada sisa-sisa reruntuhan kota ini pasca dibumihanguskan oleh Alexander Agung dalam penaklukkannya kemudian.
Raja terakhir dinasti ini, Darius III Codamanus (336-331 SM) ditaklukkan oleh bangsa Macedonia di bawah pimpinan Alexander Agung. Alexander pun tidak menikmati kekuasaannya karena ia meninggal beberapa tahun setelahnya (323 SM). Setelah kematian Alexander, terjadilah perpecahan diantara para panglima militernya. Mereka pun mulai membagi wilayah kekuasaan yang telah ditaklukkan Alexander. Wilayah Persia sendiri pada akhirnya menjadi milik panglima Seleucid, salah seorang Jenderal Alexander. Dibawah kekaisaran Seleucid, Persia mengalami babak sejarah yang cemerlang. Kekaisaran ini berhasil menggabungkan Asia Kecil, Syam, Irak, dan Iran menjadi satu kesatuan wilayah. Kekuasaan dinasti Selukida (Seleukus, Seleukid) ini tidak berumur panjang pula.
Setelah kekaisaran Selukida, muncul kekaisaran Parthia. Bangsa Parthia adalah suku pengembara yang berasal dari Asia dan hijrah ke selatan menuju Persia sekitar tahun 1000 SM. Kemudian suku Parni bergabung pada tahun 300 SM. Orang Parthia dan Parni tinggal di utara Iran di bawah pemerintahan bangsa Persia yang kemudian di bawah kaum Seleukid, Yunani. Pemimpin Parni selanjutnya menjadi Gubernur Seleukid di Parthia. Pada tahun 238 SM, ia menyatakan kemerdekaan dan mengangkat dirinya menjadi raja tertinggi. Parthia menjadi semakin makmur berkat perdagangan Jalur Sutera dari Cina.
Terdapat dua bersaudara pemimpin yang terkenal di Parthis yang dipanggil Mithradates. Tidak banyak hal yang diketahui tentang Parthia, kecuali bahwa orang Parthia menaklukkan Babilonia dan Baktria (Afganistan) dan bersahabat dengan Cina Han. Mereka secara teratur berperang dengan bangsa Romawi serta menghentikan perluasan wilayah Romawi ke timur. Tentara mereka kuat dan terorganisir dengan baik. Terkenal sebagai prajurit penunggang kuda, mereka dapat melakukan gerakan kilat dengan menerobos hujan anak panah dalam peperangan. Dengan cepat, mereka mampu mengatasi semua perlawanan bersenjata. Peperangan panjang antara orang Parthia dan Romawi menimbulkan kerugian besar dan menguras kekuatan. Setelah menguasai Persia selama 450 tahun, orang Parthia menjadi lemah. Arthabanos IV, raja Parthia terakhir sedang terlibat perseteruan dinasti dengan saudaranya di Mesopotamia. Dengan menggunakan peluang yang tercipta karena terjadinya perseteruan tersebut, Pabag yang pada awalnya adalah penguasa kota kecil bernama Kheir dan anak tertuanya Shapur berhasil memperluas kekuasaan mereka ke seluruh Persis.. Ia berhasil menggulingkan Gocihr, raja terakhir dinasti Bazrangid (yaitu penguasa lokal Pars yang merupakan sekutu dari Parthia) dan mengangkat dirinya sendiri menjadi penguasa baru pada tahun 205. Pabag meninggal tahun 220, Ardashir yang ketika itu adalah gubernur Darabgird terlibat dalam perebutan kekuasaan melawan kakaknya Shapur. Shapur meninggal pada tahun 222 M, hal ini memberikan kesempatan pada Ardashir untuk menguasai pemerintahan. Ardashir kemudian membangun dinasti Persia yang baru dengan nama dinasti Sasanid (Sasania) pada tahun 226 M. Nama dinasti ini sendiri berasal dari nama kakek pihak ayah Ardashir, yaitu Sassan, seorang pendeta besar Kuil Anahita. Ia menjadikan agama Parsee (Zoroastrianisme) sebagai agama negara Persia. Raja Ardashir membawa orang Persia ke masa keemasan baru dengan dinasti Sasania.
