”Bu, saya bingung,” katanya begitu pintu dibuka.
”Ada apa? Kalimat majemuk lagi, ya?” godanya.
”Ah, Ibu,” rengeknya manja.
Bu Guru kita membelainya, mengajaknya duduk di kursi plastik hijau.
”Ada apa, sih, Nona Manis?”
”Saya bingung.”
”Bingung apa?”
Ninin diam saja, seolah ragu.
Muridnya yang satu ini memang begitu dekat dengannya. Dia anak kelas II-C di SMP tempatnya mengajar.
”Ibu tahu si Tony?” tanyanya malu-malu.
Sejenak Bu Guru kita terkejut, tetapi secepat itu pula tersenyum, bahkan akhirnya tertawa renyah sekali lewat penuturan gadis kecilnya ini. Oh, alah Ninin, Ninin. Dan memang itulah yang ingin diutarakan. Tony mengiriminya surat, sebenarnya bukan surat, hanya kartu kecil bertuliskan sesuatu.
”Apa, sih, maunya, Bu?” tanyanya beberapa saat kemudian.
”Mau Ninin apa?” balik Bu Guru kita sambil tersenyum.
Ninin diam lagi, wajahnya tunduk.
Bu Guru kita tersenyum dalam hati. Hari ini ulangan Bahasa Indonesia. Hari ini mereka harus membuat karangan singkat. Mengarang tentang apa saja yang dapat mereka ungkapkan. Mereka harus dapat berkata lewat tulisan. Mereka harus dapat jujur pada diri sendiri dengan menulis. Ah, anak-anak manis.
Hari ulang tahun Ibu Guru kita dan dia mendapatkan hadiah istimewa: muridnya dapat mengarang dengan tenang.
Hari-hari di kelas dilaluinya dengan gairah kerja dan suka-ria bersama anak-anak itu. Tiga puluh lima semuanya, dan dia hafal betul seorang demi seorang karena dialah wali kelas mereka. Dari Amy Suryaningsih, si pemalu yang sederhana, anak seorang pengusaha terkenal, sampai Zamroni si hitam bandel; dia ketua kelas karena yang paling besar badannya. Dia hafal dan ingat bagaimana tingkah, celetuk, dan canda mereka.
Ruang kelas saat itu hening sekali. Bu Guru kita duduk di kursi di depan mereka. Memandang sudut kiri tempat si Yusak duduk. Bu Guru kita tersenyum ketika melihat Yusak menggaruk kepalanya karena ketika digaruk, sobekan kertas kecil-kecil berlompatan dari gumpalan rambutnya yang keriting. Anehnya, Yusak tak menyadari itu semua. Anak kelahiran sebuah desa kecil di daerah Kepala Burung itu kembali tekun menuliskan kata-katanya. Itu pasti ulah si Budina atau Lucy karena mereka berdualah yang akrab dengan Yusak.
Di sebelahnya duduk Biko. Nama sebenarnya adalah Ahmad Zainuri, entah bagaimana asal mulanya namanya berubah menjadi Biko. Ah, rasanya aku ingat! Kata Bu Guru kita. Kalau tak salah nama Biko muncul setelah ulang tahun Amy tiga bulan lalu. Waktu itu kawan-kawan sekelas diundang datang makan siang. Amy mempunyai seekor burung Betet yang sudah sangat jinak. Begitu jinaknya si Betet ini sehingga dibiarkan lepas bebas berjalanjalan di dalam rumah. Pintu sang-karnya yang dari besi itu selalu terbuka lebar sehingga si Betet dapat ke luar masuk kapan saja. Tubuh burung itu agak bulat, warnanya hijau, paruhnya yang pendek membuat langkahnya menjadi lucu, apalagi jika diberi makanan, ia buru-buru, maka langkahnya jadi kian menggelikan; megal-megolseperti entok. Anehnya hari itu si Betet tidak mau didekati siapa pun, termasuk Amy. Tetapi, lebih aneh lagi, kepada Ahmad Zainuri dia mau, bahkan bertengger manja di pundaknya
”Lihat, cuma kepadaku dia mau. Habis, kalian belum mandi!” katanya bangga, dan berdiri tegak mirip si Buta dari gua hantu. Anak-anak dan Bu Guru kita tertawa.
