Kaum Ansar adalah penduduk asli kota Madinah yang menyambut kedatangan kaum Muhajirin dengan suka cita. Kedatangan kaum Muhajirin dan Nabi Muhammad saw. sangat dinanti-nanti oleh kaum Ansar. Kaum Ansar sangat merindukan seorang pemimpin yang adil dan bijaksana seperti Nabi Muhammad saw.
An-Nu’man Ibnu Ajlan Al-Anshari berkata, “Kami pun menyambut kaum Muhajirin seraya berkata, ‘Selamat datang dan hidup bersama kami. Sungguh, kalian akan aman dari kefakiran karena kami akan membagi harta dan rumah kami untuk kalian.”
Begitulah yang terjadi. Kaum Ansar menjamin tempat tinggal bagi kaum Muhajirin. Kaum Ansar secara ikhlas menyerahkan rumah-rumah mereka untuk kaum Muhajirin. Ada juga yang menampung kaum Muhajirin untuk tinggal di rumah-rumah mereka. Mereka berebut tidak mau kehilangan pahala. Bahkan, mereka mengadakan undian agar kesempatan memberi bantuan berjalan dengan adil.
Ummu Ala’, seorang wanita Anġar yang telah membai’at Rasulullah saw., mengabarkan ke Kharijah Ibn Zaid Ibn Tsabit bahwa Utsman Ibn Mazh’un tinggal di rumah-rumah kaum Ansar secara bergantian.
Kaum Ansar juga membagi hasil panen mereka kepada kaum Muhajirin. Mereka mengusulkan kepada Rasulullah untuk membagikan separuh hasil panen kebun-kebun korma mereka, namun Rasulullah meminta agar mereka memberi kaum Muhajirin untuk turut serta merasakan hasil panen mereka seperlunya saja.
Bahkan, kaum Ansar sempat ingin menghibahkan setiap kelebihan mereka kepada Rasulullah saw. “Jika engkau menghendaki, ambillah rumah-rumah kami,” kata mereka kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw. membangun tempat tinggal untuk para sahabatnya di tanah-tanah yang telah dihibahkan kaum Ansar dan menetapkan tanah itu bukan milik siapa pun.
Kaum Ansar juga membagi hasil panen mereka kepada kaum Muhajirin. Mereka mengusulkan kepada Rasulullah untuk membagikan separuh hasil panen kebun-kebun korma mereka, namun Rasulullah meminta agar mereka memberi kaum Muhajirin untuk turut serta merasakan hasil panen mereka seperlunya saja.
Bahkan, kaum Ansar sempat ingin menghibahkan setiap kelebihan mereka kepada Rasulullah saw. “Jika engkau menghendaki, ambillah rumah-rumah kami,” kata mereka kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw. membangun tempat tinggal untuk para sahabatnya di tanah-tanah yang telah dihibahkan kaum Ansar dan menetapkan tanah itu bukan milik siapa pun.
Kaum Ansar juga banyak memberi bantuan material kepada kaum Muhajirin. Mereka menyerahkan semua itu kepada Rasulullah saw. untuk dibagikan sekehendak beliau kepada kaum Muhajirin. Anas ibn Malik berkata, seseorang dari kaum Ansar memberikan pohon-pohon korma yang telah siap panen kepada beliau. Lalu beliau memberikan semua itu kepada pembantunya, Ummu Aiman, ibunda Usamah bin Zaid.
Kedermawanan dan kemurahan hati kaum Ansar nampak pula dalam seringnya mereka memberikan hadiah pada kaum Muhajirin. Makramah ibn Sulaiman mengatakan, “Mangkok besar Sa’ad selalu berada di hadapan Nabi Muhammad saw. sejak pertama kali beliau tiba di Madinah hingga beliau wafat. Selain Sa’ad ibn Ubadah, masih banyak kaum Ansar yang melakukan hal serupa. Bahkan, para sahabat Rasulullah juga senantiasa saling memberi.”
