Sejak abad ke-18 hingga ke-20, Dunia Islam mengalami periode pergolakan dan pembaharuan yang berkepanjangan. Kaum muslim berjuang mengatasi kemunduran masyarakatnya, dampak kolonialisme Eropa, persaingan adidaya Amerika Serikat dan Uni Sovyet, dan merespons tatangan intelektual dan moral dunia yang sedang berubah.
Pada abad ke-19, di beberapa bagian dunia Islam terjadi serangkaian gerakan kebangkitan, seperti Wahabiyah di Arab Saudi, Mahdiyah di Sudan, Sanusiyah di Libia, Fulani di Nigeria dan Padri di Indonesia. Namun berbeda dalam hal-hal gerakan, namun memiliki semangat yang sama yaitu merupakan gerakan yang diilhami oleh keprihatinan terhadap kondisi dan nasib kaum muslimin, dan sama-sama yakin bahwa obatnya adalah berupa pemurnian masyarakat dan jalan hidup masyarakat dengan cara kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pada abad modern ini, gerakan modernisme Islam menjawab tantangan intelektual dan politik hegemoni Barat. Terdorong untuk menjembatani jurang antara warisan Islam dan kemodernan. Pada satu sisi, Islam mengilhami gerakan nasionalisme di satu Negara, dan pada sisi lain mendorong bangkitnya modernisme Islam
Dalam tradisi intelektual Islam, pendidikan telah lama dikenal yaitu sejak awal Islam. Pada masa awal, pendidikan identik dengan upaya dakwah Islamiyah, karena itu pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan agama itu sendiri (Fazlur Rahman, 1997 : 263), menyatakan bahwa kedatangan Islam membawa untuk pertama kalinya suatu instrumen pendidikan tertentu yang berbudayakan agama, yaitu Al-Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi. Tetapi, perlu dipahami bahwa pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja pendidikan formal yang sistematis berlum terselenggara.
Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan bersifat informal, dan inipun lebih berkait dengan upaya da’wah Islamiyah - penyebaran, penanaman dasar-dasar kepercayaan, dan ibadah Islam. Dalam kaitan itulah dapat dipahami kenapa proses pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah, dan yang paling terkenal Dar al-Arqam, dan ketika masyarakat Islam sudah terbentuk, pendidikan diselenggarakan di mesjid dan proses pendidikan pada kedua tempat ini dilakukan dalam halaqah, lingkaran belajar.
Tradisi belajar yang telah ada pada masa Nabi terus berkembang pada masa-masa sesudahnya, dan sebagaimana tercacat dalam sejarah bahwa puncak kemajuannya tercapai pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun yang berpusat di Bagdad, dan pada masa kejayaan ‘Usmaniyah di Spanyol dan Cordova yang berlangsung sekitar delapan abad [711-1492 M] kemudian sistem pendidikan Islam itu diperluas dengan sistem madrasah yang mencapai puncaknya pada Madrasah Nidzamiyah yang didirikan di Bagdad oleh Nizam al-Mulk. Pendidikan Islam pada waktu itu telah melahirkan cendekiawan-cendekiawan Muslim yang berkaliber dunia, yang dikenal sampai sekarang ini, maka secara epistemologi Noeng Muhajir sangat argumentatif berkesimpulan bahwa Yunani adalah induk ilmu murni dan Islam adalah induk teknologi.
Pada awal mula tersebarnya ilmu pengetahuan Islam berpusat pada individu-individu dan bukannya sekolah-sekolah. Kandungan pemikiran Islam juga bercirikan usaha-usaha individual yaitu tokoh tokoh istimewa tertentu, yang telah mempelajari hadits dan membangun sistem-sistem teologi dan hukum mereka sendiri di seputarnya, kemudian menarik murid-murid dari daerah lain yang mau menimba ilmu pengetahuan dari mereka. Ciri utama pertama dari ilmu pengetahuan tersebut adalah pentingnya individu guru, karena sang guru setelah memberikan pelajaran seluruhnya, secara peribadi memberikan suatu sertifikat (ijazah) kepada muridnya untuk mengajar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada akhir abad pertengahan, mayoritas ilmuwan-ilmuwan yang termasyhur dan berkaliber dunia bukanlah produk madrasah-madrasah, tetapi merupakan bekas-bekas murid informal dari guru-guru individual tertentu. Sebagai contoh, bila akan menulis riwayat pemikir-pemikir yang besar dan orisinal dalam Islam, pasti tak akan banyak menemukan totoh-tokoh keluaran madrasah.
