Sejarah Assassin


Hassasin, bahasa Arab الحشاشين, transliterasi "Al-Hasyasyiin", (juga disebut Hasyisyin, Hasyasyiyyin, Hasysyasyin atau Assassin) adalah salah satu cabang dari Islam Syi'ah Ismailiyah. Mereka mendirikan beberapa pemukiman di Iran, Irak, Suriah dan Lebanon di bawah pemimpin karismatik Hasan-i Sabbah. Mereka mengirim orang yang berdedikasi untuk membunuh pemimpin penting Sunni, yang dianggap mereka sebagai "kaum kafir perebut takhta."


Sebutan Hashyashyin atau dalam lidah orang Barat “Assassins” berasal dari catatan Marcopolo. Pelaut ternama dari Venesia ini pada tahun 1271-1272 melintasi daerah Alamut, sebuah benteng besar di atas karang yang sangat kuat dan memiliki taman yang sangat indah di dalamnya, di wilayah Persia.

Dalam catatannya tentang Benteng Alamut dan aktivitas sekte Syiah pimpinan Hasan al-Sabbah, yang diistilahkan oleh Marcopolo sebagai kaum Assassins, pelaut Italia ini menulis:

“…Beberapa pemuda yang berumur dua belas hingga dua puluh tahun yang memiliki semangat tarung yang tinggi, dibawa masuk ke dalam taman yang berada di tengah-tengah benteng. Mereka dibawa masuk bergiliran, sekitar empat, enam, atau sepuluh pemuda. Sebelumnya, mereka disuguhi minuman keras dan candu yang membuat mereka mabuk berat atu tertidur pulas. Baru setelah itu mereka diangkat dan dipindahkan ke dalam taman.

Ketika bangun, para pemuda itu mendaati dirinya berada di tengah taman yang sangat indah. Mereka dikelilingi para gadis-gadis perawan yang mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para gadis itu menghibur, merayu, dan melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka sungguh-sungguh dimanjakan.

Para pemuda itu menyangka mereka sedang berada di surga. Sehingga ketika Hasan al-Sabbah sebagai pimpinan tertinggi Hashyashyin memberi tugas atau perintah kepada mereka maka mereka akan dengan senang hati akan melaksanakannya.

“Surga” yang sangat indah telah menantikan para pemuda tersebut jika tugasnya selesai. “Saat kau kembali, bidadari-bidadariku akan membawamu ke surga. Dan jika pun kau mati, kau pun akan pergi juga ke surga, ” ujarnya.

Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh Marcopolo, kelompok ini disebut kaum Hashyashyin.


****

Assassin: Pemburu Maut dari Lembah Alamut (1)
Kelompok Assassin merupakan sebuah sekte pecahan Syiah Ismailiyah. Ia didirikan oleh Hasan al-Sabbah, seorang keturunan Yaman yang lahir dan menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di wilayah Iran

Jika anak-anak muda pada hari ini ditanya apa yang mereka ketahui tentang Assassin, mungkin mereka serentak akan menjawab bahwa itu adalah nama sebuah game online. Jika pengetahuannya hanya berhenti sampai di situ, tentu sayang sekali. Karena Assassin sebenarnya bukan sebuah cerita atau permainan fiktif. Ia adalah sebuah sekte keagamaan cukup besar yang pernah muncul dalam sejarah. Kumpulan ini memang lahir di dunia Islam, tetapi juga memberi kesan yang kuat di dalam imajinasi Barat, sayangnya tidak dalam pengertian yang positif.

Kelompok Assassin merupakan sebuah sekte pecahan Syiah Ismailiyah. Ia didirikan oleh Hasan al-Sabbah, seorang keturunan Yaman yang lahir dan menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di wilayah Iran. Kajian tentang Assassin tak akan lengkap tanpa membahas sosok yang satu ini.

