Musim gugur yang paling dinantikan oleh seluruh penduduk kerajaan Ayodia telah tiba. Namun bagi Raja Aleida, musim gugur kali ini merupakan musim yang menyedihkan. Betapa tidak, ia harus berpikir keras bagaimana caranya membersihkan halaman istana yang sangat luas itu setiap hari.
Seminggu sebelum musim gugur tiba, Pak Andaru, kepala kebersihan istana, pensiun karena sudah uzur dan sakit-sakitan. Celakanya, musim gugur kali ini begitu dahsyat. Daun pada pepohonan di halaman istana berguguran. Saking kencangnya angin bertiup, tidak hanya daun kering yang berguguran, daundaun hijau pun berjatuhan. Tentu saja keadaan ini membuat istana menjadi kotor.
Melihat situasi seperti itu, Raja segera menitahkan Mahapatih Gazdera untuk mencari tukang sapu di berbagai pelosok negeri. Raja membutuhkan 42 sapu yang akan digunakan untuk membersihkan halaman istana oleh 21 pembersih istana.
Sapu-sapu yang ada ternyata tidak lagi memadahi. Kalau pun ada, sapusapu tersebut umumnya sudah tua, atau tidak cocok lagi untuk menyapu sampah yang kian menggunung. Akhirnya Mahapatih Gazdera berkeliling ke beberapa tempat. Setelah dua minggu, barulah ia menemukan tiga penjual sapu.
Mereka ini penjual sapu terkenal di kerajaan Ayodia. Penjual sapu pertama adalah seorang bapak tua. Ia tinggal di sebuah desa di tepi hutan. Tetapi ketika ditanya oleh Mahapatih Gazdera berapa harga sapunya, dengan tidak bersemangat ia mengangkat bahu.“Sapu-sapu ini tidak dijual. Sudah ada yang pesan,” jawabnya sambil memberesi barang dagangannya. “nanti sore akan diambil,”katanya lagi. Namun, matahari semakin condong ke arah barat, tak seorang pun datang menghampirinya. Sebenarnya ia telah berbohong. Ia tak yakin Mahapatih Gazdera akan membeli sapu dalam jumlah banyak. Selama ini memang tidak melayani eceran. Mahapatih Gazdera berlalu. Ia menuju pedagang sapu ke dua, tak jauh dari bapak tua tadi. Hatinya senang ketika pedagang sapu itu menyambutnya dengan senyum. “Sapunya masih ada, Pak?” tanya Patih Gazdera sambil tersenyum. “Masih, Pak. Bapak perlu berapa?” tanyanya sambil memperlihatkan sapu-sapu hasil karyanya. Sapu-sapu itu bagus dan beragam corak serta warnanya. “Saya membutuhkan 42 sapu untuk membersihkan halaman istana,” ujar Mahapatih.
Pedagang sapu itu tersentak kaget.” Bapak dari istana?” Ia mengiyakan. “Saya Patih Gazdera. Raja menitahkan saya untuk mencari sapu.”
Lama pedagang sapu itu berpikir. Kemudian ia berkata.
“Tetapi, maaf beribu maaf Mahapatih, sapu-sapu ini sudah ada yang pesan. Mungkin besok atau lusa Mahapatih bisa datang ke sini. Saya akan siapkan sapu-sapu sesuai pesanan istana,” katanya sambil berharap Mahapatih Gazdera tidak marah. Ia tak yakin istana akan membayarnya. Manurut dia, Raja bisa saja mengambil sapu sesuka hati, dan ia tidak mendapat bayaran sepeserpun. Sapu-sapu itu dibuatnya dengan susah payah, ia tak rela jika seseorang mengambilnya, termasuk raja sekalipun.
Sambil tersenyum Mahapatih Gazdera berkata, “Tidak apa-apa Pak, kalau sudah ada yang pesan. Saya akan cari ke tempat lain saja. Mudah-mudahan dapat.”Bersorak gembira hati sang pedagang sapu itu. “Akhirnya sapu-sapu saya selamat dari rampasan istana,” gumamnya. Ia sempat khawatir. Mahapatih Gazdera memaksa meminta sapu-sapunya. Malam telah tiba. Tetapi Mahapatih Gazdera tidak putus asa. Persis di seberang pedagang sapu kedua, ia melihat ada seorang bapak renta ditemani anak laki-lakinya berjualan sapu. Dengan berheran-heran ia hampiri pedagang sapu tersebut.
“Silakan masuk, Pak.” kata anak laki-laki itu sambil menyorongkan sebuah kursi kayu. “Bapak mencari sapu?” “Ya, saya mencari sapu. Saya membutuhkan 42 sapu.” “Wah, banyak sekali, sahutnya tak yakin. “Buat apa sapu sebanyak itu, Pak?” tanyanya polos. “Maaf saya tidak bisa menjawabnya sekarang. Hari sudah malam, saya harus segera pulang. Jika Bapak tidak keberatan, boleh saya bawa sapu-sapu ini ke tempat saya? Saya janji, pasti dibayar,” katanya berharap. Dari pengalaman sebelumnya, ia tak ingin menyebutkan identitas. Tanpa berpikir panjang lagi, Bapak renta itu mengiyakan. “Silakan Bapak ambil dulu jika memang tidak membawa uang. Dibayar kemudian pun tidak apa-apa,” ujarnya tulus. Kemudian, “Tapi bagaimana caranya mambawa sapu sebanyak ini?” katanya kebingungan. Tiba-tiba anaknya menyahut, “Saya bisa membantu, Pak!”
Setelah sapu-sapu selesai dirapikan, Mahapatih Gazdera pulang. Sambil berjalan menyusuri jalan perkampungan, Mahapatih tak henti-hentinya berdecak kagum kepada anak laki-laki itu. Meskipun masih kecil, tenaganya luar biasa. Seraya memikul sapu, anak itu tak henti-hentinya bersiul dan bernyanyi riang. Padahal hari semakin malam“Nak, kamu tidak capai? Kalau capek, kita istirahat dulu,” tawarnya. “Tidak, Pak. Kalau diselang istirahat, saya suka ketiduran. Lebih baik jalan terus,” jelasnya. “Baiklah kalau begitu. Tak lama lagi juga sampai.”
Tak lama kemudian sampai di pintu masuk istana. Karena perjalanan pada malam hari, anak laki-laki itu baru menyadari di mana kini dia berada. Belum hilang rasa kagetnya, ia segera diajak masuk oleh Mahapatih Gazdera. Bukan main senangnya Raja ketika Mahapatih Gazdera mendapat sapu sesuai dengan keinginannya. Sapu-sapu itu sangat bagus, kuat, dan warnawarni pula. Raja Aleida pun menitahkan Mahapatih Gazdera agar bapak renta dan anak laki-lakinya itu dibawa ke istana untuk menjadi kepala kebersihan istana, sekaligus pembuat sapu di lingkungan kerajaan.
0 Response to "Tiga Penjual Sapu"
Post a Comment