Kisah Dewi Melati


Sudah berbulan-bulan Ratu menderita penyakit aneh. Tubuhnya kurus karena kehilangan nafsu makan. Ia tak kuat bangkit dari tempat tidurnya. Ratu juga tak mampu berbicara. Ia hanya menatap semua orang dengan matanya yang hampir tak bersinar. Sudah banyak tabib didatangkan, bahkan dari negeri seberang. Namun tak seorang pun mampu menyembuhkan Ratu. Mereka bahkan tak tahu apa penyakit yang diidapnya. Akhirnya diketahui bahwa obat paling manjur untuk Ratu dimiliki oleh Dewi Melati. Akan tetapi Dewi Melati hanya bersedia menyerahkan obat itu kepada orang yang dapat menjawab tiga buah pertanyaannya.



Seluruh cendekiawan telah dikerahkan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Dewi Melati itu. Tetapi belum ada yang memuaskan hati Sang Dewi. Orang-orang keluar dari istana sambil menunduk sedih karena tak dapat membantu Sang Raja mendapatkan obat bagi Ratu. Demi kesembuhan Ratu, Raja mengumumkan kepada rakyat negerinya, “Barang siapa yang dapat menjawab ketiga pertanyaan Dewi Melati, akan kuberi hadiah besar.”

Banyak sudah yang tertarik akan sayembara itu. Mereka memberanikan diri datang ke istana. Tetapi orang-orang yang pandai sekalipun pulang dengan tangan hampa. Sementara itu keadaan Ratu semakin memburuk. Dalam kepanikannya, Raja menjadi murka. Siapa saja yang datang tetapi gagal menjawab pertanyaan Dewi Melati mendapat hukuman cambuk. Seorang pemuda miskin datang menghadap. Sang Raja memandangnya dengan sangsi, “Bagaimana mungkin kau dapat menjawab pertanyaan yang sulit-sulit itu? Pendidikanmu tidak tinggi. Para ahli di istana saja tidak mampu.” 

“Hamba akan mencoba, Yang Mulia,” kata si pemuda tenang.

“Kalau kau tidak berhasil, nyawamu taruhannya,” Raja mengancam.

“Hamba siap, karena Hamba memang hidup sebatang kara,” kata si pemuda lagi.

Dengan harap-harap cemas seluruh penghuni istana menyaksikan pemuda itu berhadapan dengan Dewi Melati.

“Apakah yang tidak dapat dinilai dengan uang?” tanya Dewi Melati.

“Kesehatan,” jawab si pemuda mantap.

“Mengapa?”

“Sebanyak apa pun uang dan harta yang kita miliki, tak ada gunanya bila kita sakit. Kita takkan bisa menikmatinya,” si pemuda menerangkan. 

Dewi Melati meneruskan, “Hutang apa yang tak pernah dapat kita bayar?”

“Hutang kepada seorang ibu,” jawab pemuda itu dengan mantap.

“Ibu telah mengandung kita selama sembilan bulan, merasakan sakit yang luar biasa hingga menjelang ajal ketika melahirkan, dan banyak lagi. Seumur hidup pun kita takkan pernah dapat membalas jasa seorang ibu yang telah mendidik dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang.”

“Benar,” ucap Dewi Melati. “Yang ketiga, pemberian apakah yang tidak akan membuat kita miskin?”

“Senyuman,” ujar si pemuda. “Senyum menyenangkan hati setiap orang yang melihatnya. Kita tidak menjadi kekurangan dengan memberikan senyum, justru mendapat banyak teman.”

Semua orang bertepuk tangan hingga suara gemuruh memenuhi sudut-sudut istana. Dewi Melati menyerahkan obat untuk Ratu sambil berkata,

“Sesungguhnya ini teguran untukmu, hai Raja. Kau terlalu lalim dan bengis selama memerintah. Karena keangkuhanmu, banyak orang menderita. Justru pemuda miskin yang kauhina inilah yang dapat menolongmu.” Raja terdiam mendengar itu.

Ia tak dapat membantah. Jangankan penasihat istana, kata-kata Ratu seringkali diabaikannya. Tak heran jika Ratu sampai jatuh sakit karena sedih. Dengan tulus Raja mengucapkan terima kasih kepada si pemuda miskin. Setelah Ratu sembuh, pemuda itu diizinkan tinggal di istana. Bahkan akhirnya Raja dan Ratu yang tidak mempunyai keturunan mengangkat si pemuda sebagai anak mereka.