Setelah membangun kekuasaannya atas Persis, Ardashir dengan cepat meluaskan wilayahnya, menuntut upeti dari para penguasa lokal Fars, dan berhasil memperoleh kendali atas provinsi-provinsi sekitarnya, di antaranya adalah Kerman, Isfahan, Susiana, dan Mesene. Perluasan wilayah kekuasaan ini segera saja menarik perhatian Artabanus IV (216–224), yaitu penguasa atasan Ardashir. Pada awalnya, Artabanus IV memerintahkan gubernur Khuzestan untuk menyerang Ardashir (224 M), akan tetapi Ardashir mampu kemenangan. Artabanus sendiri akhirnya memimpin penyerangan kedua atas Ardashir pada tahun yang sama di Hormizdeghan. Dalam peperangan ini Artabanus IV tewas terbunuh. Ardashir terus melanjutkan menyerangdan menguasai wilayah kekaisaran Parthia. Tahun 226 M, Ardashir diangkat sebagai penguasa tunggal Persia di Ctesiphon dengan gelar Syahansyah, atau "Raja Segala Raja", Dengan demikian, dimulailah pemerintahan Sassania yang akan berlangsung selama empat abad.
Pemerintahan Ardashir tidak serta merta berjalan mulus, karena terdapat pemberontakan lokal di beberapa tempat sehingga perhatian hanya terfokus pada wilayah tersebut. Setelah dapat melalui pemberontakan tersebut, Ardashir melanjutkan memperluas kekaisaran barunya tersebut ke arah timur dan barat laut. Ia menaklukkan propinsi-propinsi Sistan, Gorgan, Khorasan, Margiana (sekarang di Turkmenistan), Balkh, Khwarezmi, Bahrain dan Mosul ke dalam kekuasaan Sassania. Selain itu, terdapat pula beberapa prasasti Sassania yang mengklaim menyerahnya para raja Kushan, Turan, dan Mekran kepada Ardashir..
Selanjutnya Shapur I (241–272), putra sekaligus pengganti Ardashir, melanjutkan ekspansi kekaisaran dengan menaklukkan Baktria dan bagian barat dari Kekaisaran Kushan, serta melakukan beberapa penyerangan terhadap Romawi. Ketika menyerbu bagian Mesopotamia yang dikuasai Romawi, Shapur I berhasil merebut Carrhae dan Nisibis, akan tetapi jenderal Romawi Timesitheus tahun 243 M mengalahkan tentara Persia di Rhesaina dan memperoleh kembali wilayah-wilayah yang hilang. Selain itu, Kaisar Romawi Gordian III (238–244) yang selanjutnya bergerak untuk menguasai hilir sungai Eufrat, juga berhasil dikalahkan di Meshike (244 M). Kekalahan ini menyebabkan Gordian III dibunuh oleh pasukannya sendiri. Shapur I berhasil memperoleh perjanjian perdamaian dengan kondisi yang sangat menguntungkan dari kaisar baru Romawi Philip (244–249 M). Shapur mendapatkan pembayaran sebesar 500.000 denari beserta pembayaran bulanan selanjutnya.57 Shapur segera saja melanjutkan perang dan mengalahkan tentara Romawi pada Barbalissos (252 M), kemudian menyerbu Syria dan menaklukkan Antiokhia (253 atau 256 M). Serangan balasan Romawi dibawah Kaisar Valerian (253–260 M) berakhir dengan kehancuran, pasukan Romawi dikalahkan dan dikepung pada Edessa dan Valerian secara licik ditangkap oleh Shapur I pada perundingan perdamaian, dan menjadi tawanan Shapur I sepanjang hidupnya.