”Ya, sudah karena dia jinak sama kamu, sekalian saja pakai namanya,” goda Amy sambil tersenyum.
”Siapa namanya?” tanya Ninin sengaja memancing tawa.
”Biko!”
Gelak tawa memenuhi ruangan besar itu. Ahmad Zainuri hanya cengar-cengirsalah tingkah, sementara si Betet agaknya senang; menjerit-jerit dengan suaranya yang parau. Sejak hari itu dia dipanggil Biko. Bu Guru kita tersenyum kecil. Sunggingan senyumnya manis sekali. Tetapi, secepat itu pula dia telan bulat-bulat. Apa jadinya jika ketika itu ada murid-muridnya yang tahu dirinya tersenyum seorang diri.
Dilihatnya pula si cantik Amy agak diganggu oleh bolpoinnya. Beberapa kali digosok-gosokkannya bolpoin itu pada kertas. Agaknya tintanya habis. Dia melihat ke kiri ke kanan. Pasti cari pinjaman; kata Bu Guru kita dalam hati. Kemudian, didekatinya Amy dan dipinjamkannya bolpoinnya. Amy menerimanya dengan malu-malu. Amy, Amy,… ke mana bolpoinmu yang lain nona manis? Oh, tentu kau pinjamkan pada Ninin atau si ceking Ramadan, biasanya memang mereka yang sering pinjam, kan? Dan kini kau pinjam dariku, Bu Guru kita tertawa dalam hati. Amy dulu pernah bercerita padanya tentang keluarganya. Dikatakannya bahwa ia Amy agak diganggu oleh bolpoinnya. Agaknya tintanya habis. tak betah di rumah, dia lebih senang tidur di rumah eyang di Pasar Minggu karena di sana dia dapat tenang dan tenteram tidak kesepian seperti di rumah orang tuanya.
”Amy takut sepi?” tanya Bu Guru kita waktu itu.
”Sepi, sih, tidak, Bu, tap ... Ah, pokoknya nggakenak. Papa memang sering bicara ketika kami semeja makan, tapi .... Pokoknya nggak enak!”
”Apa Amy nggak dapat cerita dengan santai pada Papa atau Mama?”
”Ya, lagi pula Amy harus turut apa kata Papa.”
”Takut,sih, tidak, tapi… Sebenarnya Amy kasihan pada Papa, Bu. Mas Tomy sering pergi dan bertengkar dengan Papa, karenanya Papa sering sakit, Bu, Tapi ....”
”Bu Guru tahu, Amy sayang pada Papa, dan Papa Amy juga sayang pada Amy dan Mas Tomy, hanya saja Amy belum mengerti benar apa yang Papa Amy maksudkan. Yang penting, Amy jangan melawan apalagi bertengkar seperti Mas Tomy. Ibu sarankan sekalisekali ajak Papa Amy piknik.”
”Uuh, mana pernah sempat! Berangkat kerja bareng dengan Amy, pulang kerja sering kali sudah jam sepuluh malam. Minggu ada urusan, Sabtu juga ada urusan, Mama juga begitu.” Bu Guru kita diam, seolah Amy adalah dirinya di masa lalu. Tentu saja orang tua Bu Guru kita tak sekaya orang tua Amy. Dulu Bu Guru kita juga mengalami hal seperti itu. Tak ada tempat mencurahkan perasaan hati selain si Popy, bonekanya. Tiap hari, apalagi jika hari libur, sepanjang hari Bu Guru kita bermain dengan si Popy. Bercerita, menyanyi, menangis, tertawa, semuanya hanya Popy yang tahu. Sejak saat itu, Bu Guru kita membangun dunianya sendiri, dunia yang akrab tanpa banyak kata-kata terhambur; dunia kesendirian yang tenang.
