Perkembangan Pemerintahan Kolonial Eropa


Banyak perubahan yang terjadi di masyarakat Indonesia setelah kedatangan bangsa Eropa. Pada bidang politik terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan kerajaan. Sebelum kedatangan bangsa Eropa di Indonesia, sistem pemerintahan, struktur birokrasi, dan sistem hukum yang berlaku adalah sistem “pemerintahan tradisional” yang berbentuk kesultanan atau kerajaan.

Struktur birokrasi teratas dipegang oleh sultan atau raja, kemudian dibantu oleh orang-orang terdekat (keluarga sultan/raja), penasehat kerajaan, patih, menteri, dan panglima. Mereka itu kebanyakan berasal dari golongan ningrat atau kerajaan. Sistem tersebut merupakan bentuk birokrasi yang menuntut ketaatan penuh dari rakyat kepada pemimpinnya (raja/sultan dan para pembantunya).




Sejak Kolonial menanamkan kekuasaannya di Indonesia, kekuasaan pribumi tradisional yang berada di bawah seorang raja atau sultan sedikit demi sedikit mulai dihapus dan akhirnya hilang sama sekali. Kekuasaan mulai berganti kepada tangan Kolonial.

Raja-raja diangkat dan diberhentikan berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Kolonial. Setiap penguasa lokal yang diangkat dan diberhentikan oleh Kolonial pada dasarnya telah terikat oleh kontrak politik yang menyatakan bahwa daerah yang mereka kuasai harus diakui sebagai bagian dari kekuasaan Kolonial Belanda.  Begitu pula dengan para Bupati dan Lurah, mereka dijadikan sebagai pegawai negeri yang mendapat gaji dan harus taat terhadap setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintahan Kolonial.

Dalam kondisi yang demikianlah, wibawa seorang raja, sultan, bupati, dan juga lurah menjadi merosot di mata rakyat. Mereka dipandang lemah dan tidak mempunyai kekuatan sehingga mereka menjalankan pemerintahan sesuai dengan keinginan pemerintah Kolonial.

Menurut bangsa Eropa, para penguasa pribumi tidak bisa memerintah yang pantas memerintah itu adalah bangsa Eropa. Struktur masyarakat berubah setelah sistem baru diterapkan oleh kolonialis Eropa tersebut. Pada kerajaan, posisinya sebagai lembaga yang paling tinggi harus tunduk pada pemerintahan kolonial yang sedang berkuasa.

Dengan demikian, kedudukan dan kewibawaan raja digeser oleh penguasa baru, yaitu bangsa Eropa. Abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, Indonesia sudah dikuasai pemerintahan kolonial Belanda. Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang dijalankan adalah sistem pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Kekuasaan tertinggi dipegang dan diatur oleh pemerintahan Kerajaan Belanda. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu Pemerintah Hindia Belanda banyak menggunakan jasa pihak pribumi.

Dalam pelaksanaan struktur pemerintahan dari atas ke bawah, Belanda membentuk bentuk pemerintah, yaitu:
  1. Pemerintahan zelfbestuur, yaitu kerajaan yang berada di luar struktur pemerintahan kolonial.
  2. Pemerintahan yang dipegang oleh orang-orang Belanda di dalam negara jajahan disebut dengan Binenland Bestuur (BB), antara lain Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, dan Controleur
  3. Pemerintahan yang dipegang oleh kaum pribumi yang dinamakan dengan Pangreh Praja (PP). Pejabat yang duduk dalam PP adalah Bupati, Patih, Wedana, dan Asisten Wedana. 
Berdasarkan struktur birokrasi di atas, bupati diangkat oleh gubernur jenderal atas rekomendasi dari residen dan asisten residen. Sebelum kolonialis berkuasa, para bupati itu awalnya adalah raja yang dipilih dan diangkat berdasarkan keturunan, terutama diambil dari anak laki-laki pertama dalam keluarga, tetapi kemudian sesuai dengan perkembangan kekuasaan pemerintahan kolonial, pengangkatan bupati dilengkapi dengan beberapa persyaratan, terutama persyaratan pendidikan.