Dinasti Bani Umayyah di Suriah


Di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Syiah, Muawiyah, dan Khawarij. Keadaan ini tentunya tidak menguntungkan bagi Ali, akibatnya posisi Ali semakin lemah, sementara posisi Muawiyah semakin kuat. Dan pada tahun 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij (Yatim, 1996: 40).

Setelah Ali bin Abi Thalib meninggal, kedudukannya sebagai khalifah dijabat oleh anaknya, Hasan. Namun karena penduduk Kufah tidak mendukungnya, seperti sikap mereka terhadap Ayahnya, maka Hasan semakin lemah, sementara Muawiyah semakin kuat. Maka Hasan mengadakan perjanjian damai dengan Muawiyah dengan menanggalkan jabatan khilafah untuk Muawiyah pada tahun 41 H (661 M), agar tidak terjadi pertumpahan darah yang sia-sia. Perjanjian tersebut dapat mempersatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan politik, yakni di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan (Nahdi, 1994: 48). Tahun tersebut dalam sejarah dikenal sebagai tahun al-Jama'ah (tahun persatuan), sebagai tanda bahwa umat Islam telah menyepakati secara aklamasi mempunyai hanya satu orang khalifah. Di sisi lain penyerahan tersebut menjadikan Muawiyah sebagai penguasa absolut dalam Islam (Yatim, 1996: 40). Dengan demikian, maka berakhirlah apa yang disebut dengan masa Khulafa' al-Rasyidin yang bersifat demokratis, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayah dalam sejarah politik Islam yang bersifat keturunan (Yatim, 1996: 40-41). 



BANI UMAYYAH DI MASA PRA-ISLAM DAN MASA RASUL SAW. 
Di masa pra-Islam, sebagai suku Kuraisy, Bani Umayyah dan Bani Hasyim selalu bersaing untuk menduduki kursi pimpinan. Bani Umayyah lebih berperan dalam bidang pemerintahan dan perdagangan, dengan demikian mereka lebih banyak menguasai bidang perekonomian di banding Bani Hasyim, sementara Bani Hasyim adalah orang-orang yang berekonomi sederhana, akan tetapi kebanggaan Bani Hasyim adalah bahwa Rasul terakhir yang diutus Allah swt. adalah dari keturunan mereka, yakni Muhammad bin Abdillah bin 'Abd al-Muththalib. Ketika agama Islam mulai berkembang dan mendapatkan pengikut, Bani Umayyah merasa bahwa kekuasaan dan perekonomiannya terancam, dengan demikian. Bani Umayyah menjadi penentang utama terhadap perjuangan Muhammad saw. (Bani Hasyim). Abu Sufyan bin Harb adalah salah seorang keturunan Umayyah yang sering kali menjadi jenderal dalam beberapa peperangan melawan pihak Bani Hasyim. Setelah Islam menjadi kuat dan dapat merebut Mekah, pihak Abu Sufyan menyerah, di antara mereka adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, yang kemudian memeluk Islam sebagaimana penduduk Mekah lainnya (Ensiklopedi Islam, 5/1997: 130).


PEMBENTUKAN DINASTI BANI UMAYYAH 
Setelah khalifah 'Ali bin Abi Thalib wafat, Muawiyah bin Abi Sufyan, dengan mudah memperoleh pengakuan dari umat Islam sebagai khalifah ke lima pada tahun 41 H/661 M, selanjutnya Ia membentuk Dinasti Bani Umayyah (41-133 H/661-750 M.) (Nasution, 1985: 52). Dinasti Bani Umayyah berlangsung kurang lebih 90 tahun, Ibu kota Negara dipindahkan oleh Muawiayah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya (Yatim, 1996: 43). 