Kemenangan dan keberhasilan luar biasanya menangkap seorang kaisar Romawi diabadikannya dalam relief-relief batu di Naqsh-e Rostam dan Bishapur, serta prasasti monumental dalam bahasa Persia dan Yunani di daerah sekitar Persepolis. Ia terus bergerak menuju Anatolia (260 M), akan tetapi berakhir dengan kemunduran karena kekalahannya di tangan tentara Romawi dan sekutunya Palmyra, yang dipimpin oleh Odaenathus. Selir-selir Shapur tertangkap, serta seluruh wilayah Romawi yang sebelumnya dikuasainya juga terlepas kembali. Shapur I merupakan penguasa Sasanid yang terkenal. Terdapat hal-hal yang dapat dilakukan oleh Shapur I ini selain melakukan penaklukkan di Armenia, Suriah, Sogdiana (Afganistan) serta Lembah Indus (Pakistan), ia juga mendukung kebudayaan Persia dan mengembangkan Persia menjadi pusat agama Zoroaster. Shapur I juga melaksanakan berbagai rencana pembangunan secara intensif. Ia mendirikan banyak kota, yang sebagian penduduknya adalah imigran yang berasal dari berbagai wilayah Romawi. Di antara para imigran terdapat kaum Kristen, yang memperoleh kebebasan menjalankan ajaran agamanya di bawah pemerintahan Sassania. Shapur I secara khusus mendukung Manikheisme. Hal ini dibuktikannya dengan melindungi Mani (yang juga mendedikasikan salah satu kitabnya, Shabuhragan, untuk Shapur I) dan mengirimkan banyak misionaris Manikheisme sampai ke luar wilayahnya. Selain itu, Shapur I juga menjalin persahabatan dengan Rabbi Babilonia yang bernama Shmuel. Persahabatan ini menyebabkan komunitas Yahudi setempat memperoleh sedikit kelonggaran dari penerapan berbagai hukum yang menekan, yang dikenakan kepada mereka. Istana mereka menjadi pusat kebudayaan. Para Shah (raja) Sasanid menjalankan tradisi lama Persia kuno dengan harapan bahwa mereka dapat merebut kembali negeri yang pernah dikuasai Darius sebelum direbut oleh Alexander Agung. Kekaisaran kaya ini menjadi saingan utama Romawi.
Raja-raja selanjutnya menerapkan kebijakan yang berkebalikan dari Shapur I mengenai toleransi agama. Penerus Shapur I, Bahram I (273–276 M) menghukum Mani dan para pengikutnya berdasarkan desakan dari pendeta Magi Zoroaster. Bahram I memenjarakan Mani dan memerintahkan untuk membunuhnya. Pemerintahan selanjutnya adalah di bawah pimpinan Bahram II (276–293 M) yang meneruskan kebijakan ayahnya dalam masalah agama. Di masa pemerintahannya, ibukota Sassania Ctesiphon mengalami penghancuran oleh Romawi, bahkan sebagian besar wilayah Armenia, yang selama setengah abad berada dalam penguasaan Persia, pada masa pemerintahannya diserahkan kepada Diocletian (284–305 M).
Bahram III hanya memerintah secara singkat (293 M), dan penerusnya Narseh (293–302 M) kemudian kembali mengobarkan pertempuran terhadap Romawi. Setelah mengalami kesuksesan awal terhadap Kaisar Galerius pada pertempuran di dekat Callinicum di Sungai Euphrates tahun 296 M. Namun Narseh berhasil dikalahkan dalam penyergapan ketika ia sedang bersama haremnya di Armenia tahun 297 M. Dalam perjanjian yang mengakhiri perang ini, Sassania setuju menyerahkan lima provinsi di sebelah timur Sungai Tigris dan bersedia untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Armenia dan Georgia. Narseh mengundurkan diri tahun 301 M dan meninggal dalam kesedihan setahun kemudian. Putra Narseh, Hormizd II (302–309 M), kemudian naik tahta. Meskipun ia berhasil menekan pemberontakan di Sistan dan Kushan, Hormizd II juga seorang penguasa yang lemah dan tidak mampu mengontrol para bangsawan. Ia terbunuh oleh serangan suku Badui ketika sedang berburu pada tahun 309 M.