”Nilai-nilaimu bagus, tes IQ-mu memuaskan. Papi sarankan kamu masuk kedokteran.” Padahal waktu itu dia baru saja lulus SMP. Itu artinya Bu Guru kita di SMA harus lebih giat belajar supaya kelak menjadi dokter seperti saran Papi. Tetapi apa hendak dikata, ujian saringan perguruan tinggi tidak meluluskannya dan Bu Guru kita gembira, tetapi sekaligus sedih, karena melihat Papi begitu terpukul. ”Pi,” katanya suatu malam, ”boleh Ita bicara?” Bu Guru kita, waktu itu, melihat wajah Papinya berubah. Wajah itu seolah tak percaya bahwa yang berbicara di depannya adalah anaknya, anaknya yang nomor dua, Dwita! Sorot mata Papi lain sekali. Jika selama ini Papi menganggap anaknya anak bawang, kini Papi terkejut melihat kenyataan anaknya telah gadis dan berani berbicara seperti itu.
”Tentu, kamu mau bicara apa?” kata Papi lembut sekali. Dan semuanya begitu lancar terurai, meluncur lewat lima tahun lalu. Kini Bu Guru kita tengah menghadapi murid-muridnya ulangan. Kini Bu Guru kita tengah menikmati dunia yang sedikit demi sedikit dibangunnya itu. Dunia yang penuh bunga-bunga yang mulai bermekaran, ceria, nakal, dan, ah, anak-anak. Amy manis, kau juga pernah bilang pada Ibu bahwa kau ingin jadi insinyur lapangan terbang, seperti oom, ah, siapa oom-mu yang
sering kauceritakan itu? Ah, sudahlah!
”Sudah selesai?” tanya Bu Guru kita memecah keheningan. Kelas pecah, keluhan meletup di sana-sini. Gelisah mulai menggeliat di siang itu.
”Baik, Ibu beri waktu lima menit lagi.” ”Huuuu…!” Itu pasti suara Yusak.
”Baik, Ibu beri waktu lima menit lagi.” ”Huuuu…!” Itu pasti suara Yusak.
Bu Guru hanya tersenyum kecil. Si kriting krupuk itu, begitulah kawan-kawan sekelas menjulukinya, memang, selalu begitu. Padahal, sering kali dia sudah selesai mengerjakan tugasnya. ”Baik, kumpulkan!” perintah Bu Guru kita tegas, lima menit kemudian. Tak ada suara. Zamroni dengan cekatan mengumpulkan kertas ulangan dan menumpukkan di meja. Kelas kembali sunyi. Bu Guru kita agak heran melihat seolah menunggu sesuatu. ”Kalian boleh pulang,” perintahnya sambil masih memandangi murid-muridnya. Seisi kelas hanya tersenyum, sambil pandang sesama mereka. ”Ada apa?” Bu Guru kita tersenyum heran. Kemudian mengemasi kertas ulangan. Terbaca olehnya judul karangan milik Ninin ”Ulang Tahun Guruku”. Kelas mulai hidup oleh gelak-gelak kecil tawa mereka. Lembar kedua dibacanya, ”Ulang Tahun Nih, Yee ....” Tulisan Yusak. Kelas makin hidup. Bu Guru gugup, segera dibacanya lembar-lembar ulangan itu, dan, ya, Tuhan! Semua bertuliskan…. ”Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya Bu Guru kita, Bu Guru kitaaa,… dan bahagia…” Mereka menyanyi dan bertepuk tangan. Di luar sana tak ada hujan, bahkan mendung pun tidak, tetapi Dwita Fajarini, Bu Guru kita, pipinya basah, matanya pun begitu.
Yanusa Nugroho