Kisah Asal Mula Padi


Pada zaman dulu, tinggallah Sanepa bersama istrinya, Tekuri. Mereka tinggal di kaki Gunung Takole, Kampung Wurawuri. Mereka dikaruniai anak perempuan yang mulai tumbuh dewasa. Kehidupan mereka sangat miskin. Akhirnya Sanepa dan Tekuri tidak tahan lagi. Mereka pun memutuskan untuk bertapa di sebuah gua. 

Tapa mereka memengaruhi Kahyangan. Kerajaan Kahyangan yang dulu subur makmur sekarang menjadi tandus. Kondisi ini membuat Batara Guru bersedih. Dia kemudian mengumpulkan para dewa. Pada pertemuan itu diputuskan Batara Narada, Batara Bayu, Batara Surya, dan Batara Indra turun ke bumi. Mereka ditugasi menanyakan tujuan suami istri itu bertapa. Mereka juga disuruh Batara Guru membawa Sanepa dan Tekuri ke Kahyangan. Mereka pun segera berangkat.


Sanepa dan Tekuri sangat terkejut ketika membuka mata. Mereka melihat empat dewa telah berada di hadapan mereka. Sanepa dan Tekuri mengutarakan maksud tapa mereka. Mereka ingin hidup enak. Setelah mengetahui alasan Sanepa dan Tekuri bertapa, Batara Narada segera membawa mereka ke Kahyangan. 

Setiba di Kahyangan mereka langsung dihadapkan kepada Batara Guru. Batara Guru menerima mereka. Mereka boleh tinggal di Kahyangan selama-lamanya dengan satu syarat. Mereka tidak boleh meng-umpat pada yang diberikan. Mereka menerima syarat itu. Mereka berjanji tidak akan melanggarnya.

Di Kahyangan mereka hidup senang. Segala sesuatu tersedia. Apabila mereka merasa lapar, tiba-tiba datang sebutir beras yang sangat besar. Sebutir beras berubah menjadi nasi, tanpa harus ditanak terlebih dahulu. Sanepa dan Tekuri tidak perlu bekerja. Mereka tidak perlu bersusah-susah.

Di Kahyangan ada seorang jin bernama Tolinga. Dia adalah jin berbentuk raksasa. Ia iri kepada Sanepa dan Tekuri. Dia tidak rela melihat manusia hidup senang di Kahyangan. Dia pun mengadu kepada Batara Guru.


“Batara Guru, mengapa Tuan mengizinkan manusia tinggal di Kahyangan? Bukankah ini tempat para dewa, Tuanku?” tanya Tolinga.

“Tolinga, kamu kutugasi menggoda umat manusia. Ternyata kamu tidak mampu menggoda pasangan itu. Akhirnya aku memutuskan mereka lulus ujian. Itulah sebabnya mereka aku izinkan tinggal di kerajaan para dewa ini,” kata Batara Guru. 

Mendengar penjelasan itu Tolinga baru tersadar. Muncullah pikiran jahatnya. Dia harus mampu menggoda Sanepa dan Tekuri. Dengan demikian, mereka akan dibuang dari Kahyangan. Tolinga pun me-ninggalkan Batara Guru tanpa mohon pamit. Dia ingin segera menying-kirkan pasangan itu dari Kahyangan. 

Tanpa terasa Sanepa dan Tekuri telah tinggal di Kahyangan lebih dari sebulan. Mereka sangat bahagia. Tanpa mereka sadari Tolinga terus menggoda. Akhirnya, usaha Tolinga berhasil. Sanepa dan Tekuri lupa pada janjinya untuk tidak mengumpat. 

“Kurang ajar! Mengapa kau datang tanpa kuundang? Pergi!” kata Sanepa dan Tekuri sambil memukul butir padi itu. Memperoleh pukulan seperti itu, butir padi pun mati. Sanepa dan Tekuri bingung. Mereka takut tindakan mereka ini diketahui Batara Guru. Mereka segera mengubur butir padi itu.

“Ha ... ha ... ha ...! Kalian telah melanggar janji. Rasakan akibatnya!” kata Tolinga yang muncul dengan tiba-tiba. 