Hasan al-Sabbah lahir pada pertengahan abad ke-11 di kota Qum, Iran. Ia kemudian mengikuti orangtuanya pindah ke kota Rayy (Teheran). Mengikut keyakinan keluarganya, Hasan menganut faham Syiah Itsna Asy’ariyah (Dua Belas Imam). Dalam cuplikan biografinya, sebagaimana dikutip oleh Bernard Lewis dalam bukunya Assassin, Hasan menulis bahwa, “sejak berusia tujuh tahun, aku sudah jatuh hati pada kepada pelbagai cabang ilmu pengetahuan dan bercita-cita menjadi ulama.” Hingga sepuluh tahun berikutnya, ia “menjadi pencari dan penuntut ilmu dengan tetap mempertahankan keyakinan Syiah Dua Belas Imam” yang dianut oleh ayahnya.

Keadaan berubah saat ia bertemu seorang dai Ismailiyah bernama Amira Darrab; seorang rafiq (sahabat) mengikut istilah yang digunakan di kalangan Ismailiyah. Hasan pada awalnya menolak pandangan-pandangan Amira Darrab. Namun kepribadiannya yang menarik dan kepandaiannnya berargumen membuat keyakinan Hasan akhirnya goyah. Ia pun berpindah keyakinan kepada Ismailiyah yang pada masa itu memang lebih dominan dibandingkan Itsna Asy’ariyah. Pada pertengahan tahun 1072, Hasan dibaiat oleh pimpinan dai Ismailiyah di Persia Barat dan Irak, Abdul Malik bin Attasy.

Sekitar empat tahun kemudian, ia melakukan perjalanan dari Rayy menuju Isfahan. Setelah itu ia ke Kairo, tempat bersemayam Khalifah Fatimiyah, al-Mustansir (w.1094), sekaligus pusat pemerintahan Ismailiyah ketika itu. Ia tiba di Kairo pada pertengahan tahun 1078. Hasan hanya menetap tiga tahun di kota itu dan juga Aleksandria. Belakangan ia berseteru dengan wazir Badr al-Jamali yang menyebabkan ia terpaksa pergi meninggalkan Mesir dan kembali ke Persia.

Tahun kedatangan Hasan di Kairo, 1078, juga merupakan tahun kematian Mu’ayyad al-Din al-Shirazi, pimpinan misionaris (Da’i al-Du’at) Ismailiyah sekaligus intelektual penting yang membawa falsafah Ismailiyah kepada puncaknya. Kedudukannya digantikan oleh Badr al-Jamali (w. 1094), seorang bekas budak Armenia yang karirnya menanjak cepat di pemerintahan Fatimiyah. Badr al-Jamali juga merupakan wazir dan kepala tentara Fatimiyah. Kuatnya pengaruh Badr al-Jamali serta keturunannya pada masa berikutnya akan menyebabkan posisi Khalifah Fatimiyah mulai tersandera dan kehilangan pengaruh, sebagaimana yang terjadi pada Dinasti Abbasiyah.

Kelak Badr al-Jamali dan anaknya yang meneruskan kedudukannya, al-Afdal, akan menyingkirkan putra mahkota Fatimiyah yang memiliki dukungan luas, Nizar (w. 1095/1097), dan menggantinya dengan putera Khalifah yang lain. Hal itu nantinya akan memicu perpecahan di dunia Ismailiyah, antara pihak yang berkuasa di Kairo dan pihak yang pro-Nizar di mana Hasan al-Sabbah menjadi salah satu pendukung utamanya. Tapi hal ini baru terjadi sekitar dua dekade setelah keberadaan Hasan al-Sabbah di Mesir.

Setelah meninggalkan Mesir, Hasan al-Sabbah kembali ke wilayah Iran dan menyebarkan dakwah Ismailiyah di sana. Pada akhir tahun 1080-an, ia memfokuskan dakwahnya di wilayah Dailam di utara Iran. Masyarakat di wilayah itu tidak puas dengan pemerintahan Abbasiyah dan Saljuk, mayoritasnya menganut Syiah, dan wilayah itu tidak sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah karena lokasinya yang agak jauh dari pusat pemerintahan.

Di wilayah itu, tepatnya di pegunungan Alborz, ada sebuah benteng yang sangat strategis dan sulit dijangkau. Benteng itu dibangun pada masa silam oleh seorang raja Dailam yang menemukan lokasi tersebut ketika burung elangnya terbang ke tempat itu saat sedang berburu. Ia pun membangun benteng di sana dan memberinya nama Aluh Amut yang menurut bahasa setempat bermakna ‘Petunjuk Elang’. Nama itu kemudian berubah menjadi Alamut.