Pada bagian lain ditemukan bahwa berkembangnnya ilmu dan semangat ilmiah dari abad ke-9 sampai abad ke-13 di kalanngan umat Islam berasal dari terlaksananya perintah Al-Qur’an untuk mempelajari alam semesta, karena karya Allah tersebut memang diciptakan untuk kepentingan manusia,. Pada abad-abad pertengahan akhir, semangat penyelidikan di dunia Islam mengalami kemacetan dan merosot, sedangkan dunia Barat telah melaksanakan kajian-kajian yang sebagian besar dipinjam dari ilmuan-ilmuan Muslim, sehingga mereka menjadi makmur, dan maju bahkan menjajah negeri-negeri Muslim. Dengan dasar ini, umat Islam dalam mempelajari ilmu baru dari dunia Barat yang maju, berarti meraih kembali masa lampau mereka dan sekaligus untuk memenuhi sekali lagi perintah-perintah Al-Qur’an yang terlupakan.
Sebagai respon terhadap perkembangan zaman yang tengah berubah, serta kesadaran untuk mengatasi kondisi umat pada waktu itu, kemudian muncul berbagai gerakan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Islam saat itu.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan salafiah yang pernah menjabat sebagai menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi. Muhammad bin Abdul Wahhab berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam; para pendukung pergerakan ini sering disebut wahabbi, tetapi mereka menolak istilah ini karena pada dasarnya ajaran bin Wahhab adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajarannya sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti “satu Tuhan”. Salah satu kitab karya Abdul Wahhab yang terkenal yaitu “Kitab at-Tauhid” yang mengulas tentang kemusyrikan, khurafat dan takhayul serta bid’ah di kalangan kaum muslimin. Pengikut ajaran Abdul Wahab disebut kelompok wahabiatau muwahidun, atau “Al-Muslimun”. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab.
Muhammad bin Abdulwahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd). Jamaludin al-Afghani lahir di Asadabad tahun 1838 M dan wafat di istanbum tahun 1897 M. Pembaharuan yang dilakukan al-Afghani diantaranya yaitu (1) untuk meraih kemajuan dan kemenangan, umat Islam harus memahami Islam dengan rasio dan kebebasan, (2) kaum wanita harus memiliki peran yang sama dengan kaum pria, (3) perlu ada perubahan kepemimpinan dari sifat otokrasi ke demokrasi, bahkan dalam pandangan al-Afghani Islam menghendaki pemerintahan republic yang didalamnya kebebasan berpendapat dan kewajiban Negara untuk tunduk kepada undang-undang, (4) pentingnya Pan-Islamisme, yaitu persatuan dan kerjasama seluruh umat Islam harus diwujudkan, karena persatuan adalah di atas segalanya.
Muhammad Abduh (1849-1905 M), adalah murid dan kawan dari Jamaluddin Al-Afghani, yang turut memperjuangkan Islam sebagai gerakan politik. Karya Abduh yang terkenal, diantaranya yaitu Kitab Tauhid yang berisis penjelasan mengenai doktrin agama secara rasional.
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), adalah penulis karya Tafsir Al-Manar, yang merupakan lanjutan dari pemikiran Abduh. Kitab ini pun merupakan salah satu karya seorang muslim yang menggunakan pemahaman-pemahan rasional dan modern.
Menjelang abad 20, muncul Muhammad Iqbal (1877-1938). Dia adalah penyair, budayawan, filosof dan pemikir Islam terkenal dari Pakistan, bahkan diposisikan sebagai salah satu pendiri Negara Pakistan. Dengan menggunakan bahasa Persia dan Urdu sebagai bahasa yang digunakan dalam karya-karyanya, Muhammad Iqbal dikenal sebagai penyair dan filosof dunia. Karya sastranya sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggeris dan Arab.
