Nama aslinya Surono, tapi biasa dipanggil Mbah No. Sejak lama saya sudah mengenalnya. Mungkin sejak duduk di kelas 1 SD, sekitar 15 tahun lalu. Mbah No adalah penarik andong. Maka itulah, ibu meminta Mbah No agar mau mengantar jemput saya sekolah setiap hari. Memang tak hanya saya sendiri, tapi bersama-sama beberapa anak tetangga lainnya yang kebetulan satu sekolah. Tak heran, hampir 3 tahun lamanya, saya selalu naik andong Mbah No.
Saya baru berhenti ketika ayah membelikan saya sepeda BMX. Akan tetapi, selama 3 tahun itu, walau mungkin ada beberapa anak yang selalu bersama saya, tapi saya rasa, sayalah yang paling dekat dengan Mbah No. Mungkin karena rumah kami yang tepat berbelakangan. Jadi, saya selalu dijemput pertama kali dan diantar terakhir kali.
Sungguh, saya menyukai Mbah No. Terutama saat dia bercerita. Termasuk cerita tentang si Pekik, kuda yang selalu mengangkut kami ini. Biasanya sambil bercerita, Mbah No membiarkan saya memegang kendali si Pekik berikut pecutnya sekaligus. Tapi dulu itu, saya tak pernah punya keberanian memecut si Pekik. Saya hanya berteriakteriak menyuruh kuda hitam itu berlari cepat dan Mbah No akan terkekeh di samping saya.
Bagi saya, sepertinya ia sudah menjadi ayah kedua. Mungkin ini berlebihan, tapi banyak kejadian yang membuat pikiran itu terlintas di kepala saya. Seperti saat saya pertama kali berantem, Mbah No-lah yang pertama memeluk saya karena Anton Gendut menonjok mata saya hingga bengkak.
Mbah No juga yang selalu melihat nilai ulangan saya yang jeblok dan mencoba menghibur serta memberi semangat agar lebih giat belajar. Ah..., terlalu banyak cerita saya dengannya! Tak heran, sejak saya tak ikut andongnya pun, saya masih terus berhubungan dengannya. Sering saya menghabiskan waktu di rumah Mbah No, di mana ia tinggal sendirian sejak istrinya meninggal. Saat itu, kami sering mengobrol di dipan kayu sambil minum teh. Sering juga kami memandikan si Pekik bersama-sama. Kejadian ini berlangsung lama, bahkan sampai ketika si Pekik mati pun, saya yang menggali kuburannya di samping rumah Mbah No.
Ah, Mbah No, Mbah No... Saya benar-benar merindukan saatsaat seperti itu!
Kini, saya teringat lagi padanya, bukan karena kejadian itu semua, tapi karena hal yang tidak mengenakkan! Saat ini saya benarbenar merasa bersalah. Sejak saya diterima kerja di hotel terbesar di Solo ini, saya memang jadi jarang bertemu dengan Mbah No. Apalagi sejak 3 tahun yang lalu, kami pindah ke perumahan lain. Jadi, Mbah No makin jauh dari saya.
Terakhir yang saya ingat, ketika saya menyampaikan berita gembira itu sekitar 5 bulan yang lalu. Masih saya ingat sinar mata berbinar Mbah No ketika saya sampaikan tujuan saya datang sore itu. Saat itu saya memang membawa perintah kepala hotel saya untuk menawari pekerjaan kepada Mbah No di hotel kami.
”Jadi andong hotel, Nak Ndjar?” tanyanya dengan sinar tak percaya.
”Iya, Mbah,” saya juga ikut senang. ”Nanti kalau ada turis-turis yang ingin keliling kota, Mbah yang nganter. Ke Klewer, ke keraton, ke Sriwedari, atau ke mana saja. Nanti andong Mbah No akan didandani, seperti andongkeraton. Pakai hiasan-hiasan bagus. Mbah No juga!”
Masih dengan mata berbinar, ditepuk-tepuknya leher si Sekti, kuda pengganti si Pekik ini berulang kali. ”Seperti naik pangkat, Le!” ujar Mbah No bercanda.”Dan yang pasti lagi, Mbah,” tambah saya masih bersemangat,
” Tiap bulan Mbah No dapat gaji tetap! Lumayan, Mbah.”
Sungguh, saya masih ingat kejadian itu. Bagaimana mungkin saya lupa dengan sinar mata berbinar itu? Dan kini, hanya selang 5 bulan kemudian, kejadian yang bertolak belakang akan saya lakukan! Sungguh, sepertinya saya ingin berlari menjauh saja. Saya jadi benar-benar membenci Pak Parto, direktur saya yang baru itu. Juga Pak Kanto, yang seenaknya saja memutuskan kerja sama dengan Mbah No.
”Ndak usah sedih begitu, Le!” Mbah No menepuk-nepuk punggung saya.
”Andjar sudah berusaha membujuk Pak Kanto, Mbah, tapi sulit. Kondisi hotel sekarang memang sedang susah. Bulan-bulan ini, turis-turis hanya beberapa saja yang datang. Jadi....” saya tak bisa melanjutkan.
”Iya, iya, Mbah bisa ngerti, kok!”
Setelah itu, tak banyak pembicaraan di antara kami. Saya yakin Mbah No pasti sedang berpikir kelanjutan cerita ini. Dia pasti akan kembali lagi ke jalan, menunggu penumpang, membawa kulakan-kulakan segede gunung yang berbau, dengan tenaga kudanya yang tua, setua tenaganya sendiri.
Ah, saya benar-benar tak ingin membayangkannya. Setelah memberi pesangon titipan kantor, saya pun berlalu. Dalam hati saya berjanji suatu saat saya akan kembali lagi memanggil Mbah No bekerja di hotel.
Sejak itu, saya tak pernah lagi bertemu dengan Mbah No. Sesekali saya sempatkan mampir, membawakan martabak telor kesukaannya. Namun, tak pernah saya temui dia. Saya pun hanya bisa meninggalkan martabak itu, melalui jendela, di atas dipannya. Sampai akhirnya setelah beberapa bulan lewat, kondisi pun mulai membaik, perlahan-lahan mulai bangkit. Saat rapat pengembangan, saya mulai kembali mengusulkan pengadaan fasilitas andong untuk hotel ini. Dan ternyata ide saya diterima dengan baik. Maka siang itu juga, saya segera pergi ke rumah Mbah No. Tetapi, tak saya temui Mbah No di sana. Saya coba cari di pangkalan. Tapi, tak juga ada. Akhirnya, terpaksa saya tunggu. Sekitar satu jam kemudian, Mbah No saya lihat muncul di belokan gang itu.
”Eh, kamu, Le,” sapanya begitu dekat, ”Sudah lama menunggu?” Saya mengangguk,
”Iya lumayan, Mbah. Tapi...’ mata saya berputar ke sekeliling,
”Mana Sekti, Mbah? Kok, Mbah No pulang dengan jalan kaki?”
”Oooh, itu,” Mbah No terkekeh sesaat, tapi saya merasa aneh mendengar kekehnya itu, seperti terlalu dipaksakan. Saya tunggu ia menuangkan air minum dari kendi.
”Sekti sudah Mbah jual,” ujarnya setelah meneguk airnya, ”Dia sudah tua, kemarin ngangkat kapuk beberapa kilo saja sudah klenger. Sebelum nanti mati di jalan, biar Mbah jual duluan saja. Lumayan, masih ada yang beli dengan harga tinggi...”
Yudhi Herwibowo