Kisah Malin Kundang


Di sebuah desa hiduplah seorang janda dan seorang anak laki-lakinya yang bernama Malin. Mereka hidup sederhana. Malin adalah seorang nelayan. Tiap hari ia melaut untuk mencari ikan. Malin sangat menyayangi ibunya.


Suatu hari Malin berpamitan pada ibunya. Ia ingin mengubah nasibnya agar dapat membahagiakan ibunya. “Ibu, aku ingin pergi berlayar! Aku ingin mengubah kehidupan kita. Aku tidak ingin terus-terusan menderita, Ibu! Izinkan aku pergi, Bu!”. Sang ibu kaget mendengar perkataan anak semata wayangnya.




Rupanya ibu mengkhawatirkan keselamatan anaknya. “Anakku, sudahkah kau pikir masak-masak perihal kepergianmu itu? Kalau kau pergi, dengan siapa aku di sini? Aku takut sesuatu akan menimpamu di negeri seberang sana. Tidakkah kau pikirkan itu sekali lagi, anakku?”. Tetapi Malin tetap memaksa, ia meyakinkan pada ibunya kalau ia dapat menjaga diri. Ia juga berjanji tidak akan melupakan ibunya.

Dengan berat hati, sang ibu mengizinkan Malin pergi. Pagi itu, ibu mengantar Malin naik kapal ke negeri jauh. Sang ibu terus saja menangis dan meratapi kepergian anaknya. Kini, ibunya sendirian di rumah. Tiap malam ia berdoa untuk keselamatan dan kesejahteraan anaknya. Hari-harinya diisi dengan menjual ikan di pasar pelelangan ikan. Ini semua karena sang ibu tidak punya siapa-siapa lagi untuk menjadi sandaran hidupnya.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Tidak terasa sudah lama sang ibu hidup sendirian tanpa Malin, putranya. Suatu hari sebuah kapal mewah merapat di pantai dekat rumah Malin. Ternyata seorang saudagar kaya dan istrinya singgah di pantai itu. Orang-orang di sekitar pantai mengenali saudagar kaya itu adalah Malin. Tapi, Malin berpura-pura tidak mengenal mereka.

Kabar kedatangan Malin sampai juga ke telinga sang ibu. Sang ibu girang bukan main, mendengar putranya kembali. Ia berlari menuju pelabuhan tempat bersandarnya kapal Malin. Sesampainya di pantai, sang ibu berteriak “Malin, Malin anakku! Ibu sangat merindukanmu!”. Tetapi Malin menjawab, “Siapa kau? Berani menyebutku anakmu? Aku tidak mengenalmu!”. Hati sang ibu hancur bukan main, mendengar anak yang selama ini ia rindukan dan banggakan telah melupakan ibunya. Dalam kesedihan itu, sang ibu berteriak, “Engkau anak durhaka, terkutuklah kau menjadi batu!”. Dalam sekejap Malin yang angkuh itu pun berubah menjadi batu. Itulah kejahatan dan kedurhakaan anak pada orang tuanya, membuat hati ibu kecewa dan marah. Keangkuhan dan kesombongan inilah yang menyebabkan dikutuknya seorang anak oleh ibunya.