Selama masa itu, Dinasti Bani Umayyah di Damaskus (Suriah) dipimpin oleh 14 khalifah, yaitu: Muawiyah I bin Abi Sufyan (41-61 H/661-680 M), Yazid I (61-64 H/680-683 M), Muawiyah II (64-65 H/683-684 M), Marwan I bin Hakam (65-66 H/684-685 M), 'Abdul Malik (66-86 H/685-705 M), al-Walid I (86-97 H/705-715 M), Sulaiman (97-99 H/715-717 M), 'Umar II ('Umar bin 'Abdul 'Aziz) (99-102 H/717-720 M), Yazid II (102-106 H/720-724 M), Hisyam (106-126 H/724-743 H), al-Walid II (126-127 H/743-744 M), Yazid III (127 /744M), Ibrahim (127 H/744 M), dan Marwan II (127-133 H/744-750 M) ( Ensiklopedi Islam, 5; 132). Dari 14 khalifah sebagai disebut di atas, terdapat lima khalifah besar yaitu: Mu'awiyah bin Abi Sufyan (661-680 M), 'Abd al-Malik bin Marwan (685-705 M), al-Walid bin 'Abd al-Malik (705- 715 M) 'Umar bin 'Abd al-'Aziz (717-720 M), dan Hisyam bin 'Abd al-Malik (724-743 M) (Nasution, 1985; 56). 


KEMAJUAN DINASTI BANI UMAYYAH 
Kemajuan pada Masa Muawiyah Semenjak berkuasa, Muawiyah mulai mengubah koalisi kesukuan Arab menjadi sebuah sentralisasi monarkis. Ia memperkuat barisan militer dan memperluas kekuasaan administratif negara dan merancang alasan-alasan moral dan politis yang baru demi kesetiaan terhadap khalifah. Selanjutnya ia berusaha menertibkan kebijakan militer dengan tetap mempertahankan panglima-panglima Arab yang memimpin pasukan kebangsaan Arab. Untuk memenuhi interes para pemimpin suku, oleh Muawiyah, sejumlah penaklukan diarahkan ke Afrika Utara dan Iran Timur.

Selanjutnya Ia berusaha meningkatkan pendapatan negara dari penghasilan pribadinya, dari lahan pertanian yang diambil alih dari Bizantium dan Sasania, dan dari investasi pembukaan tanah baru dan irigasi. Kebijakan politik dan kekuasaan finansial yang ditempuhnya berasal dari nilai-nilai tradisi Arab, seperti; konsiliasi, konsultasi, kedermawanan dan penghormatan terhadap bentuk-bentuk tradisi kesukuan. Muawiyah sangat terkenal dengan sifat santunnya (hilm), Ira M. Lapidus menjelaskan; Jika Khalifah Umar terkenal dengan integritas keagamaannya, maka Muawiyah terkenal dengan patriotisme kebangsaannya. 

Pemerintahan Muawiyah ditandai dengan upaya sentralisasi kekuasaan negara, bahkan pemerintahannya didasarkan pada jaringan kerja (networks) pribadi dan ikatan kekerabatan. Namun demikian. beberapa dekade masa pemerintahan Muawiyah, tidak terlepas dari berbagai bentuk perselisihan, seperti warga Madinah menentang Quraisy lantaran merampas kedudukan mereka, kalangan Syiah menginginkan jabatan khilafah dan sebagainya, akan tetapi berkat kecakapan pribadinya serta kekuatan militernya, Muawiyah mampu mengatasinya (Lapidus, 2000: 87-88). 

Kemajuan pada Masa Abdul Malik dan Masa Al-Walid Aspek pertama dari kebijakan Abdul Malik setelah berhasil menghancurkan musuh-musuh Bani Umayyah adalah demiliterisasi Arab pada beberapa perkampungan militer di Iraq. Sejak itu, militer Suriah menggantikan kedudukan militer Iraq yang bermula dari sebuah perkampungan militer yang dibangun di al-Wasith. Pada masa pemerintahan Abdul Malik, untuk pertama kalinya khalifah Bani Umayyah mencetak mata uang logam, menggantikan mata uang Bizantium dan Sasania. Mata uang yang baru ini, menghilangkan simbolisme Kristen dan Zoroastrian dan memperkenalkan model koin yang terbuat dari emas dan perak yang bertuliskan huruf Arab sebagai simbol kedaulatan negara. Selain dari yang disebutkan di atas, negara juga menandai kedaulatannya dengan mendirikan sejumlah bangunan monumental, Abdul Malik menetapkan Yerusalem sebagai kota suci bagi umat Islam dan Masjid Kubah Batu (al-Kubbah al-Shakhra) dibangun pada tanah peribadatan umat Yahudi kuna.

