Jengiskan dan Hancurnya Sebuah Peradaban


Ratusan ribu mayat tanpa kepala berserakan dan tumpang tindih memenuhi jalan-jalan, parit-parit dan lapangan-lapangan. Disekitarnya bangunan-bangunan megah dan indah banyak yang tinggal puing-puing dan rerontokan. Asap masih mengepul dari bangunan-bangunan yang dibakar. Tentara dari pangkat rendah sampai tinggi sibuk memenggal kepala ribuan manusia dan kemudian memisahkan kepala yang terpisah dari tubuhnya itu menurut kelompok: kepala wanita, anak-anak, orang tua, dipisahkan satu dari yang lain. Sungai Dajlah atau Tigris berubah menjadi hitam disebabkan tinta ribuan manuskrip yang dilempar ke dalamnya. Perpustakaan, rumah sakit, mesjid, madrasah, tempat pemandian dan rumah para bangsawan, toko dan rumah makan semuanya dihancurkan.


Demikianlah, kota yang selama beberapa abad menjadi pusat terbesar peradaban Islam itupun musnah dalam sekejap mata. Setelah puas, pasukan penakluk itupun bersiap-siap pergi tanpa penyesalan sedikitpun. Mereka kini hanya sibuk mengumpulkan barang-barang jarahan yang berharga: timbunan perhiasan yang tak ternilai harganya, berkilo-kilo batangan emas dan uang dinar, batu permata, intan berlian–semua dimasukkan ke dalam ratusan karung dan kemudian diangkut dalam iringan gerobak dan kereta yang sangat panjang.

Penyair Sa’idi (1184 – 1291) pernah menyaksikan peristiwa serupa sebelumnya, yaitu di kota Shiraz. Dia berhasil menyelamatkan diri dan merekam peristiwa yang dia saksikan dalam sajaknya:

Maka langit pun mencurahkan
Hujan lebat darah ke atas bumi
Dan kebinasaan menyapu bersih
Kerajaan al-Mu’tasim, khalifah orang mukmin
Ya Muhammad ! Apabila hari pengadilan datang
Angkutlah kepala tuan dan lihat
Kesengsaraan umatmu ini !


Saksi lain menulis para musisi dan penyanyi dipanggil agar bernyanyi dengan riang gembira, sementara bangsawan-bangsawan kota diperintahkan merawat kuda-kuda mereka. Kitab salinan al-Qur’an yang tidak ternilai harganya dilempar dan diinjak-injak. Juwayni , seorang sejarawan abad ke-13, yang berhasil melarikan diri dari Bukhara ketika kota itu diserang beberapa tahun sebelumnya, melihat bagaimana kota kelahiran Imam Bukhari ahli hadis yang masyhur itu diratakan dengan tanah. Tulis Juwayni: “Mereka datang, merusak, menghancurkan, membunuh, memperkosa wanita muda, dan tua, menjarah harta, dan akhirnya pergi dengan tenang dan puas hati.”


Demikian gambaran sekilas kebengisan dan teror yang dilakukan tentara Mongol di lebih separo daratan Asia dan Eropa Timur sejak awal hingga pertengahn abad ke-13 M. Baghdad, Ibukota kekhalifahan Abbasiyah, mendapat giliran agak akhir, pada bulan Februari 1258 M.

Serbuan kali ini dirancang dari Transoxania di Asia Tengah dan dipimpin salah seorang cucu Jengis Khan yang tidak kalah bengis dari kakeknya. Di antara catatan sejarah mengenai kebiadaban orang-orang Mongol ialah catatan sejarawan terkemuka Ibnu ‘Athir (w. 1231 M) dan ahli Geografi Yaqut al-Hamawi (w.1229 ). 

Menurut mereka, tokoh-tokoh muslim terkemuka, amir, panglima perang, tabib, ulama, budayawan, ilmuan, cendekiawan, ahli ekonomi dan politik, serta saudagar kaya – tewas dalam keadaan mengenaskan. Kepala mereka dipenggal, dipisahkan dari badan, karena khawatir ada yang masih hidup dan berpura-pura mati.

