“Siapa itu?” Tiba-tiba terdengar suara marah. Edak dan Egel terkejut sekali sehingga duri-duri mereka berdiri.
“Cepat lari!” kata Edak ketakutan. “Itu pasti Anjing galak.” Tetapi Egel tidak mendengarnya. Dia sudah lari lebih dulu. Dengan terengah-engah, kedua sahabat itu sampai di luar kebun.
“Uf !” keluh si Egel. “Sayang, ya, buah pirnya. Tetapi untung juga Serigala tidak berhasil menangkap kita. Seumur hidup aku belum pernah sekaget tadi,” kata Egel.
“Tadi itu Serigala?” tanya Edak. Duri-durinya tegak lagi karena dia ketakutan.
“Aku tidak melihatnya. Tetapi aku mengenali suaranya,” jawab Egel. “Ayo ke rumahku saja. Aku masih punya makanan.”
“Tidak terima kasih. Aku sudah tidak kepingin makan lagi,” kata Edak. Kedua sahabat itu lalu pulang ke rumah masing-masing, dan bermimpi dikejar-kejar seekor Serigala besar.
Seandainya mereka tidak ketakutan berlebihan, sesungguhnya mereka akan tahu bahwa yang bersuara tadi hanyalah seekor Tikus Tanah tua. Mereka tentu akan bisa menikmati buah pir yang berjatuhan di kebun itu. Demikianlah, akibat ketidak-tahuan, mereka menjadi ketakutan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditakuti. Dengan demikian, kita bisa paham bahwa ketidaktahuan sangat merugikan bagi siapa pun. Karena itu, kita hendaknya membuang ketidaktahuan itu dengan cara banyak belajar tanpa putus asa.
Kisah ini menjelaskan kepada kita bahwa ketidaktahuan menyebabkan timbulnya pikiran yang keliru. Pikiran yang keliru menyebabkan perbuatan yang tidak benar. Perbuatan tidak benar menimbulkan ketidakbahagiaan. Ketidaktahuan harus dikikis dengan berusaha yang benar. Usaha yang benar adalah bila disertai perhatian dan konsentrasi yang benar. Dalam kisah tadi, seandainya si Edak dan Egel penuh perhatian, dan kosentrasi, tidak akan timbul pengertian yang salah, yaitu Tikus disangka Serigala, yang menyebabkan mereka ketakutan tanpa alasan.