Pada masa pemerintahan al-Walid, dibangun beberapa masjid baru di Madinah dan di Damaskus, hiasan pada masjid-masjid tersebut melambangkan kejayaan bangsa Arab dan menjadi bukti pengabdian negara kepada agama. Terdapat beberapa kesejajaran antara langkah-langkah yang ditempuh oleh Abdul Malik dan putranya, al-Walid. yaitu praktik administrasi model Bizantium dan Sasania. Di Suriah dan di Mesir seluruh perangkat administratif, termasuk di dalamnya administrasi pendapatan negara berasal dari tradisi Bizantium, demikian juga organisasi kemiliteran di Suriah mengikuti model Bizantium, sementara di Iraq, pengadministrasian negara mengikuti pola Sasania, yakni pembagian menjadi empat bidang; bidang keuangan, kemiliteran, surat-menyurat, dan bidang kedutaan. Kesejajaran yang lain dari kedua khalifah Bani Umayyah ini, adalah menyusun peralihan pejabat-pejabat pajak dari orang-orang yang berbahasa Yunani dan Suriah kepada orang-orang yang berbahasa Arab. Catatan-catatan ringkas, penyalinan, dan laporan-laporan, sekarang muncul dalam bahasa Arab, perubahan ini di Iraq berlangsung pada tahun 697 M. di Suriah dan Mesir pada tahun 700 M. (Lapidus, 2000: 90-94). 

Kemajuan pada Masa Umar bin Abdul Aziz Umar bin Abdul Aziz selama masa pemerintahannya, memperlihatkan kemajuan diberbagai aspek, Umar memberikan hak untuk ikut berperan aktif di dalam diwan-diwan kepada seluruh pasukan Muslim yang aktif, baik Arab maupun non-Arab. Umar juga memberlakukan prinsip baru dalam sistim perpajakan yang didasarkan atas asas persamaan antara Muslim Arab dan Muslim non-Arab, baik berupa pajak jiwa maupun pajak tanah. Khalifah Umar menetapkan bahwa pajak bukan sebuah fungsi dari status individual. Muslim non-Arab diharapkan membayar pajak tanah, dan demikian pula Muslim Arab harus membayar pajak tanah-tanah mereka secara penuh (Lapidus, 2000: 96-97). 

Umar menyadari bahwa dominasi sebuah etnis terhadap etnis lain adalah suatu anakronistik, oleh karena itu antagonisme antara Arab dan non-Arab segera Ia hapuskan, dan menjadikannya sebuah kesatuan Muslim yang universal (Lapidus, 2000: 96).


PELANGGARAN HUKUM OLEH KHALIFAH BANI UMAYYAH 
Pelanggaran Hukum oleh Muawiyah Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Maududi, bahwa Imam al-Zuhri menyatakan bahwa pada masa Rasul dan masa Khalifah yang empat, seorang kafir tidak mewarisi seorang muslim dan demikian pula sebaliknya, namun Khalifah pertama Dinasti Bani Umayyah ini, telah melanggar ketentuan tersebut dengan mewariskan seorang muslim dari seorang kafir, tapi tidak mewariskan seorang kafir dari seorang muslim. Pelanggaran ini oleh Umar bin Abdul Aziz pada masa pemerintahannya, telah dikembalikan sebagaimana pada masa Rasul dan masa Khalifah empat. Tapi oleh Hisyam bin Abdul Malik pada masa pemerintahannya, mengembalikannya sebagaimana pada masa Muawiyah (Al-Maududi, 1413/1993: 223). 