Timbul pertanyaan: jenis manusia dan bangsa macam apakah orang-orang Mongol pada abad ke-13 itu ? Mengapa mereka tiba-tiba muncul menjadi kekuatan yang menggemparkan dunia beradab dan dapat menaklukkan wilayah yang sangat luas. Dari ujung timur negeri Cina sampai ujung barat Polandia, dari batas utara Rusia hingga batas selatan teluk Parsi – semua ditundukkan dan dikuasai hanya dalam waktu kurang lebih 40 tahun ?



1. Riwayar Jengis Khan
Untuk mengenal watak suatu bangsa, dan kekuatan bangsa tersebut dalam kurun sejarah tertentu, kita dapat bercermin pada pemimpinnya dan bagaimana pemimpin tersebut menempa serta mengorganisasi bangsanya. Tokoh sentral bangsa Mongol pada abad ke-13 M adalah Jengis Khan serta anak cucunya yang perkasa seperti Ogotai, Batu, Hulagu dan Kubilai Khan. Jengis telah berhasil mempimpin bangsa Mongol menaklukkan daratan Asia yang menyebabkan keturunannya memerintah dan menguasai negeri-negeri yang ditaklukkannya itu selama berabad-abad. Dialah yang menempa bangsa Mongol menjadi bangsa yang tangguh, berani dan nekad.


Namanya ketika kecil adalah Temujin. Ayahnya Yasugei, adalah seorang Khan (raja) yang mengepalai 13 kelompok suku Borjigin, salah satu suku utama Mongol – Turk yang paling berapi dan gagah perkasa. Sebagai Khan keci l, Yasugei tunduk kepada Khan yang lebih tinggi, Utaq Khan. Ketika Temujin berusia 13 tahun terjadilah perebutan kekuasaan dalam suku Borjigin. Ayahnya mati terbunuh disebabkan panah beracun Dario salah seorang lawan politiknya. Karena masih muda, Temujin tidak diakui sebagai penggantinya. Malahan keselamatan dirinya serta ibu dan adik-adiknya terancam.

Keluarga Yasugei melarikan diri dan mendapat perlindungan salah seorang saudaranya dari suku Nainan. Pada tahun 1182 Temujin menjadi remaja yang tangkas serta berani, dan berhasil mempersunting salah seorang putri keluarga terkemuka suku itu, yaitu Bortai. Bortai mendampingi Temujin sampai akhir hayat dan setia mengikuti suaminya ke daerah-daerah peperangan.

Bakat Temujin sebagai pemimpin telah kelihatan pada waktu berusia 20 tahun. Segala beluk ilmu perang dia pelajari, begitu pula ketangkasan menunggang kuda dan penggunaan segala jenis senjata perang. Secara diam-diam mengumpulkan para pengikut ayahnya dan melatih mereka dengan disiplin keras. Pada waktu yang tepat diapun menyerang bekas lawan politik ayahnya dan berhasil merebut kembali kedudukannya sebagai khan suku Borjigin. Tidak berapa lama setelah itu dia berhasil pula menyatukan suku-suku Mongol dan Turk yang terpencar-pencar di wilayah luas antara sungai Dzungaria dan Irtish.

Pada tahun 1202 huraltai, majlis besar suku-suku Mongol, memberi pengakuan kepada Temujin sebagai khan seluruh orang Mongol dengan gelar Jengis Khan. Artinya raja diraja dan dalam bahasa Arab disebut Sayyid al-Mutlaq.

Salah satu faktor keberhasilan Jengis Khan ialah kebengisan dan kekejamannya dalam memperlakukan lawan-lawan politik yang dikalahkannya. Apabila pihak lawan telah ditundukkan, para pemimpinnya lantas ditangkap dan kemudian direbus hidup-hidup dalam air panas yang sedang mendidih dalam belanga besar.

Pengangkatannya sebagai khan besar seluruh orang Mongol semakin memperkuat keyakinan dirinya dan keyakinan bahwa pasukan tentaranya sangat kuat. Inilah yang mendorong Jengis mulai berpikir bagaimana menaklukkan negeri-negeri di sekitarnya yang wilayahnya sangat luas dan makmur, seperti Cina, Khwarizmi di Asia tengah, Persia, India, India utara serta Eropa Timur.

