Kisah Soma dan Sukra


Alkisah hiduplah kakak beradik, Soma dan Sukra. Mereka tidak lagi mempunyai orang tua. Sanak saudara pun tak punya. Karena tidak ada yang mengurus dan mendidik, mereka tumbuh menjadi pemuda berandal. Belum pernah sekalipun mereka berkata jujur dan selalu menipu sana-sini. Untuk makan sehari-hari mereka menggunakan tipu daya. Jika sudah kenyang, Soma dan Sukra hanya tidur-tiduran. Benar-benar pemalas.

Orang-orang di desa itu sudah hafal benar tabiat buruk kakak beradik itu. Tidak ada yang mempercayai ucapan Soma dan Sukra. Orang kampung selalu waspada jika Soma dan Sukra mendekat, takut kalau barang mereka dicuri keduanya. Merasa desanya bukan lagi lahan empuk, Soma dan Sukra mengganti daerah sasarannya. Mereka pergi ke desa lain. Jika desa yang mereka datangi tidak lagi menjanjikan makanan gratis, mereka pindah ke desa lain. Begitu seterusnya.

“Aku punya ide bagus. Kita tidak perlu bersusah payah lagi. Persediaan bahan makanan kita cukup untuk berbulan-bulan,” kata Soma tersenyum licik. Sukra mengerutkan keningnya. “Apa itu?” “Besok kau akan tahu!” Paginya berangkatlah Soma dan Sukra ke utara. Mereka menuju ke sebuah desa terpencil di kaki gunung. Mereka berjalan angkuh dengan memakai seragam prajurit kerajaan yang mereka curi di sebuah rumah tadi malam. Dua hari kemudian mereka tiba di desa tujuan yang cukup makmur. Sayang sekali letaknya sangat jauh dari ibukota kerajaan. Hal itu membuat penduduk desa tidak tahu pasti perkembangan kerajaan mereka. Karena mengaku sebagai utusan Baginda Raja Palguna, Soma dan Sukra disambut kepala desa dengan meriah. Berbagai macam makanan dan minuman dihidangkan untuk menjamu Soma dan Sukra. Tidak hanya itu, mereka juga dihibur tarian khas desa itu. Soma dan Sukra sangat senang. “Kepala Desa, seperti yang kami katakan tadi sore, kami datang ke desa ini karena diutus Baginda Raja Palguna. Saat ini kerajaan kita sedang berperang melawan kerajaan negeri seberang. Kami diutus ke sini untuk meminta bantuan berupa apa saja untuk para prajurit yang sedang perang!” Kepala Desa yang lugu percaya begitu saja kepada Soma. Penduduk desa sangat mencintai raja. Mereka menurut ketika kepala desa memerintahkan untuk mengumpulkan apa saja yang kiranya berguna.

Soma dan Sukra meninggalkan desa malang itu dengan gerobak yang berisi makan, pakaian, dan berkantong-kantong uang. Sepanjang perjalanan keduanya tertawa terbahak-bahak. Mereka puas dengan hasil kerja itu. Soma dan Sukra memutuskan tinggal di pinggir sebuah desa. Mereka makin gemuk karena hanya makan, tidur, dan mengganggu orang yang sedang lewat di depan rumah mereka. Sukra mengelus-elus perutnya yang kebanyakan makan. Soma melempari sungai dengan batu-batu kecil. “Sukra, telah banyak penipuan dan kebohongan yang kita lakukan. Bagaimana kalau kita cuci dosa kita di sungai ini?” kata Soma. Sukra mengiyakan ajakan Soma. Soma yang pertama kali masuk ke dalam air. Untuk beberapa saat Soma tidak tampak. Tiba-tiba Soma muncul ke permukaan air dan menepi. Sukra terheran-heran melihat Soma asyik memakan sekerat daging tebal. “Dari mana kau dapatkan daging itu?” tanyanya. “Di bawah sana. Dewa Sungai sedang berpesta. Dewa Sungai sangat senang karena aku mau mencuci dosa-dosaku!” katanya, “Lalu aku diberinya daging ini!”