Secara bertahap, Hassan menyusupkan orang-orangnya ke dalam benteng Alamut dan menyebarkan pengaruh secara rahasia di dalam benteng. Pada tahun 1090, ia sendiri menyusup dengan menyamar ke dalam benteng. Ketika penguasa benteng itu akhirnya mengetahui apa yang terjadi, keadaannya sudah terlambat, karena pengaruh Hasan al-Sabbah sudah terlalu kuat. Ia terpaksa menerima tawaran Hasan agar menjual benteng itu kepadanya seharga 3000 dinar emas dan pergi meninggalkan benteng itu setelahnya.

Penguasa Saljuk berusaha merebut kembali Alamut setelah benteng itu dikuasai oleh Hasan, tetapi mereka tidak berhasil.Alamut tetap berada di bawah kekuasaan Hasan dan para pengikutnya hingga satu setengah abad berikutnya.

Dikuasainya benteng Alamut oleh Hasan al-Sabbah menandai era baru gerakan Ismailiyah di wilayah Persia, serta “meletakkan dasar bagi sebuah negara baru dan unik, di atas prinsip yang sangat berbeda dengan masyarakat Sunni di sekitarnya,” tulis Marshall Hodgson dalam The Order of Assassin.

Hal ini juga menandai kemunculan sebuah kelompok yang kemudian terkenal dengan penggunaan cara-cara berdarah dalam menghabisi lawan-lawan politiknya. Seperti dikatakan Steven Runciman dalam A History of the Crusades, “Senjata politik utama yang digunakannya (Hasan al-Sabbah, pen.) adalah apa yang dengannya para pengikutnya melahirkan namanya, pembunuhan”.

Ya, para pengikut al-Sabbah memang kelak dikenal, terutama di Barat, sebagai kaum Assassin (Pembunuh).

Di Alamut, Hasan dan para pengikutnya mendirikan sebuah kastil, atau Eagle's Nest, di mana Hassan Sabbah mengambil gelar tradisional yaitu Syekh al-Jabal, atau "Old Man of the Mountain"

Sejak menguasai Alamut, Hasan berusaha menguasai benteng-benteng strategis lainnya di kawasan Iran Utara. Hal ini menjadi ciri khas gerakan Assassin pada masa-masa berikutnya, yaitu menguasai kastil-kastil yang sulit dijangkau di kawasan pegunungan yang agak jauh dari pusat-pusat pemerintahan Saljuk. Selain itu, Hasan juga mengembangkan doktrin Ismailiyah yang kemudian dikenal sebagai “dakwah baru” (al-da’wa al-jadida). Menurut Farhad Daftary dalam artikelnya “Hasan Sabbah”, dakwah baru ini sebenarnya merupakan formulasi ulang dari doktrin ta’lim (authoritative instruction) yang sudah mapan di dalam ajaran Ismailiyah.

Hasan mampu membangun otoritas yang kuat di kalangan pengikutnya sehingga dapat dikatakan mereka mentaatinya secara mutlak. Para pengikutnya itu siap mati dalam menjalankan perintah Hasan dan para pemimpin setelahnya. Hasan sendiri disebut oleh para pengikutnya dengan sebutan Sayyidna (our Master).

Hasan melatih sebagian pengikutnya secara khusus untuk melakukan penyamaran, penyusupan, dan pembunuhan. Para pembunuh ini, biasanya disebut fida’i, ditugaskan untuk membunuh tokoh-tokoh penting di kalangan Ahlu Sunnah. Para pembunuh terlatih ini harus siap mati, karena biasanya mereka akan mati dalam menjalankan tugasnya, baik tugas itu berhasil ataupun gagal.

Penulis adalah ahli sejarah, penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” dan“Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III”. Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan dalam Bulletin Busyra milik Rabithah Alawiyah.