Jengis mulai melatih lebih keras pasukan tentaranya, dia merekrut sebanyak-banyaknya orang Mongol dari berbagai suku dan mengorganisasikannya menjadi kekuatan militer yang besar. Tentaranya dilatih dengan disiplin keras. Teknik-teknik teror dan kekejaman yang canggih juga diajarkan kepada mereka. Percobaan pertama untuk menguji keunggulan tentaranya ialah dengan menyerbu Cina Utara yang dikuasai bangsa Kin. Alasan penyerbuan cukup kuat: Bangsa Kin sering menyerang Mongol (Tartar) karena menganggap mereka bangsa biadab. Dalam serangan itu sudah banyak pemimpin Mongol dibunuh dengan cara yang kejam. Ratusan tahun orang Mongol menyimpan dendam itu. Dalam serbuan yang dipimpin Temujin tentara Mongol dengan mudah sekali dapat menundukkan Cina Utara. Penduduk dan pemimpin mereka dibunuh, kecuali orang cerdik pandai, seniman, perajin, sastrawan, guru, ahli bahasa, rohaniawan, dokter, ahli sejarah, dan pakar strategi perang. Mereka sangat penting untuk melatih dan mendidik orang Mongol sehingga menjadi bangsa yang beradab.

Sebagai tokoh besar lain, Jengis Khan mempunyai idola yang ikut membentuk kepribadian dan arah cita-citanya. Idolanya ialah tokoh utama sebuah cerita rakyat Mongol yang populer bernama Kutula Khan. Menurut cerita tersebut Kutula Khan bertubuh besar. Suaranya bagaikan bunyi guruh dan guntur menyambar puncak gunung. Tangannya yang kuat bagaikan beruang dengan mudah dapat mematahkan anak panah. Walau udara dingin pada musim gugur dia dapat tidur dengan nyenyak dekat api pendiangan tanpa pakai baju. Percikan api yang melukai tubuhnya tidak dia pedulikan, seolah-oleh gigitan nyamuk saja. Dalam sehari ia makan seekor domba dan satu guci susu. Kepada seorang jenderalnya Jengis bertanya pernah bertanya:” Apakah kebahagiaan terbesar dalam hidup ini, menurut pendapatmu? “Jenderalnya menjawab: “Beburu di musim semi mengendarai seekor kuda yang tangkas dan bagus! “Bukan!” jawab Jengis Khan. “Kebahagiaan terbesar ialah menaklukkan musuh, mengejar mereka sampai tertangkap, kemudian merampas harta milik mereka, memandangi kerabat dekat mereka meratap dan menjerit-jerit, menunggangi kuda-kuda mereka, memeluk istri dan anak-anak gadis mereka serta memperkosa mereka.”

Ogatai, salah seorang putranya, mempraktekkan betul-betul apa yang dikatakan ayahnya. Apabila Ogatai dan tentaranya berhasil menduduki kota, dia akan memerintahkan ratusan gadis berbaris dan kemudian beberapa gadis paling cantik dipilihnya untuk dirinya. Yang agak cantik untuk jenderal-jenderalnya dan selebihnya untuk prajurit-prajurit yang lebih rendah pangkatnya. 

Amir Khusraw, penyair Persia abad ke-13 yang melarikan diri dan tinggal di India, memberi gambaran seperti berikut tentang orang-orang Mongol itu: “Mereka mengendarai unta dan kuda dengan tangkas, tubuh mereka bagaikan besi, wajah membara, tatapan muka garang, leher pendek, telinga lebar berbulu dan memakai anting-anting, kulit kasar penuh kutu dan baunya amat tidak sedap.”

Penulis lain mengatakan bahwa mereka seperti keturunan anjing saja, wajah rajanya seperti binatang buas dan berkata bahwa tuhan mencipta mereka dari api neraka. “Sejarawan Ibn ‘Athir melaporkan ketika Bukhara diserbu, 30 ribu tentara kerajaan Khwarizmi tidak berkutik mengahapi keganasan dan kebengisan mereka. Juwayni sejarawan abad ke-13 yang lain, menulis dalam bukunya Tarikh-IJehan Gusan: “Jengis Khan naik ke atas mimbar masjid dan mengaku sebagai cemeti Tuhan yang diutus untuk menghukum orang-orang yang penuh dosa.”

