Konon, dahulu kala tersebutlah kisah seorang pangeran muda bernama Puja Kelana dari Kerajaan Waringin. Ia satu-satunya pewaris tahta kerajaan itu. la ramah, jujur, baik hati, dan tidak pernah membeda-bedakan teman.
Suatu hari, Prabu Harya Wijaya, Ramanda Pangeran Puja Kelana, memanggilnya menghadap. la pun bergegas menuju singgasana. Hatinya cemas. Pikirannya kalut. Kira-kira, apa yang hendak disampaikan oleh Ramandanya kali ini. Setibanya di hadapan Ramandanya, ia menyembah takzim kemudian duduk di dekat Ramandanya. "Ampun, Ramanda! Ada apa gerangan hingga Ramanda meminta Ananda untuk menghadap?" Puja Kelana membuka pembicaraan.
"Puja Kelana, Putraku. Ramandamu kini sudah uzur. Sudah saatnya tahta ini kuserahkan padamu. Akan tetapi, Putraku, memikul tanggung jawab ini bukanlah hal yang mudah. Nanda membutuhkan bantuan dari orang yang tepercaya, seorang sahabat sejati yang sudi berbagi suka dan duka bersama. Untuk itu, Putraku, temukanlah orang itu dahulu!" Prabu Harya Wijaya menyampaikan maksud hatinya pada Pangeran Puja Kelana, sang Putra Mahkota. "Baik, Ramanda. Ananda akan melaksanakan titah itu. Ananda mohon pamit," Pangeran Puja Kelana melangkah dengan gamang.
Hatinya bimbang. la bingung ke mana harus mencari orang yang tepercaya sebagaimana pesan Ramandanya. Dalamnya laut bisa diduga, tetapi hati orang siapa bisa menerka? Apakah ia bisa dipercaya atau tidak? Apakah ia bisa berbagi dalam suka maupun duka? la berpikir keras sampai akhirnya ia menemukan sebuah ide.
Pangeran Puja Kelana memutuskan untuk menemukan orang itu dengan cara mengundang orang-orang untuk makan bersama. Kelak setelah orang yang diundang makan itu datang, ia hendak mengulur-ulur waktu dan tidak segera menyuguhi mereka hidangan makanan. Dari situ, akan ketahuan bagaimana sikap orang tersebut.
Mulailah Pangeran Puja Kelana mengundang makan para putra bangsawan di negerinya satu per satu. la pun menjalankan rencananya seperti semula. Ternyata, ada-ada saja tingkah polah para tamunya. Ada yang marah-marah karena makanannya tidak segera keluar padahal ia sudah amat keroncongan. Ada yang tak sabar kemudian pulang terburu-buru. Ada yang mengumpat. Bahkan, ada yang menggedor-gedor meja makan.
Suatu hari, sang Pangeran mengundang putra seorang patih. Putra Patih merasa amat girang karena mendapat kehormatan untuk makan bersama sang Pangeran. Pagi-pagi benar, ia datang memenuhi undangan sang Pangeran. Mereka duduk bersama di depan meja makan. Kemudian, mereka berbincang-bincang sambil menunggu makanan dihidangkan. Namun, makanan tak kunjung jua dihidangkan. Malahan, Pangeran Puja Kelana makin asyik mengajaknya mengobrol tentang keseharian sang putra Patih tersebut Setelah kira-kira beberapa lama, putra Patih itu merasa amat lapar. Barulah Pangeran Puja Kelana menghidangkan sebuah piring berisi tiga potong singkong rebus. Melihat hal itu, putra Patih berkata, "Hanya ini makanan yang dihidangkan? Maafkan hamba Pangeran, ini tidak bisa mengganjal perutku yang sudah amat lapar. Kalau hanya seperti ini, lebih baik aku makan di rumah saja." Ia langsung pamit pulang. Pangeran Puja Kelana diam saja melihat sikap putra Patih itu. Dalam hatinya ia berkata bahwa putra Patih itu bukanlah orang yang baik karena ia tidak sabar dan terkesan sombong. la tidak bisa dijadikan teman sejati.
Pada kesempatan berikutnya, Pangeran mengundang makan putra seorang pemuka agama. Sebagaimana tamu-tamu undangan lainnya, putra pemuka agama itu amat gembira karena mendapat kehormatan untuk menikmati hidangan bersama Pangeran. Bahkan, ia sengaja mengosongkan perut, tidak menyentuh secuil makanan pun selama sehari semalam. la berpikir bahwa ia akan menikmati hidangan lezat. Dengan begitu, nafsu makannya akan terpuaskan.
la berangkat ke kerajaan dengan penampilan terbaiknya. Sesampainya di kerajaan, ia mendapat sambutan ramah dari Pangeran. Tak lama kemudian, keduanya hanyut dalam perbincangan. Putra pemuka agama itu makin merasa lapar, perutnya keroncongan. Kemudian, sang Pangeran segera mengeluarkan tiga potong singkong rebus di atas piring. Setelah itu, ia pamit sebentar hendak mengambilkan minum. Setibanya Pangeran Puja Kelana kembali ke meja makan, piring itu sudah kosong. Ketiga potong singkong rebus itu sudah dimakan oleh putra pemuka agama. "Maaf, Pangeran. Singkong itu kumakan semua karena aku sudah amat lapar," kata putra pemuka agama itu seraya menahan malu. Kemudian, ia berpamitan hendak pulang. Dari situ, Pangeran Puja Kelana tahu bahwa putra pemuka agama itu adalah orang yang tidak setia. la pun tidak bisa diajak berbagi suka dan duka. Ia bukanlah sahabat yang baik.