*****


Assassin: Pemburu Maut dari Lembah Alamut (2)
Sejak keberhasilannya membunuh Nizam al-Muluk, kaum Assassin menggunakan metode yang sama meneror pemimpin Sunni. Belakangan aksi membunuh dengan upah ditiru Eropa

Orang pertama yang menjadi sasaran pembunuhan kaum Assassin adalah Nizam al-Muluk (w. 1092). Ia merupakan wazir paling penting Dinasti Saljuk, sekaligus salah satu tokoh utama kebangkitan kembali Ahlu Sunnah pada masa itu, selain Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) dari kalangan ulama. Nizam al-Muluk dibunuh saat melakukan perjalanan haji pada tahun 1092.

Ketika ia tiba di daerah Nahawand, seorang pemuda Dailam yang menyusup ke rombongannya dengan mengenakan pakaian Sufi meminta izin untuk mendekat kepadanya. Saat ia diberi izin dan mendekat kepada Nizam al-Muluk, ia langsung mengeluarkan belati dan menikam sang wazir tepat di jantungnya. Nizam al-Muluk wafat tak lama kemudian.

Pemuda Dailam yang merupakan pengikut Hasan al-Sabbah itu berhasil ditangkap dan dihukum mati. Namun perbuatannya itu tidak hanya mengakhiri hidup satu orang, tetapi memberi dampak serius pada Dinasti Saljuk secara keseluruhan, karena Nizam al-Muluk adalah arsitek sesungguhnya dari Dinasti tersebut.

Beberapa waktu kemudian, masih pada tahun yang sama, Sultan Turki Saljuk, Maliksyah, meninggal dunia. Setelah itu, Dinasti Saljuk mengalami perpecahan dan kemunduran, dan tidak pernah bangkit kembali setelahnya.

Dengan melemahnya Dinasti Saljuk, maka kaum Assassin menjadi lebih leluasa dalam menyebarkan pengaruhnya di wilayah-wilayah Sunni. Pecah dan melemahnya Dinasti Saljuk juga menjadi faktor utama yang mendorong terjadinya Perang Salib I, karena Byzantium melihat peluang di balik perpecahan itu dan ia mengajak orang-orang Frank (Eropa Barat) untuk melakukan serangan ke Asia Minor dan Suriah. Saat pasukan salib masuk dan menetap di wilayah Suriah dan Palestina nantinya kita akan menemukan kaum Assassin dalam banyak kesempatan menjalin hubungan persahabatan dengan orang-orang Frank. Karena musuh utama mereka adalah Ahlu Sunnah, bukan orang-orang Kristen Eropa.

Menjelang atau bertepatan dengan masuknya pasukan salib ke Asia Minor dan Suriah itu pula terjadi perpecahan di dunia Syiah Ismailiyah. Khalifah Fatimiyah, al-Mustansir, wafat pada tahun 1094. Nizar yang merupakan putera mahkota digulingkan dari kekuasaan oleh wazir al-Afdal. Adik Nizar, al-Musta’li, diangkat oleh al-Afdal sebagai khalifah yang baru. Nizar menolak menerima hal itu, tetapi akhirnya ia mati dibunuh.

Banyak kalangan Ismailiyah di luar Mesir tidak bisa menerima hal itu, terutama yang berada di kawasan Iran dan sekitarnya. Bagi mereka, Nizar merupakan putra mahkota yang sah. Hal ini juga sejalan dengan doktrin Ismailiyah yang menetapkan anak pertama dari imam sebelumnya sebagai imam penerus, sebagaimana penetapan mereka atas Ismail sebagai imam Syiah ketujuh yang sah, dan bukan Musa al-Kadzim, karena Ismail merupakan anak tertua Ja’far Shadiq.

Mereka yang mendukung Nizar selanjutnya disebut sebagai Nizari, dan Hasan al-Sabbah merupakan pendukung terkuatnya. Sejak itu mulai berkembang ide tentang ghaibnya Imam Nizar di kalangan Nizari, atau dikatakan bahwa keturunannya telah melarikan diri dari Kairo dan berlindung di benteng Alamut sebagaimana yang diklaim pihak al-Sabbah. Pada intinya, para pendukung Nizar kini berseberangan dan bermusuhan dengan pusat kekuasaan Fatimiyah di Mesir. Dengan begitu, Alamut dan kastil-kastil pendukungnya menjadi sentral pemerintahan Ismailiyah (Nizari) yang bergerak secara independen, terpisah dari pemerintahan Kairo.