Selain itu, pelanggaran atas hukum oleh Muawiyah adalah kebiasaan mengumpat dan mencaci maki pribadi Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pidato-pidato mereka di atas mimbar-mimbar dihadapan kaum muslimin. Bahkan lebih dari itu, mereka melaknat Ali bin Abi Thalib r.a. di atas mimbar Masjid Nabawi di Madinah, di saat-saat keturunan dan kerabat Ali berada di hadapan mereka. Tapi Alhamdulillah berkat kebijakan Umar bin Abdul Aziz ketika Ia menjadi Khalifah, Ia segera mengganti kebiasaan buruk itu, sebagaiman pula Ia telah mengganti kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya yang telah banyak kali dilakukan oleh beberapa Khalifah sebelumnya. Umar pun segera melarang pelaknatan terhadap Ali r.a. dan sebagai gantinya, Umar memerintahkan agar dibacakan QS. al Nahl (16): 90 (Al-Maududi, 1413/1993: 224). 

Pelanggaran Hukum oleh Yazid Apa yang telah dilakukan oleh Muawiyah dalam hal pelanggaran hukum di masa pemerintahannya, telah diwarisi oleh penggantinya. Yazid sebagai pengganti Muawiyah, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Maududi telah melakukan tiga pelanggaran besar yang mengguncangkan dunia Islam seluruhnya (Al-Maududi, 1413/1993: 231).

Pertempuran Harrah yang terjadi di akhir masa pemerintahan Yazid, tepatnya di akhir tahun 73 H, adalah satu pelanggaran besar dari tiga pelanggaran besar yang pernah dilakukan oleh Yazid (Al-Maududi, 1413/1993: 234). 

Pertempuran tersebut terjadi ketika warga kota Madinah mengusir gubernur kota Madinah dan mengangkat Abdullah bin Handalah sebagai gubernur. Ketika pengusiran tersebut diketahui oleh Yazid, maka Ia segera menunjuk Muslim bin Uqbah (Kaum asyraf menamakan Muslim dengan Musrif "Si Durjana" bin Uqbah) sebagai komandan atas 12,000 pasukan, dan memerintahkannya untuk menyerbu kota Madinah. Kepada Muslim bin Uqbah, Yazid menitipkan pesan bahwa setelah pasukan memperoleh kemenangan, maka pasukan diperbolehkan menjarah kota Madinah dan melakukan apa saja yang mereka kehendaki selama tiga hari berturut-turut. Muslim dan pasukannya segera menuju kota Madinah, maka pertempuran pun tak dapat dihindari antar pasukan Muslim bin Uqbah dan penduduk kota Madinah. Pasukan Muslim bin Uqbah dapat memenangkan pertempuran. Sesuai perintah Yazid, pasukan diperbolehkan melakukan apa saja yang mereka kehendaki selama tiga hari berturut-turut. Maka selama tiga hari berturut-turut, di seluruh wilayah Kota Madinah penduduknya dirampok habis-habisan oleh pasukan Si Durjana. Mereka menggunakan pedang untuk menebas leher-leher penduduk. Sehingga berdasarkan riwayat Imam Zuhri, pasukan Si Durjana telah membunuh 7000 kaum asyraf dan kurang lebih 10,000 rakyat biasa. Yang amat menyedihkan ialah bahwa tentara biadab ini telah menodai kesucian kaum wanita tanpa rasa malu. Bahkan Ibnu Kasir berkata, bahwa sekitar seribu wanita menjadi hamil akibat pemerkosaan oleh pasukan Musrif (Si durjana) pada waktu itu (Al-Maududi, 1413/1993: 234-235).

Pada suatu saat, Hasan al-Basri dikatakan kepadanya, "seakan-akan Bapak pro terhadap Bani Umayyah", maka Ia pun menjawab "bagaimana Aku memihak kepada mereka, bukankah mereka telah menjarah Kota Rasul saw.? membunuh penduduknya selama tiga hari? dan membiarkan begundal-begundal mereka menghamili wanita-wanita yang baik-baik dan patuh kepada agama?, dan mereka melakukan pelanggaran itu secara acuh tak acuh?, dan setelah itu mereka berangkat ke Mekah dan menghancurkan Ka'bah dan mengobarkan api di sekeliling Ka'bah?.", maka Hasan al-Basri pun berdoa, "Semoga Allah mengutuk mereka dan menyiksanya di akhirat kelak" (Al-Maududi, 1413/1993: 237-238). 

