Pasa tinggal di sebuah kota kecil. Ia seorang pelukis yang
hidup tanpa anak istri. Dari hasil penjualan lukisan ia membiayai hidupnya. Pada suatu hari Pasa kehabisan uang, sementara lukisannya
telah habis terjual. Namun, ia ingat pada lukisan kesayangannya. Lukisan ini
satu-satunya yang masih ia punyai. Lukisan pemandangan sebuah dusun. Beberapa hari lalu seorang hartawan bermaksud membeli
lukisannya. Kalau lukisan itu kutawarkan pasti ia mau membayarnya. Tapi
haruskah lukisan itu kujual, pikirnya bingung. Ia belum bisa memutuskan.
Lukisan itu mengingatkannya pada seseorang. Pasa membuat
lukisan ini di sebuah dusun kecil. Di tempat ini ia sempat akrab dengan
seorang anak yatim piatu. Bahkan, ia bermaksud mengangkat anak ini sebagai anak
angkatnya. Tapi sebelum ia mengutarakan keinginannya anak itu
menghilang. Padahal ia hendak meneruskan perjalanannya. Meski ia telah menunda
perjalanannya beberapa hari, anak itu tetap tak muncul. Akhirnya dengan berat hati
Pasa meninggalkan dusun itu. Sejak itu ia tak pernah berjumpa lagi dengan anak itu.
Pasa akhirnya memutuskan menjual lukisannya. Ia memang
sangat memerlukan uang. Juga, dengan demikian ia bisa melupakan kenangannya
pada anak lelaki itu. Pasa lalu membungkus lukisannya. Keesokan harinya Pasa berangkat ke rumah hartawan itu yang
tinggal di kota lain. Pasa mesti melewati hutan dan jalan setapak.
Pada saat tiba di hutan seseorang mencegat Pasa. Orang ini
menutup wajahnya dengan sehelai kain. Ada sebuah pedang panjang di tangannya.
Sikap orang ini nampak mengancam.
“Serahkan harta atau nyawa!” bentak orang itu. Tanpa perlu
bertanya Pasa tahu maksud orang ini.
“Saya tak membawa uang banyak, juga tak
punya barang berharga. Selain lukisan ini, tak ada barang lain yang kupunya.”
Orang itu tak percaya begitu saja. Ia menggeledah tubuh Pasa
sambil menodongkan senjatanya. Pasa cuma bisa pasrah dan menurut. Karena tak
menemukan barang berharga, orang itu kemudian merobek pembungkus lukisan
Pasa.
Melihat lukisan ini orang itu terkejut. Sesekali ia melirik
Pasa dengan pandangan tak percaya.
“Apa Bapak yang melukis lukisan ini?” suaranya berubah
ramah.
“Benar, memangnya ada apa?”
“Apa Bapak lupa pada saya?” orang itu membuka penutup
wajahnya.
“Saya anak yatim piatu yang pernah tinggal dalam lukisan Bapak ini. Saya sudah lama mencari Bapak …”
Keterangan ini mengejutkan Pasa. Setelah mengamati beberap
lama, ia akhirnya yakin yang berdiri di depannya. Ya, anak yatim
piatu kini telah dewasa. Tapi diam-diam Pasa kecewa. Kenapa pertemuan ini terjadi dalam
peristiwa yang tak menyenangkan?
“Mengapa kamu sampai jadi perampok?” Tanya Pasa pada Mio,
pemuda yatim piatu itu.
“Semua bermula saat saya pergi mencari Bapak,” Mio memulai
ceritanya.
“Setelah mendengar maksud Bapak, saya berusaha menemukan Bapak. Di
tengah perjalanan saya bertemu seseorang. Pada mulanya nampak baik, dan
bersedia menolong mencari Bapak. Sampai akhirnya saya tahu, kalau orang itu
seorang perampok. Ia memaksa saya tinggal bersamanya. Oleh karena lama hidup
dengan orang ini, saya