Sa’ad ibn Rabi’ah adalah seorang Ansar. Sementara Abdurrahman ibn ‘Auf adalah seorang Muhajirin. Suatu ketika Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Aku adalah orang terkaya dari kaum Ansar. Karenanya aku akan membagi separuh hartaku kepadamu. Aku juga memiliki dua isteri, maka pilihlah mana yang paling menarik untukmu di antara keduanya. Sebutkan namanya, maka aku akan mentalaknya. Jika ‘iddahnya sudah habis, nikahilah dia!”
Tawaran itu dijawab Abdurahman, “Semoga Allah memberkahimu atas keluarga dan hartamu. Namun, cukuplah engkau tunjukkan kepadaku di manakah pasar kalian berada.” Lalu kaum Ansar menunjukkan kepada Abdurrahman pasar Bani Qainuqa. Begitulah, akhirnya Abdurrahman selalu kembali dari pasar itu dengan membawa keuntungan dari berjualan minyak samin dan keju.
Rasa kesetiakawanan yang dimiliki kaum Ansar begitu mengagumkan. Adanya solidaritas, persahabatan, dan kebersamaan seperti yang mereka lakukan. Bahkan, diatas semua yang telah diberikan, mereka tidak menuntut kembali apa-apa yang telah mereka hibahkan. Hal itu terbukti saat pasukan Rasulullah saw. berhasil mengusir Bani Nadhir dari Madinah. Kaum Ansar tidak mendapat bagian dari rampasan perang sedikitpun.
Ummul A’la Al-Anshari meriwayatkan, ketika mendapatkan rampasan perang dari Bani Nadhir, Rasulullah saw. memanggil Tsabit ibn Qais. “Datangkanlah kaummu kepadaku,” kata Rasululllah saw. Tsabit bertanya, “Kaum Khazraj-kah?” “Seluruh kaum Ansar!” tegas Rasulullah saw.
Kedermawanan dan kemurahan hati kaum Ansar nampak pula dalam seringnya mereka memberikan hadiah pada kaum Muhajirin. Makramah ibn Sulaiman mengatakan, “Mangkok besar Sa’ad selalu berada di hadapan Nabi Muhammad saw. sejak pertama kali beliau tiba di Madinah hingga beliau wafat. Selain Sa’ad ibn Ubadah, masih banyak kaum Ansar yang melakukan hal serupa. Bahkan, para sahabat Rasulullah juga senantiasa saling memberi.”
Sa’ad ibn Rabi’ah adalah seorang Ansar. Sementara Abdurrahman ibn ‘Auf adalah seorang Muhajirin. Suatu ketika Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Aku adalah orang terkaya dari kaum Ansar. Karenanya aku akan membagi separuh hartaku kepadamu. Aku juga memiliki dua isteri, maka pilihlah mana yang paling menarik untukmu di antara keduanya. Sebutkan namanya, maka aku akan mentalaknya. Jika ‘iddahnya sudah habis, nikahilah dia!”
Tawaran itu dijawab Abdurahman, “Semoga Allah memberkahimu atas keluarga dan hartamu. Namun, cukuplah engkau tunjukkan kepadaku di manakah pasar kalian berada.” Lalu kaum Ansar menunjukkan kepada Abdurrahman pasar Bani Qainuqa. Begitulah, akhirnya Abdurrahman selalu kembali dari pasar itu dengan membawa keuntungan dari berjualan minyak samin dan keju.
Rasa kesetiakawanan yang dimiliki kaum Ansar begitu mengagumkan. Adanya solidaritas, persahabatan, dan kebersamaan seperti yang mereka lakukan. Bahkan, diatas semua yang telah diberikan, mereka tidak menuntut kembali apa-apa yang telah mereka hibahkan. Hal itu terbukti saat pasukan Rasulullah saw. berhasil mengusir Bani Nadhir dari Madinah. Kaum Ansar tidak mendapat bagian dari rampasan perang sedikitpun.
Ummul A’la Al-Anshari meriwayatkan, ketika mendapatkan rampasan perang dari Bani Nadhir, Rasulullah saw. memanggil Tsabit ibn Qais. “Datangkanlah kaummu kepadaku,” kata Rasululllah saw. Tsabit bertanya, “Kaum Khazraj-kah?” “Seluruh kaum Ansar!” tegas Rasulullah saw.
