Putra Raja Amsterdam menghadap ayahnya. Ia lulus dari sekolah dan nilai-nilai rapornya amat bagus. Raja amat puas dan ingin memberi hadiah. “Nah, apa yang kamu minta?” tanya Baginda. “Apa saja akan kupenuhi, sejauh aku mampu.” Pangeran, berkata, “Ayahanda, hamba amat suka teater dan drama. Hamba mohon sebuah gedung teater. Juga mohon sudilah Ayahanda menyelenggarakan sayembara bagi para pemain sandiwara dan para seniman.”
Permintaan itu dikabulkan. Gedung kesenian segera dibangun. Sayembara dengan hadiah-hadiah menggiurkan juga segera diumumkan. Peserta di urutan kelima adalah seorang lelaki dengan menenteng kuda kayu. Para penonton mengira bahwa ia adalah pemimpin rombongan sebab ia muncul sendiri. “Mana yang lain?” tanya Raja. “Hamba sendirian saja. Ya, hanya dengan kuda kayu ini”, sembah orang itu.
Raja mengernyitkan dahi dan tertarik setelah orang aneh itu mengatakan bisa terbang dengan naik kuda kayunya. “Wah, bagus!” sahut Raja. “Aku ingin lihat buktinya. Orang itu naik kuda kayunya. Ia tiba-tiba melesat ke udara menuju ke selatan. Setengah jam kemudian, ia sudah muncul kembali di hadapan baginda. Dan memenuhi pesan baginda ia juga membawa pokok pohon palem. Pohon palem ini hanya tumbuh di selatan kerajaan. Melihat itu sang Pangeran berseru “Ayahanda, saya mohon, belikan kuda itu buat saya.” “Akan saya coba,” Sahut Baginda. “Apakah ia mau menjualnya?”
Orang itu diundang ke istana. Ia datang. Kuda kayunya itu ia tinggalkan di luar, di depan pintu. Baginda mengamat-amati kuda kayu itu. Ia tanyakan kepada sang pemilik. Apakah ia mau menjual kuda kayu itu? Dan berapa harganya? “Mohon ampun, Baginda,” sahut orang itu. “Hamba tidak akan menjual kuda ini. Hidup saya bergantung darinya. Ia memberi nafkah hamba seumur hidup.” “O, gampang!” sahut Raja mantap. “Nafkahmu seumur hidup kutanggung!” “Jika demikian kehendak Baginda, hamba menurut,” ujar orang itu.
Tak berapa lama Pangeran sudah menaiki kuda kayu itu. Untunglah Pangeran bisa mengendalikan kuda itu. Kuda itu pun makin lambat terbangnya dan makin turun mendekati bumi kembali. Akhirnya, pada sore hari mereka mendarat di istana milik Raja Parel. Gerbangnya dijaga prajurit. Dari seragamnya pangeran tahu ia berada di sitana Raja Parel. Ia menyelinap masuk saat penjaga lengah. Dua kamar serba berlapis emas ia lewati, kosong. Lalu ia sampai ke kamar ketiga. Ia melihat seorang puteri sedang tidur di ranjangnya. Putri itu ayu sekali. Pangeran terkesima menatap paras yang molek itu.
Tiba-tiba sang Putri terbangun. Ia kaget melihat pangeran berwajah tampan dalam kamarnya. “Saya putra Raja Amsterdam,” kata Pangeran memperkenalkan diri. Pangeran menceritakan ia bisa sampai ke tempat itu gara-gara kuda kayu. Sang Puteri bingung. Ia tertarik pada pangeran tetapi hubungan Amsterdam dan Parel kurang baik. Namun demikian ia nekad menghadap ayahnya, memperkenalkan sang Pangeran. “Terhadap dia aku tidak apa-apa,” kata Baginda, “Urusanku dengan ayahnya!” Pangeran diterima baik sebagai tamu. Bahkan Baginda mengizinkan Putri pergi ke Amsterdam bersama Pangeran.