Kerajaan Persia pada Masa Awal Islam
Kondisi sosial pada masa dinasti Sassania tidak lebih baik dari beberapa tahun lalu, ketika masih menggunakan sistem pemerintahan kerajaan. Pembagian kelas pada masa dinasti Sassania, amatlah tajam. Kaum aristokrat dan para pendeta berkedudukan jauh lebih tinggi daripada golongan lainnya. Semua jabatan dan lowongan penting dicadangkan untuk mereka. Sedangkan para pengrajin dan petani tidak memiliki hak sosial dan hak perdata. Mereka harus membayar pajak dan ikut serta dalam berperang. Para pengrajin dan petani menjalani kehidupan yang sangat sengsara. Mereka dipandang hina dan tak berharga seolah-olah perbudakan abadi yang telah ditakdirkan untuk mereka. Mereka bekerja tanpa mendapatkan upah atas pekerjaan yang mereka kerjakan.
Pada masa itu, hanya anak-anak orang kaya dan bangsawan yang berhak menerima pendidikan. Rakyat umum dan menengah tidak mendapatkan pengetahuan dan kehormatan. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas rakyat tidak mempunyai hak untuk menjadi orang terpelajar ataupun pecinta kearifan dan keadilan. Tradisi mempertahankan rakyat untuk tetap bodoh sangatlah penting pada saat itu. Hal ini disebabkan agar segala keinginan yang tak semestinya dan tak pantas dari kaum minoritas yang manja dapat dipenuhi. Masa pemerintahan keluarga Sasania pada abad ke enam sangat buruk sekali, keadaannya sangat dipengaruhi oleh keadaan para raja-raja yang berkuasa pada saat itu yang berkuasa secara turun temurun. Mereka beranggapan bahwa mereka lebih mulia dari manusia dan menganggap mereka sebagai keturunan dewa (Tuhan). Maka seringkali rakyat tidak menyebut nama asli raja mereka, karena dianggap sebagai anak Tuhan.
Seluruh harta kekayaan Negara menjadi milik raja. Mereka telah sampai pada puncak kegemaran pada kesenangan dan kemewahan dan persaingan untuk menonjolkan kekayaan dan kebesaran sampai pada batas daya khayal manusia, bahkan ahli syiir tidak sanggup membayangkannya. Keadaan raja yang seperti itu berbanding terbalik dengan keadaan rakyat yang amat sengsara dengan adanya pajak dan upeti yang sangat tinggi. Masyarakat Persia sangat sengsara dan memilukan. Mereka terbelenggu layaknya binatang ternak. Banyak diantara mereka yang meninggalkan kehidupannya untuk masuk ke kuil agar tidak ada tanggungan untuk membayar pajak dan tugas militer.
Agama resmi dinasti ini adalah agama Zaratustra. Dalam bahasa Yunani disebut Zoroaster. Agama ini merupakan agama suku Persia kuno yang dibawa orang Asia Tengah. Mereka menyembah satu dewa, yaitu Ahura Mazda, yang diyakini ikut dalam peperangan suci melawan Ahriman (mewakili sikap diam) dan setan (mewakili kejahatan). Karena pemerintahan ini berdiri atas bantuan dari para rohaniawan. Hal ini menyebabkan para pendeta dan pemuka agama ini memperoleh kedudukan yang tinggi dan kekuatan yang besar dalam dinasti. Para penguasa Sassania hanyalah sebagai satelit dari para pendeta, dan jika mereka tidak menaati kaum rohaniawan maka mereka akan mendapatkan perlawanan yang keras yang dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, para penguasa lebih memperhatikan kaum pendeta daripada kaum yang lainnya.