2. Perang dengan negeri Islam
Awal permusuhan dan peperangan dengan negeri Islam bermula dari peristiwa tahun 1212 M. Pada suatu hari tiga orang saudagar Bukhara bersama puluhan rombongannya tiba di wilayah Mongol dan menuju ibukota Karakorum. Entah mengapa, orang-orang Mongol menangkap mereka dan kemudian menyiksanya. Sedangkan barang dagangannya dirampas. Tidak lama setelah peristiwa itu Jengis Khan mengirim 50 orang saudagar Mongol untuk membeli barang dagangan di Bukhara. Atas perintah amir Bukhara Gayur Khan, mereka ditangkap dan menghukum mati. Jengis sangat marah dan merancang menyerbu kerajaan Khwarizmi dan negeri lain di Asia tengah. Penyerbuan itu baru terlaksana pada tahun 1219, hanya selisih tiga tahun setelah tentara Mongol menaklukkan seluruh wilayah Cina.

Pada tahun 1227 Jengis Khan meninggal dunia, sebelum seluruh wilayah Khwarizmi dan Asia tengah, termasuk Afghanistan dan India utara, berhasil ditaklukkan. Dia digantikan putranya Ogatai (1229 – 1241). Dibawah pimpinannya semakin banyak wilayah taklukan Mongol. Kekuasaan mereka mencapai Sungai Wolga dan Polandia. Sebagian besar orang Mongol telah memeluk agama Budha, namun beberapa bangsawan dan istri mereka ada yang memeluk agama Kristen.

Pengganti Ogotai ialah Kuyuk (1246 – 1249) dan Kuyuk digantikan oleh Mangu (1251-1264), putra sulung Tulul dan Tulul ialah adik bungsu Ogotai. Pada masa kepemimpinan Mangu inilah konflik terjadi dalam keluarga Jengis Khan.

Entah apa sebabnya pada suatu hari Mangu menuduh Ogul Ghaimi, bekas permaisuri Ogatai yang beragama Kristen, bermaksud menggulingkan kekuasaannya dan menghasut orang Mongol yang beragama Budha melakukan makar. Ogul Ghaimi dihukum mati dan hampir semua keturunan Ogotai dibunuh. Keputusan tersebut didukung oleh Kubilai Khan, yang telah menjadi kaisar Cina, dan Hulagu. Cucu Ogotai, Kaidu yang menjadi panglima di Subutai , tidak berhasil melaksanakan niatnya membalas dendam. Ia malah dipaksa menyerahkan wilayah kemaharajaan Kara Kita (Xinjiang, Cina) kepada Mangu. Begitulah sejak itu kekuasaan Mangu menjadi bertambah luas.

Sebenarnya serangan terhadap Baghdad tidak pernah terpikirkan oleh Mangu, sebab di samping tentara Abbasiyah masih dianggap kuat dan berbahaya, beberapa ulama yang menjadi penasehat penguasa Mongol dapat meyakinkan bahaya serangan tersebut. Menurut para ulama, bagaimanapun Khalifah al-Mu’tasim ialah pemimpin kaum muslimin dan barang siapa yang menistanya pasti akan mendapat balasan setimpal dari Tuhan. Penyerbuan ke Baghdad terjadi setelah Mangu memerintahkan Hulagu membasmi istana benteng Alamut dan wilayah yang dikuasai orang-orang Assasin, yaitu cabang dari sekte Isma’iliyah (Syi ’ah Imam Tujuh). Orang-orang Hassasin sangat berbahaya karena sering merampok dan membunuh para saudagar, termasuk saudagar Mongol.

Ketika mendapat perintah saudaranya itu Jenderal Hulagu juga mendapat pesan khusus dari istrinya Dokuz Khatun yang beragama Kristen. Dokuz Khatun mempunyai hubungan dengan pemimpin pasukan perang salib yang sedang berperang dengan tentara Islam merebut Yerusalem pada waktu itu, dan berkonspirasi dengan misionaris Kristen untuk menghancurkan kaum Muslim. Dia meminta kepada suaminya agar setelah menghancurkan benteng Alamut, yang membentang sepanjang pegunungan di timur laut Iran dan Afghanistan segera menaklukkan Iran dan Iraq. Demikianlah, sebelum menaklukkan dan membasmi pengikut Hassasin di Alamut, Hulaghu dan ribuan tentaranya berangkat dari Transoxiana di sebelah utara Samarkand dan Bukhara. Mula-mula ia menyerbu Merw, Rayya dan Nisyapur, kemudian Hamadan dan dari situ berputar menuju dataran tinggi Marenda serta menghancurkan Istana Benteng Alamut dan membinasakan ribuan pengikut Hassasin. Setelah itu pasukan Hulagu menyerbu Azerbaijan dan Armenia, yang dengan mudah dapat ditaklukkannya. Gerakan selanjutnya ialah ke Arah selatan memasuki wilayah al-Jazirah. Setelah beristirahat agak lama dan mengatur strategi perang diantaranya mengirim mata-mata, pada hari Minggu 4 Safar H (Februari 1258) pasukan Hulagu bergerak mendekati Baghdad. Walaupun perlawanan yang diberikan oleh tentara Abbasiyah cukup sengit, namun tidak begitu sukar bagi Hulagu untuk mengalahkan dan menghancurkan mereka.