Sang Pangeran mengirim surat kepada ayahandanya. Ia memberitahukan bahwa dirinya tidak kurang suatu apa dan menjadi tamu terhormat Raja Parel. Ia juga menceritakan akan segera pulang memboyong putri Raja Parel. Akhirnya ia mohon, agar Baginda sudi menjemputnya di tapal batas kerajaan. Sri Baginda tentu saja amat gembira mendengar berita itu. Ia bersyukur bahwa putranya tidak menjumpai malapetaka. Baginda menjawab berjanji sedia menjemput. Pangeran dan Putri berangkat. Perjalanan ini makan waktu lama. Ketika mereka sampai di tapal batas kerajaan, Raja Amsterdam sudah menunggu. Namun, mereka juga sudah ditunggu Raja Yunani.
Raja ini sedang mencari istri. Ia menyodorkan surat dari Raja Parel. Isinya, meminta agar sang Putri cepat-cepat kembali, mau dijodohkan! Pangeran kecewa sekali. Ia segera berembuk dengan ayahnya mengenai hal ini. Tetapi ... saat itu Raja Yunani mencuri kuda itu. Ia segera terbang menggondol sang Putri. Pangeran kelabakan. Ia mulai melakukan perjalanan mencari-cari Sang Putri. Lebih tiga tahun ia berkelana. Akhirnya, ia sampai di Yunani. Ia menginap di sebuah penginapan dan menyamar sebagai tabib yang mampu menyembuhkan segala penyakit. Pemilik penginapan itu berpikir, “Sampai sekarang tak ada orang yang mampu menyembuhkan penyakit calon Ratu kita. Jika ia mampu menyembuhkannya, pasti Raja akan memberiku pangkat tinggi.” Ia bertanya, apakah ia sanggup menyebuhkannya. Pangeran bertanya, sejak kapan calon Ratu itu sakit? “Sudah tiga tahun lalu, saat ia baru saja datang,” jawab pemilik penginapan. “Jelas, ia adalah orang yang kucari,” pikir Pangeran. Ia berkata, “Saya belum pernah gagal menyembuhkan orang.”
Paginya, ia menuju istana. Raja segera mempersilahkannya masuk kamar sang Putri. Ia minta ditinggalkan sendiri bersama si sakit. Raja meninggalkan kamar. Putri segera mengenalinya. “Ssst!” kata Pangeran. “Aku datang membebaskanmu. Tapi, ikuti saja apa yang kukatakan.”
Selama tiga hari Pangeran berbuat yang aneh-aneh. Lalu ia memberitahukan Raja bahwa Putri telah sembuh. Raja menjumpai Putri. Ia senang bahwa calon istrinya sembuh. Lalu, ia mau memberi hadiah pada sang Pangeran. Pangeran pun berkata, “Hamba mohon Baginda menyelenggarakana pertunjukan drama. Ini harus disaksikan segenap bangsawan dan selruruh rakyat. Nanti sebelum pertunjukan dimulai, saya akan memperlihatkan kepada khalayak bahwa calon permaisuri sudah sembuh.” Ia juga minta disediakan sebuah guci tempat dupa dan diperbolehkan membawa kuda kayu. Permintaan itu dikabulkan.
Pada hari dan jam yang telah ditentukan duduklah Raja, para bangsawan istana dan rakyat ke gedung teater. Dengan menggandeng sang Putri, tabib itu mengitari arena tiga kali. Pada putaran yang terakhir, sang Putri menyalakan dupa. Mereka terbungkus asap dupa. Mereka lalu menunggang kuda kayu dan tiba-tiba melesat ... lenyap ke udara!
Mereka sampai ke Amsterdam. Tak lama kemudian, mereka pun kawin. Dengan perkawinan mereka, Kerajaan Parel bersatu dengan Amsterdam. Mereka memegang takhta dengan bijaksana. Ia membuat rakyat bahagia dan sejahtera. Andaikata mereka masih hidup, mungkin mereka masih memegang takhta.
0 Response to "Kisah Kuda Kayu"
Post a Comment