Dalam bidang keagamaan, dinasti ini tidak jauh berbeda dengan kondisi keagamaan pada kerajaan Romawi. Pada akhirnya, rakyat memahami bahwa agama yang mereka anut adalah agama yang penuh dengan kekerasan. Hal ini dapat dilihat degan adanya penguasaan penuh dan mutlak dari para penguasa dan para pendeta. Rakyat yang semula dipaksakan untuk diam dan menerima apa yang ada di hadapannya saat itu, mulai memberontak. Mereka menciptakan agam-agama baru, yaitu mencampur agama yang ada dengan agama yang berasal dari luar dinasti Sassania.
Raja-raja dinasti Sassania, pada umumnya gemar akan kemewahan dan kerakusan. Hal tersebut dapat dilihat pada istana-istana dinasti Sassania yang memiliki banyak permata dan barang mewah lainnya. Terutama pada salah satu permadani besar yang terbentang di balai salah satu istana yang bernama “Babaristani Kisra” yang dibuat dengan tujuan untuk menimbulkan gairah ketika berpesta ria dan selalu dapat melihat pemandangan indah musim semi yang menggairahkan.
Di antara raja-raja Sassania tersebut, yang paling gemar akan kemewahan adalah Khosru Parvez yang mempunyai ribuan istri, budak wanita, penyanyi dan pemusik di istananya. Hamzah Isfahani menggambarkan dalam bukunya Sani Mulukul Arz (raja-raja besar di dunia) bahwa “Khousru Parvez memiliki 3.000 istri, 12.000 penyanyi perempuan, 6.000 pengawal, 8.500 ekor kuda sebagai tunjangannya, 960 gajah dan 12.000 keledai untuk membawa bagasinya serta 1.000 unta.” Bahkan Thabari pun menambahkan, “Raja ini lebih gemar akan permata dan piring-piringan yang mewah ketimbang apapun.”
Kedatangan Islam dan pengangkatan Muhammad sebagai nabi (611 M) bertepatan dengan masa pemerintahan Khousru Parvez (590-628 M) di kerajaaan Persia. Pada masa itu, dunia yang beradab dikuasai oleh dua kekuatan yang besar, yaitu Romawi di Barat dan Persia di Timur. Kedua kerajaan ini selalu berperang dalam waktu yang lama untuk mendominasi pemerintahan dunia.
Kaisar Khosru Parvez memiliki beberapa nama lain, misalnya Kaisar Ebrewez dan Khousru II. Ia adalah putra kaisar Murmuzad IV, putra dari Kaisar Khosru I atau Kaisar Anusyirwan yang terkenal dengan keadilannya. Ia dinobatkan menjadi raja setelah terbunuh pada tahun 590 M. Namun, salah seorang keluarganya, Bahram Gaubin tidak menyetujuinya dan berusaha menggulingkan pemerintahannya. Kekuasaan Khousru II yang diambil pun dapat direbut kembali setelah ia meminta bantuan pada Kaisar Romawi Timur, Kaisar Maurice. Khousru II juga mengirimkan bala tentaranya ke Romawi Timur untuk meyingkirkan Kaisar Phocas yang telah mengambil tampuk kekuasaan Kaisar Maurice yang dulu telah membantunya. Akan tetapi, penyerbuan tersebut tidak berhenti hingga Phocas terbunuh. Kaisar Khousru II melanjutkan penyerbuan hingga ke pusat kerajaan Romawi Timur dan merebut kerajaan tersebut. Ia berkuasa sampai Heraklius berhasil mengusirnya pada tahun 615 M. Khousru II memerintah kerajaan Persia selama 37 tahun. Pada akhirnya, ia dibunuh putranya sendiri, Syiraweh atau Shairuwaihi karena berusaha kabur ketika tentara Romawi Timur menyerang Persia. Syiraweh pun menjadi raja menggantikan ayahnya. Peristiwa ini terjadi tepat seperti ucapan Nabi ketika Nabi mengetahui bahwa surat yang beliau berikan mendapatkan respon yang tidak baik dari Khousru II.
Sumber G+
0 Response to "Sejarah Singkat Kerajaan Persia"
Post a Comment