Catatan yang cukup menarik tentang kekalahan tentara kaum Muslimin Baghdad itu terdapat dalam buku Tarikh al-Islam (hlm. 206-207) karangan sejarawan terkenal abad ke-13M Muhyiddin al-Khayyat:

“Sejak bertahun-tahun lamanya telah timbul pertentangan tajam antara pengikut Sunni dan Syi ’ah, juga antara pengikut mazhab Syafi ’i dan Hanafi. Pertumpahan darah telah sering pula terjadi dalam pertikaian yang timbul diantara golongan-golongan yang saling bertentangan itu. Pada saat itu khalifah yang berkuasa ialah al-Mu’tasim, sedangkan wazirnya Muayyad al-Din al-Qami, seorang tokoh Syi’ah terkemuka.

Amir Abu Bakar, putra khalifah, dan panglima Rukhnuddin al-Daudar sudah lama menaruh dendam kepada wazir al-Qami. Pada suatu hari dia memerintahkan tentara mengobrak-abrik tempat tinggal orang Syi’ah. Peristiwa ini oleh wazir dirasakan sebagai pukulan hebat terhadap dirinya. Diam-diam dia berkorespondensi dengan Hulagu dan mendorong panglima Mongol dari Transoxiana itu segera berangkat merebut ibukota Baghdad.

Hulagu pun datang dengan ribuan tentaranya pada bulan Safar 656H dan mengepung Baghdad. Dengan persetujuan khalifah panglima al-Daudar membawa pasukan tentara Baghdad untuk mengusir tentara Mongol. Tetapi malang tidak dapat dielakkan. Pasukannya kalah telak dan dia sendiri dengan kepala terpisah dari badan. Sisa pasukannya menyelamatkan diri ke balik tembok ibukota yang kukuh dan sebagian lagi melarikan diri ke Syiria.

Setelah itu wazir al-Qami menemui Hulagu, dan atas persetujuan Khalifah al-Mu’tashim, dilakukan perundingan dengannya. Wazir dan pengiringnya pulang ke dalam kota, dan setelah terjadi kericuhan diapun berkata kepada khalifah: “Hulagu Khan berjanji akan tetap menghormati dan Tuan sebagai khalifah, seperti mereka mengakui Sultan Konya. Bahkan ia hendak mengawinkan seorang putrinya dengan putra Tuanku, Amir Abu Bakar !”

Muhyiddin al-Khayyat selanjutnya melaporkan bahwa khalifah al-Mu’tasim disertai seluruh pembesar kerajaan dan hakim, serta keluarga mereka, berjumlah 3000 orang keluar dari istana menemui Hulagu. Pada mulanya mereka disambut dengan ramah, tetapi tidak lama kemudian dibantai habis. Wazir al-Qami dan keluarganya juga dibantai dengan cara lebih bengis. Sebelum dibunuh wazir al-Qami dinista Hulagu, “Kamu pantas mendapat hukuman berat karena berkhianat kepada orang yang telah memberimu kedudukan istimewa.”

Selama 40 hari pasukan Hulagu membunuh, menjarah, memperkosa wanita dan membakar. Rumah-rumah ibadah dihancurkan. Bayi dalam gendongan dibantai bersama ibu mereka. Wanita hamil  ditusuk perutnya. Sejak saat itu pula kedaulatan dan kekuasaan Mongol dinobatkan atau Bani Ilkhan berdiri kukuh di Persia (iran dan Iraq). Hulagu Khan dinobatkan sebagai khan dan memilih Tabriz sebagai ibukota kemaharajaannya. Hanya Mesir dan Syiria yang tidak dapat ditaklukkan karena kuatnya pasukan kaum muslimin di situ.