Ali Shariati (1933–1977) adalah seorang sosiolog Iran yang terkenal dan dihormati karena karya-karyanya dalam bidang sosiologi agama. Shariati dilahirkan pada 1933 di Mazinan - Iran. Ayahnya seorang pembicara nasionalis progresif yang ikut serta dalam gerakan politik anaknya. Sudah semenjak muda, Shariati bergaul dengan orang-orang muda yang berasal dari golongan ekonomi lemah, dan untuk pertama kalinya ia melihat kemiskinan dan kehidupan yang berat yang ada di Iran pada masa itu. Di samping itu, iapun belajar pemikiran filsafat dan politik Barat, dan banyak mengkaji karya Moulana Rumi dan Muhammad Iqbal.
Ia mendapatkan gelar kesarjanaannya dari Universitas Mashhad, dan memperoleh gelar doktor dalam filsafat dan sosiologi pada 1964 dari Universitas Paris. Lalu ia kembali ke Iran dan langsung ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Kekaisaran Iran yang menuduhnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan subversif politik ketika masih di Prancis. Ia akhirnya dilepaskan pada 1965, lalu mulai mengajar di Universitas Mashhad. Kuliah-kuliahnya kembali sangat populer di antara mahasiswa-mahasiswanya dan akibatnya berita menyebar dari mulut ke mulut hingga ke semua sektor ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah dan atas yang mulai tertarik akan ajaran-ajaran Shariati.
Pihak Kekaisaran kembali menaruh perhatian khusus terhadap keberhasilan Shariati yang berlanjut, dan polisi segera menahannya bersama banyak mahasiswanya. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan seruan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan negara, SAVAK, juga mengamati setiap gerakannya dengan cermat. Shariati menolak syarat-syarat ini dan memutuskan meninggalkan negaranya dan pergi ke Inggris. Tiga minggu kemudian, pada 19 Juni 1977, ia dibunuh. Muncul spekulasi bahwa ia dibunuh entah oleh agen-agen SAVAK atau oleh para pendukung Ayatollah Khomeini yang terlalu fanatik, yang terkenal sebagai penentang keras sikap Shariati yang revolusioner dan mendukung nilai-nilai egalitarian. Shariati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di masa pra-revolusi. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian, khususnya di antara mereka yang menentang rezim Republik Islam
Pada masa pembaharuan jumlah penduduk muslim berkembang terus dan menyebar ke seluruh pelosok dunia. Umat Islam berkembang di daerah Asia, Afrika dan Juga Eropa serta benua Amerika. Beberapa Negara di Timur Tengah, memiliki jumlah penduduk beragama Islam lebih dari 90 %, yaitu Arab Saudi, Mauritania, Sahara barat, Maroko, Aljazair, Tunisia, Libia, Mesir, Somalia, Turki, Irak, Yordania, Yaman, Oman, Qatar, Bahrain, Iran,Afghanisrtan dan Pakistan.
Perkembangan Islam pada Abad Modern
Ada beberapa Negara, yang memiliki jumlah penduduk umat Islam sekitar 50 – 90 % dari total warga negaranya. Diantaranya yaitu Negara Tanzania (Afrika), Turkemenistan, Uzbekistan, Kirghistan, Tajikistan, Bangladesh, Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei, Kepulauan Mindanau – Filipina. Sementara Negara yang ada umat islamnya antara 10-50 % yaitu Negara Guinea (Afrika), Albania, Suriah, India, China dan Myanmar.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Modern
Pada masa pembaharuan, perkembangan ilmu pengetahuan mengalami kemajuan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai Negara, seperti Turki, India dan Mesir.
Muhammad Ali, penguasa Mesir tahun 1805-1849 M, mengirim mahasiswa untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi ke Prancis. Setelah kembali ke Mesir, mereka mengajar di berbagai perguruan tinggi terutama di Universitas Al-Azhar. Karena mahasiswa yang kuliah di alAzhar itu bukan hanya mahasiswa Islam dari Mesir, namun dari berbagai Negara maka perkembangan ilmu pengetahuan itu dapat menyebar dengan pesat ke berbagai Negara Islam lainnya.
Muhammad Husein Haikal (1888-1956), adalah wartawan, sastrawan dan pengarang Mesir terkenal. Karya tulisnya yang berjudul Sejarah Hidup Nabi Muhammad saw (Hayatu Muhammad) merupakan karya terkenal di dunia Islam. Haikal pun diposisikan sebagai salah satu penulis prosa atau cerita pendek dan kritik sastra yang kritis.
0 Response to "Perkembangan Islam pada Abad Modern"
Post a Comment