“Matilah aku. Ini betul-betul malapetaka!”
Seekor serigala tua berjalan terseok-seok di padang rumput. Dari kejauhan, ia tak henti menoleh ke kawanan domba yang bergerak seperti awan ditiup angin. Serigala tua menghadapi kesulitan terbesar sekarang. Ia tidak bisa lagi memburu domba-domba itu. “Padahal, kalau tidak memangsa domba aku bisa mati kelaparan.”
Di kayu rebah di gundukan bukit, ia berhenti lalu duduk memandangi padang rumput. “Anak-anak domba yang gemuk. Dagingnya pasti manis dan empuk, mmmh.” “Matilah aku, matilah aku...” Katanya lagi. Ia ingin berhenti melihat ke sana. Pemandangan itu membuatnya makin lapar. Serigala tua mencari siasat. Setiap kali menemukan siasat, ia segera putus asa. Ada bocah gembala di antara kawanan domba, yang membuat serigala tua tak bisa menangkap seekor domba pun.
Serigala tua ingat saat pertama kali hendak menangkap domba milik gembala itu. “HEEEAHHH...!!! Pergi kamu, Serigala tua! Tidak akan ada lagi domba untukmu!” “Uphs...” Serigala tua terkejut dan bermaksud berlari menyelamatkan diri. Tapi, tongkat panjang sang gembala menggebukinya sampai terguling-guling. Meski terluka parah, serigala tua berhasil menyelamatkan diri. Bocah itu benar-benar waspada. Setiap serigala tua mendekat ke arah domba, bocah gembala itu sudah mengejarnya lebih dahulu dengan mengayunkan tongkatnya. Setiap hari bocah itu berhasil memukuli serigala tua. “Aaah, pukulan tongkat itu sungguh menyakitkan.” Serigala tua itu mendengus kesal.
Meski selalu berhasil melarikan diri, serigala tua selalu terluka parah. Bocah gembala itu tidak sendirian. “Anjing-anjing gembala juga selalu berhasil menggigitku,” Serigala tua berpikir sambil mondar-mandir. Ia hampir putus asa. “Aku harus mencari mangsa lain,” Serigala tua berhenti mondar-mandir, “Aku harus berjalan-jalan, mungkin akan dapat seekor tikus atau tupai tanah.
Ia berjalan ke arah tepian padang yang agak tandus. “Semoga ada sisa buruan burung nazar.” Kemudian serigala tua mengendus-enduskan hidungnya ke udara. Biasanya angin meniupkan bau-bauan makanan. Tiba-tiba, ia mencium sesuatu. Sepertinya bukan bau daging segar, tapi ia kenal bau itu. “Slrrrrp, Lumayan. Bau daging domba yang dikeringkan. Barangkali saja dendeng?” Serigala tua itu sering melihat petani dan gembala mengunyah dendeng domba. Dari cara mereka memakan dendeng itu seiris demi seiris, air liur serigala tua menetes. Slrrrrp...
“Yihaaa! Baunya sudah dekat. Sepertinya dari balik semak itu.” Serigala tua tak tahan lagi. Perutnya makin keroncongan. Ia melompati semak itu, dan “Bruuuk!” “Sial! Cuma selembar kulit domba.” Ia memaki-maki kemudian membuangnya. Seorang gembala pasti tidak sengaja menjatuhkan kulit domba yang bagus dan lebar itu. Tapi kulit itu tidak berguna bagi serigala. Dengan lemas, serigala tua berjalan lagi. Sampai di persimpangan jalan setapak ia berhenti. Sepertinya ia mendapat ide. “Kali ini pasti berhasil!” Ia melompat-lompat kemudian berlari kembali ke semak-semak tadi. Kulit itu ia bawa ke sarangnya. Lalu berputar-putar di depan cermin dengan memakai kulit domba sebagai bajunya. “Aha, aku akan menyamar,” Serigala tua menyeringaikan taringnya yang tajam.
Tak lama kemudian. “Asik, bocah gembala itu tidak mengenaliku,” Serigala tua berjalan mengendap-endap di tengah kerumunan domba, “Anjing-anjing juga.” Domba-domba di padang rumput juga tidak menyadari ada domba asing di antara mereka. “Sebab kulit dan bau badanku sama dengan mereka, mbeeek...” Serigala tua bicara sendiri dan mulai menirukan suara domba. “Paman, apakah paman tahu dimana ibuku?” Seekor anak domba menanyai serigala tua. “Tentu aku tahu, anak manis,” Jawab serigala tua, “Aku akan mengantarmu menemuinya.” “Terima kasih, Paman.” “Ayo kita temui ibumu!” Ajak Serigala dengan licik.
Maka serigala tua mulai beraksi. Ia menggiring anak domba yang malang itu ke tempat yang terpisah jauh dari domba lain. “Paman, mengapa kita berjalan ke sini?” Domba kecil heran. “Ibumu sedang mencari rumput di balik batu besar itu,” Jawabnya. “Bagaimana menurutmu kalau kita mengejutinya dari belakang, anak manis?” “Oh, ya? Aku senang, itu ide bagus.” Domba kecil tersenyum girang. “Nah, mulai sekarang kita berjalan tanpa suara. Kamu di depan, ya.” Domba kecil menyetujui saran serigala tua. Dan sampai di sana. “Di mana ibuku, Paman?” Tanya domba kecil menengok ke belakang. Kulit domba di tubuh serigala tua sudah terlepas. “P-paman... a-ada-lah... sri – ga – la...” Ia terkejut dan mencoba berlari. Tapi serigala lebih cepat menangkapnya. Domba kecil berusaha melepaskan diri dan berteriak minta tolong. Tapi tidak ada yang mendengar.
Mereka terlalu jauh dari kumpulan domba dan sang gembala. Domba kecil itu kehabisan tenaga. Akhirnya ia menjadi santapan serigala tua. Begitulah setiap hari. Serigala tua selalu berhasil menyamar dan menipu domba-domba, dan memakan anak-anak domba satu per satu. Apa yang tampak oleh mata sering membuat kita terkecoh.
0 Response to "Kisah Serigala Berbulu Domba"
Post a Comment