3. Orang Mongol Memeluk Islam
Dalam perjalanan sejarah suatu bangsa sering terjadi sesuatu yang musykil dan tidak pernah terbayangkan. Orang Mongol yang dahulunya merupakan musuh dan seteru sengit orang Islam, pada akhirnya tunduk kepada kepercayaan penduduk negeri-negeri yang mereka taklukkan. Tidak lama setelah jatuhnya kota Baghdad itu telah banyak bangsawan dan pemimpin Mongol secara diam-diam memeluk Islam. Pada awal abad ke-14, belum seratus tahun maklumat permusuhan terhadap umat Islam diumumkan oleh founding father mereka Jengis Khan, sebagian besar orang Mongol di negeri kaum muslimin telah dirasuki agama Islam dan kebudayaan masyarakatnya.

Namun demikian, semua itu berjalan dalam proses yang berliku-liku. Sebelum berbondong-bondong memeluk Islam mereka telah menjadi penganut Syamanisme dan Budhisme yang fanatik. Usaha misionaris Kristen untuk mengkristenkan mereka bahkan hampir berhasil lebih dari dua tiga kali. Beberapa pemimpin Mongol bahkan telah menjalin kerja sama dan konspirasi dengan saja-raja Eropa dan pemimpin perang pasukan Salib mereka di tanah suci Yerusalem. Di antara bentuk bentuk konspirasi itu ialah bersama-sama menghajar dan menghancurkan negeri Islam.

Di antara pemimpin Mongol pertama yang memeluk Islam ialah Barkha Khan (1256-1266 ), cucu Jengis Khan dari putranya Juchi Khan, yang menguasai Eropa timur dan tengah dan berkedudukan di Sarai, lembah Wolga. Dia dan para pengikutnya memeluk Islam pada tahun 1260 berkat dakwah para ulama sufi yang berada di daerah tersebut.

Pada tahun itu juga Barkha mengirim ribuan tentaranya untuk membantu sultan Baybars di Mesir yang sedang menghadapi serangan Hulagu Khan dan tentara Salib. Dalam pertempuran di Ain Jalut pasukan Hulagu dapat dihancurkan. Sejak itu agama Islam berkembang pesat di lembah Wolga dan orang-orang Mongol yang bermukim di wilayah itu menyebut diri sebagai orang Kozak (Kystchak).

Adapun keturunan Hulagu Khan sendiri menempuh jalan berliku sebelum memeluk Islam. Ulama-ulama Islam juga tidak hanya bersaing dengan misionaris Kristen, tetapi bersaing pula dengan sesama mereka, yaitu ulama mazhab Syafi’I dengan Hanafi dan ulama Syi’ah.

Pada mulanya usaha misionaris Kristen hampir berhasil . Pengganti Hulagu Khan, yaitu Abagha (1265-1282) memeluk Kristen berkat bujukan ibunya Dokuz Khatun. Dalam istananya banyak pendeta Kristen tinggal, diantaranya sebagai penasehat politik. Pada tahun 1274, Abagha mengirim utusan khusus menghadiri Konsili Lyon. Dia sering berkirim-kiriman surat dengan Raja Louis (1266-1270) dari Prancis dan raja Charles I (1268-1285 ) dari Sicilia. Tetapi malah, putra Abagha, yang menggantikan ayahnya dan sejak kecil telah memeluk agama Kristen, yaitu Tagudar (1281-1284) menjelang dewasa memeluk Islam. Dia menyebut dirinya sebagai Sultan Muhammad Tagudar Khan. Namun karena tindakannya memberi peluang terlalu besar bagi perkembangan Islam, dia diadukan oleh-tokoh masyarakat Mongol kepada Kubilai Khan di Khanbalik, Cina. Perebutan kekuasaan segera terjadi di bawah pimpinan Arghun, saudara kandung Tagudar. Dalam peristiwa itu Tagudar mati terbunuh.

Setelah naik tahta, Arghun (1284-1290 ) segera menyingkirkan pembesar-pembesar Islam dari kedudukan penting mereka. Mereka digantikan oleh pembesar beragama Budha dan Kristen. Pengganti Arghun, yaitu Baidu Khan (1293-1295) berbuat serupa. Namun justru pada masa pemerintahan Baidu inilah terjadi peristiwa paling bersejarah. Putranya yang menggantikan dia, Ghazan Khan (1295- 1302), walaupun sejak keci l dididik sebagai penganut Budhis yang fanatik, ketika naik tahta menyatakan memeluk Islam.