Maka Tsabit memanggil suku Aus dan Khazraj. Setelah seluruh kaum Ansar hadir, Rasulullah memuji Allah dan menyebutkan kebaikan-kebaikan kaum Ansar yang telah memberikan tempat tinggal dan harta benda mereka kepada kaum Muhajirin. Juga tentang sifat mereka yang selalu mendahulukan kaum Muhajirin ketimbang diri mereka sendiri. Lalu Rasulullah bersabda, “Jika kalian suka, aku akan membagikan harta yang dititipkan Allah kepadaku dari Bani Nadhir (harta rampasan) ini untuk kalian (kaum Ansar) dan kaum Muhajirin. Adapun bagian kaum Muhajirin adakah untuk mengganti biaya hidup dan tempat tinggal yang kalian tanggung selama ini. Atau, jika kalian setuju, aku akan memberikan bagian mereka semuanya, dan setelah itu mereka akan keluar dari rumah-rumah kalian.”
Mendengar tawaran itu, Sa’ad ibn Ubadah dan Sa’ad ibn Mu’adz berkata, “Ya Rasulullah, Engkau bagikan saja semua harta rampasan itu kepada Muhajirin dan biarkan mereka tetap tinggal di rumah-rumah kami seperti saat ini.”
Dan seluruh kaum Ansar yang hadir mengamini ucapan dua orang itu. Mereka berkata, “Kami rela menerima keputusan itu, ya Rasulullah.” Rasulullah saw. pun berkata, “Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu kepada kaum Ansar dan keturunannya.”
Lalu Rasulullah membagikan semua harta rampasan perang itu secara merata kepada kaum Muhajirin. Adapun kaum Ansar, mereka tidak mendapatkan bagian, kecuali dua orang, yaitu Abu Dujanah dan Sahl ibn Hunaif yang begitu membutuhkan.
Sikap kaum Ansar itu begitu membekas dalam jiwa kaum Muhajirin. Mereka mengakui keutamaan kaum Ansar itu di hadapan Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, kami belum pernah mendatangi kaum yang sedermawan dan begitu setiakawan melebihi kaum Ansar. Mereka telah mencukupi kebutuhan hidup kami dan mengikutsertakan kami dalam setiap kegembiraan mereka. Karena itu, kami khawatir semua pahala Allah akan jatuh kepada mereka.
”Rasulullah saw. bersabda, “Tidak. Niscaya kalian akan memperoleh pahala dari Allah, yaitu selama kalian tetap memuji kebaikan mereka dan mendoakan mereka kepada Allah.”
Di Madinah, Nabi Muhammad bersama-sama kaum Muhajirin dan kaum Anshar membangun sebuah masjid yang diberi nama Quba, yang berfungsi untuk melakukan semua kegiatan ibadah. Setelah dibangunnya masjid Quba tersebut, kemudian Nabi Muhammad saw. mendirikan masjid yang kedua, yaitu masjid Nabawi di tengah pusat kota Madinah, Yasrib (sekarang dikenal dengan nama Madinah al-Munawarah, yang artinya kota yang bercahaya).
Kemudian Rasulullah mengikat kaum Muhajirin dan kaum Ansar dengan ikatan persaudaraan yang bertujuan untuk mempererat persatuan umat Islam agar tidak terjadi permusuhan diantara mereka. Persaudaraan tersebut diikat atas dasar aqidah agama.
Persahabatan dan solidaritas kaum Ansar itu merupakan contoh yang benar dalam berukhuwah islamiyah. Itulah ukhuwah yang sejati. Bukan hanya dijadikan sekedar contoh saja namun harus kita amalkan dalam kehidupan kita sehari-hari meskipun harus mengorbankan darah dan harta untuk mendahulukan kepentingan saudaranya dan meringankan beban mereka, meski diri mereka sendiri begitu membutuhkan.
0 Response to "Perjuangan Kaum Ansar"
Post a Comment