Tidak lama kemudian Batara Guru datang. “Sanepa dan Tekuri, kalian tidak menepati janji. Kalian telah mengumpat dan bahkan membunuh butir padi yang kuberikan,” kata Batara Guru.

“Maafkan kami, Batara. Kami berjanji tidak akan mengulanginya,” kata pasangan itu sambil bersimpuh di hadapan Batara Guru.

“Aku ampuni kalian tetapi kalian harus tetap dihukum. Kalian harus diceburkan ke dalam kawah Condrodimuka. Kalian akan bebas apabila anak gadis kalian telah menebus dosa itu,” kata Batara Guru sambil berlalu.

Anak pasangan ini yang bernama Wanari telah tumbuh dewasa. Sudah beberapa hari dia berusaha mencari orang tuanya. Sampai suatu saat dia menemukan sebuah gua di dalam hutan. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam gua.

“Wanari, cucuku. Orang tuamu sudah tidak ada di dalam gua ini. Mereka telah pergi ke Kahyangan. Pergilah ke sana! Susullah mereka!” 

“Tapi, Eyang, bagaimana saya dapat pergi ke Kahyangan? Manusia tentu tidak diperbolehkan ke sana,” kata Wanari. 

“Gunakanlah pelangi sebagai jalan ke sana!” kata suara itu.

“Terima kasih, Eyang,” kata Wanari.

Akhirnya, Wanari sampai di Kahyangan. Dia dapat menemui kedua orang tuanya yang sudah terbebas dari kawah Condrodimuka. Kini mereka dihukum untuk bersawah. Mereka bercerita tentang padi dan sawah yang dikerjakannya. Sanepa mengurus sawah, mencangkul, menanam bibit, dan kemudian memanennya. Tekuri menumbuk padi itu hingga menjadi beras. Mereka tidak boleh kembali ke bumi.

“Makanan ini enak sekali. Wah, betapa senang manusia di bumi jika memiliki padi ini. Pasti mereka akan gembira dan berterima kasih kepadaku. Aku akan membawa padi ini ke bumi!” kata Wanari.

“Jangan, Anakku! Kamu nanti dapat hukuman dari dewa,” cegah ibunya.

“Tapi, Bu, niatku sudah bulat. Aku akan mencari cara agar bisa membawa padi ini ke bumi,” kata Wanari.

Wanari nekad menyembunyikan benih padi itu di dalam mulutnya. Ketika dia akan kembali ke bumi, dia dicegat oleh penjaga pintu gerbang Kahyangan.

“Mau ke mana kau, Wanari?” tanya sang penjaga.

“Aku akan kembali ke bumi,” katanya.

“Suaramu terdengar aneh. Pasti kausembunyikan sesuatu di mulutmu. Keluarkan bibit padi itu! Kalau tidak, kamu akan kulaporkan kepada Batara Guru. Kamu tidak boleh menyebarkannya di bumi!” kata penjaga itu dengan nada mengancam.

“Baiklah!” kata Wanari sambil mengeluarkan benih padi dari mulutnya.

Karena perbuatannya itu, Wanari mendapat hukuman. Di kakinya diberi luka oleh dewata sehingga dia tidak dapat pergi jauh. Dia juga harus membantu ibunya menjemur padi. 

Beberapa kali usaha Wanari untuk membawa bibit padi ke bumi gagal. Dia tidak putus asa. Akhirnya, dia temukan cara yang sangat jitu. Dia masukkan beberapa butir bibit padi ke dalam lukanya. Setelah lukanya sembuh, Wanari segera meninggalkan Kahyangan. Penjaga tidak tahu bahwa Wanari membawa bibit padi melalui bekas lukanya. Selamatlah dia! Dia bawa bibit padi ke bumi. Sejak saat itu manusia menikmati makanan dewa.

Batara Guru sebenarnya mengetahui tindakan Wanari. Dia bahkan meminta Dewi Sri untuk mengawasi tanaman padi. Dewi Sri berjanji akan membantu manusia mengurus sawah dan padinya. Sebaliknya, dia akan marah apabila manusia menyia-nyiakannya.