Peristiwa tersebut merupakan kemenangan besar Islam. Ghazan lahir pada tanggal 4 Desember 1271 M. Usianya ketika naik tahta belum genap berusia 24 tahun. Pada umur 10 tahun dia diangkat menjadi gubernur Khurasan. Pendamping dan penasehatnya ialah Amir Nawruz, putra Arghhun Agha yang telah memerintah selama 39 tahun di beberapa provinsi Persia di bawah pengawasan langsung Jengis Khan dan penggantinya. Amir Nawruz merupakan pembesar Mongol awal yang memeluk agama Islam secara diam-diam. Atas usaha dialah Ghazan Khan memeluk agama Islam.

Ajakan memeluk Islam itu berawal ketika Ghazan sedang berjuang merebut tahta kerajaan dari saingan utamanya, Baidu. Amir Nawruz berkata, “Tuanku! Berjanjilah, apabila kelak Allah menganugerahkan kemenangan kepada Tuan, sebagai ucapan syukur Anda mesti memeluk agama Islam!” Atas petunjuk dan nasihat Amir Nawruz itulah Ghazan Khan berhasil mengalahkan Baidu dan naik tahta pada tanggal 19 Juni 1295 (4 Sya’ban 644 H). Janjinya untuk memeluk Islam dipenuhi hari itu juga. Bersama 10.000 orang Mongol lain, termasuk sejumlah pembesar dan jenderal dia mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan Syekh Sadruddin Ibrahim, putra tabib terkemuka al-Hamawi.

Setelah empat bulan memerintah, Sultan Ghazan memerintahkan tentaranya menghancurkan kuil Budha, gereja dan sinagor di seluruh kota Tabriz. Di atasnya kemudian dibangun kembali masjid dan madrasah, sebab di tempat yang sama itulah dahulu Hulagu menghancurkan puluhan masdrasah dan masjid yang megah. Dengan berbuat demikian dia telah menebus dosa leluhurnya kepada kau muslimin.

Menurut Edward G. Browne (Literary History of Persia), Vol. II, 1956), dalam sejarah Persia Sultan Ghazan merupakan raja Mongol pertama yang mencetak uang dinar dengan inskripsi Islam. Syariat Islam kemudian kembali ditegakkan dan undang-undang kerajaan diganti dengan undang-undang baru yang bernafas Islam. Pada bulan November 1297 amir-amir Mongol mulai memakai jubah dan surban ala Persia, dan membuang pakaian adat nenek moyangnya. Walaupun perubahan itu menyebabkan banyak orang Mongol yang masih beragama Budha tidak puas, dan terus menerus menyebarkan intrik-intrik dan meletuskan sejumlah pemberontakan, namun pemerintahan Ghazan relatif aman dan mantap. Reformasi lain yang dia lakukan ialah pengurangan pajak dan penyusutan jumlah pelacuran dan lokasinya di seluruh negeri.

Sultan Ghazan wafat pada tanggal 17 Mei 1304 dalam usia 32 tahun disebabkan konspirasi politik yang bertujuan mengangkat Alafrank, putra saudara sepupunya Gaykhatu, sebagai raja Mongol beragama Budha. Kematiannya ditangisi diseluruh Persia. Dia bukan hanya seorang negarawan muda yang bijak dan taat beribadah, tetapi juga pelindung ilmu dan sastra. Dia menyukai seni, khususnya arsitektur, karejinan dan ilmu alam. Dia mempelajari astronomi, kimia, mineralogy, metalurgi, dan botani. Dia menguasai bahasa Persia, Arab, Cina Mandarin, Tibet, Hindi dan Latin. Penggantinya, Uljaytu Khudabanda (1304-1316), meneruskan kebijakannya. Tetapi raja Mongol yang paling saleh ialah Abu Sa’id (1317-1334 M), pengganti Uljaytu. Di bawah pemerintahan Abu Sa’id ini lah orang Mongol Persia menjadi pembela gigih Islam serta pelindung utama kebudayaan Islam.




Penulis: BAHRUM SALEH, M.AG. _ Fakultas Sastra _ Program Studi Bahasa Arab _ USU




0 Response to "Jengiskan dan Hancurnya Sebuah Peradaban"

Post a Comment