Pangeran Puja Kelana hampir putus asa. la merasa jenuh karena tidak jua menemukan sosok sebagai mana yang dititahkan Ramandanya. Sampai akhirnya, Pangeran Puja Kelana memutuskan untuk keluar istana demi menemukan sahabat sejatinya.
la pun menyamar menjadi pemuda biasa. Hari-hari berikutnya, ia lalui dengan keluar masuk hutan belantara, menembus rimba, menentang alam yang tidak bersahabat. Waktu berselang, tubuh Pangeran Puja Kelana makin kurus. Wajahnya pucat pasi. la tak tahan menahan rasa letih akibat perjalanan jauh. Namun, ia tak kunjung jua menemukan orang yang dicarinya. Hampir saja ia menyerah.
Tiba-tiba, ada seorang pemuda sedang menggendong tas anyaman pohon bambu di punggungnya tampak berjalan menghampirinya. Melihat kondisi Pangeran yang payah, pemuda itu segera membimbingnya menuju gubuk miliknya. Sesampainya di sana, Pangeran dipersilakan beristirahat, sementara ia sendiri sibuk menanak nasi jagung dan memasak air. Setelah semuanya selesai, Pangeran Puja Kelana diajak makan bersamanya. Keduanya makan dengan lahapnya meskipun hanya nasi jagung dengan lauk ikan teri yang dihidangkan di balai bambu.
Setelah selesai makan, keduanya saling bertanya nama masing-masing. "Siapa namamu?" tanya Jaka Kembara, pemuda yang menolong Puja Kelana. "Namaku Puja Kelana. Aku seorang pengembara. Siapakah namamu?” timpal Puja Kelana. "Namaku Jaka Kembara. Aku seorang tabib. Sehari-hari aku pergi memasuki hutan untuk meramu dedaunan dan akar-akaran serta tanaman yang berkhasiat obat."
Keesokan harinya, Puja Kelana bersamasama dengan Jaka Kembara pergi ke hutan. Mereka mengumpulkan bahan-bahan obat. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya Jaka Kembara menjelaskan pada Puja Kelana tentang khasiat dari dedaunan, akar-akaran, dan tanaman yang berhasil dikumpulkan.
Waktu berselang, Puja Kelana makin betah hidup bersama dengan Jaka Kembara, karena Jaka Kembara mengajarinya bermacam-macam hal yang belum diketahuinya selama ini. Mulai dari meramu obat, memasak nasi jagung, berenang, memanjat pohon, memanah, sampai dengan mengenali perubahan cuaca di hutan.
Suatu hari, Puja Kelana berpikir sudah saatnya ia kembali ke kerajaan. la bersiap-siap hendak melanjutkan perjalanannya kembali. Kemudian, ia berpamitan pada Jaka Kembara. la pun mengucap pesan, "Jaka Kembara, sahabatku, terima kasih atas semua kebaikanmu. Terimalah cincin ini sebagai tanda terima kasihku. Jika kau ada waktu, pergilah ke kerajaan kemudian tunjukkan cincin ini pada penjaga pintu gerbang, pastilah mereka akan mengantarkanmu padaku. Aku pamit." Dalam sekejap, Puja Kelana hilang dalam pandangan Jaka Kembara.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, Puja Kelana gelisah menantikan kedatangan sahabatnya, Jaka Kembara. Hingga suatu hari, seorang pengawal datang di hadapan sang Pangeran Puja Kelana dan mengatakan kepadanya bahwa ada seorang pemuda bernama Jaka Kembara sedang berada di luar menanyakan dirinya. Segera Puja Kelana menyongsong sahabatnya.
Jaka Kembara amat terkejut mendapati bahwa ternyata Puja Kelana adalah seorang Pangeran. la menjadi rikuh dan kaku. Mengingat kebaikan dan kerendahan hati Puja Kelana, ia mencoba bersikap tenang. Puja Kelana pun bersikap biasa seperti ketika dahulu mereka bersama.
Keduanya asyik melepas rindu di kamar Puja Kelana. Lama sekali keduanya saling bertanya kabar. Akhirnya, Puja Kelana mengeluarkan piring berisi tiga potong singkong rebus. Kemudian, keduanya memakan singkong tersebut masing-masing sepotong. Kini, singkong itu tinggal sepotong. Puja Kelana menunggu apa yang hendak dilakukan sahabatnya. Jaka Kembara mengambil potongan terakhir singkong tersebut kemudian membaginya menjadi dua bagian dan memberikan yang sebagian kepada Puja Kelana. Melihat hal itu, Puja Kelana menjadi terharu. la tak kuasa menahan tangis bahagia karena ia telah menemukan sahabat sejatinya, yaitu orang yang setia, lapang dada, bisa dipercaya, dan benar-benar bisa berbagi baik di kala suka maupun duka. "Jaka Kembara kaulah orang yang selama ini kucari. Kaulah sahabat sejatiku," kata Puja Kelana sambil memeluk sahabatnya.
Tak lama setelah kejadian itu, Puja Kelana dinobatkan menjadi Raja dan Jaka kembara pun mendapat kepercayaan untuk menjabat sebagai Patih. Keduanya saling bahu-membahu dalam mengemban amanat. Mereka pun hidup bahagia sampai akhir hayatnya.