Pelanggaran Hukum oleh Abdul Malik bin Marwan Puncak pelanngaran hukum, baik hukum pemerintahan maupun hukum agama pada tubuh Dinasti Bani Umayyah adalah pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Dan yang lebih menakjubkan bahwa Abdul Malik adalah seorang faqih yang setingkat dengan Said bin Musayyib, bahkan Ia menyesalkan pembakaran Ka'bah oleh pasukan Yazid. Namun ketika Ia menduduki jabatan Khalifah, kekejaman yang dilakukannya ternyata melebihi dari kekejaman Khalifah sebelumnya (Al-Maududi, 1413/1993: 238-239). 

Pelanggaran hukum oleh Abdul Malik, antara lain adalah pengiriman pasukan di bawah pimpinan Hajjaj bin Yusuf ke Mekah untuk memerangi Abdullah bin Zubair. Dan setelah Hajjaj memperoleh kemenangan, pasukan yang biadab itu memenggal kepala penduduk, menyalib jasad mereka, serta membiarkannya membusuk. Karena tindakan Hajjaj yang melewati batas selama 20 tahun itu, pemerintahan Abdul Malik dan putranya, Walid mendapat kutukan terbesar (Al-Maududi, 1413/1993: 239-240). 

Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Maududi, Umar bin Abdul Aziz berkata mengenai diri Hajjaj, "Seandainya ada perlombaan antar bangsa tentang kejahatan manusia, lalu seseorang membawa Hajjaj, niscaya ia akan menang dalam perlombaan tersebut (Al-Maududi, 1413/1993: 240). 

Sementara pelanggaran hukum agama yang dilakukan oleh Abdul Malik beserta keluarganya, adalah seperti kebiasaan mengundur waktu shalat, menyampaikan khutbah pertama pada hari Jum'at sambil duduk, dan pembacaan Khutbah hari Raya sebelum pelaksanaan Shalat (Al-Maududi, 1413/1993: 242). 

KEMUNDURAN DINASTI BANI UMAYYAH 
Di antara sebab-sebab yang mengakibatkan Dinasti Bani Umayyah mengalami kemunduran dan membawanya kepada kehancuran, adalah sebagai berikut: 
  1. Munculnya kelompok-kelompok yang merasa tidak puas terhadap pemerintahan Bani Umayyah, seperti kelompok Khawarij, Syiah, dan kelompok muslim non-Arab 
  2. Tidak adanya ketentuan yang jelas dan tegas tentang sistem pergantian khalifah, ketiadaan ketentuan menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga khalifah; 
  3. Ketidakmampuan dari para penguasa Bani Umayyah untuk menggalang persatuan dan kesatuan dari pertentangan yang semakin lama semakin meruncing antara etnis suku Arabiah Utara (Bani Qais) dengan suku Arabiyah Selatan (Bani Kalb), yang sudah ada sejak sebelum Islam; 
  4. Sangat kurangnya perhatian para khalifah Bani Umayyah terhadap perkembangan agama, sehingga pemuka agama banyak yang kecewa; 
  5. Sikap hidup yang bermewah-mewahan dalam lingkungan keluarga khalifah, sehingga mereka yang memegang kekhalifahan berikutnya tidak mampu memikul beban kenegaraan yang berat; (Nasution, 1985: 59-61; Yatim, 1996: 48-49); 
  6. Terbunuhnya Khalifah Marwan bin Muhammad oleh tentara Abbasiyah di kampung Busir daerah Bani Suweif (Syalabi, 1993: 36). 

Wallahu a'lam

Penulis: Muh. Jabir




0 Response to "Dinasti Bani Umayyah di Suriah"

Post a Comment