Sukra percaya pada bualan Soma. Padahal daging yang dimakan Soma adalah daging yang dibawanya dari rumah. Sukra juga ingin mendapatkan daging. Dia pun segera melompat ke dalam sungai. Karena tergesa-gesa, kepalanya terantuk batu. Sukra muncul ke permukaan air sambil meringis. “Mengapa kepalamu benjol Sukra?” tanya Soma. “Dewa sungai marah karena aku terlambat. Lalu aku di pukulnya dengan tongkat!” “Dasar pembual, selalu saja berbohong!” Ketika Soma dan Sukra berjemur untuk mengeringkan baju dan tubuh mereka, datanglah seorang lelaki berjenggot. Belum begitu tua dan wajahnya memancarkan kearifan. “Anak muda, kalian berdua sangat tampan. Terimalah ikat kepala sebagai hadiah dariku!” kata lelaki tua itu. Soma dan Sukra terbengong-bengong. Mereka menatap takjub ikat kepala di tangan mereka. Sangat indah, bersulamkan benang emas dan bertabur permata, juga ada sebuah rubi merah di tengahnya.

Baru saja mereka ingin mengucapkan terima kasih, lelaki tadi sudah menghilang. Tiba-tiba dari arah timur datang pasukan prajurit kerajaan. Tanpa banyak bicara, mereka menangkap Soma dan Sukra. Lalu dibawanya ke istana untuk diadili. “Apa salah kami?” teriak Soma dan Sukra di ruang sidang. “Kalian telah mencuri sepasang ikat kepala putra mahkota!” ucap hakim kerajaan. “Kami tidak mencurinya!” Soma dan Sukra membela diri. “Buktinya sepasang ikat kepala ini ada di tangan kalian! Tidak ada gunanya kalian berbelit!” “Benar, kami tidak mencurinya. Seorang lelaki berjenggot memberikan kepada kami saat kami duduk di tepi sungai!” Soma dan Sukra menjawab.


Hadirin di ruang sidang tertawa. Suasana kembali hening ketika hakim kerajaan mengangkat tangan kanannya. “Kalian pikir, kami percaya pada bualan kalian? Selama ini kalian tidak pernah jujur. Kalian suka menipu dan mencuri. Kesalahan paling fatal adalah menipu penduduk desa di kaki gunung utara dengan mengatasnamakan Baginda Raja. Ditambah lagi, kalian telah mencuri ikat kepala putra mahkota. Karena itu kalian akan dihukum pancung!” Hakim kerajaan telah menjatuhkan vonis. Soma dan Sukra menjerit-jerit. Mereka mencoba melepaskan diri dari cengkeraman algojo. “Tidak, tidak! Kami mengakui semuanya itu, tetapi kami tidak mencuri ikat kepala putra mahkota. Kami bersumpah, kami tidak mencurinya!” “Sudahlah. Terimalah ganjaran kalian. Siapa yang bisa mempercayai sumpah pembohong. Algojo, penggal kepala mereka!”

Soma dan Sukra meronta-ronta. Di leher mereka diletakkan alat pemenggal kepala. Algojo telah bersiap. Tiba-tiba …. “Tunggu!” seruan penuh wibawa itu menggetarkan dinding ruang sidang. Semua yang ada di ruang itu bersimpuh menyaksikan kedatangan raja mereka. Raja Palguna memerintahkan algojo membuka penutup kepala Soma dan Sukra Kakak beradik itu menatap sosok di depan mereka dengan penuh ketakutan. Mereka buru-buru menunduk begitu mengenal wajah arif itu. Ternyata laki-laki berjenggot yang mereka temui beberapa waktu lalu adalah Raja Palguna. “Soma dan Sukra, gara-gara kalian banyak penduduk yang dirugikan. Yang paling parah, kalian menggunakan namaku untuk mempermudah pekerjaan busuk kalian. Sekarang kalian tahu, kebohongan yang kalian lakukan selama ini dapat berakibat sangat fatal. Tidak ada yang mempercayai kalian meskipun kalian tidak bersalah.” Suasana hening. Soma dan Sukra menunduk dalam. “Aku bisa saja membiarkan kepala kalian dipenggal. Kurasa itu cukup setimpal dengan perbuatan kalian selama ini. Tetapi aku ingin memberikan kesempatan pada kalian. Aku yakin, sejahat-jahat orang pasti dapat menjadi baik jika ada kemungkinan diberi kesempatan. Tetapi ingat, sekali saja kalian berbohong, tidak ada ampun lagi!” Soma dan Sukra sangat senang atas keputusan Raja Palguna. Mereka berjanji untuk berubah dan siap dipenggal jika menipu atau berbohong lagi.