Teror kaum Sunni
Sejak keberhasilannya dalam membunuh Nizam al-Muluk, kaum Assassin menggunakan metode yang sama untuk meneror para pemimpin Sunni. Beberapa pemimpin di dunia Sunni menjadi korban pembunuhan kaum Assassin di sepanjang abad ke-12. Kaum Assassin menyamar dan menyusup ke tempat yang biasa diakses calon korbannya. Kadang mereka mampu menyusup dan menjadi orang-orang kepercayaan di lingkaran terdekat si calon korban, dan siap menerima instruksi dari Tuan mereka untuk melakukan eksekusi.

Mereka menyamar sebagai tentara, sebagai pelayan, sebagai pedagang, atau sebagai seorang Sufi yang berpakaian sederhana. Ketika saatnya tiba, mereka melakukan serangan mematikan tanpa diduga. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Amin Maalouf dalam bukunya “The Crusades through Arab Eyes“, walaupun persiapannya selalu dijalankan dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi, eksekusinya dilaksanakan di tempat terbuka, bahkan di depan kerumunan yang besar. Itulah sebabnya mengapa lokasi (pembunuhan) yang disukai adalah masjid, hari favoritnya adalah Jum’at, dan pada umumnya (dilakukan) pada tengah hari.

Pada masa-masa berikutnya, “Semua pemimpin Muslim Sunni belajar untuk takut kepada mereka, demikian pula dengan kaum Salib (Crusaders) tak lama setelahnya …,” tulis Michael Paine dalam The Crusades. “Rasa takut terhadap serangan mendadak yang tak diduga di tengah kerumunan pasar atau di lapangan meningkat hingga ke level paranoia di kalangan sebagian pemimpin.”

Aksi-aksi kaum Assassin (Batiniyah) memakan banyak korban, bukan hanya para emir Muslim, tapi juga para ulama. Bahkan Khalifah Fatimiyah, al-Amir Bi-Ahkamillah (w. 1130), dan Khalifah Abbasiyah, al-Mustarsyid (w. 1135), termasuk yang menjadi korban pembunuhan Assassin. Begitu banyak kasus pembunuhan, “sehingga memaksa beberapa pejabat memakai baju pengaman dari besi yang dipasang di balik baju,” tulis al-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa’. Mereka mengenakan baju besi itu pada hari-hari yang biasa, di luar masa-masa peperangan.

Belakangan, pemimpin Frank pun ada yang menjadi korban pembunuhan kelompok ini, di antaranya yang terkenal adalah Conrad of Montferrat (w. 1192) yang dibunuh pada akhir masa Perang Salib III.

“Keyakinan dan metode mereka (Assassin, pen.) menjadikan mereka buah bibir dalam hal fanatisme dan terorisme di Suriah dan Persia pada abad ke-11 dan 12, dan menjadi subyek mitos dan legenda yang tumbuh dengan subur,” tulis Philippus Laurentinus, seorang Grand Master Elder Brethren Rose and Cross, dalam Baphomet Veneration among the Crusaders.

Sementara sebagian pemimpin merasa khawatir dengan ancaman pembunuhan Assassin, sebagian lainnya justru menjalin hubungan secara diam-diam dan memanfaatkan jasa dan keterampilan mereka yang unik.

Kaum Assassin sendiri belakangan bersedia melakukan aksi pembunuhan yang diminta oleh pihak lain dengan menerima bayaran tertentu. Karakteristik inilah yang menemukan jalannya ke Eropa menjadi sebuah kosa kata yang khas untuk menggambarkan perilaku yang sama. Assassin dalam bahasa Inggris yang digunakan sekarang ini kurang lebih bermakna “seseorang yang membunuh orang lainnya, biasanya orang penting atau terkenal, untuk alasan politik atau uang.”

Kata Assassin sendiri sebenarnya tidak begitu populer di tengah masyarakat Muslim Timur Tengah ketika itu. Mereka biasanya menyebut kelompok ini, dan kalangan Ismailiyah pada umumnya, dengan sebutan Batiniyah. Hal ini disebabkan, sebagaimana dijelaskan oleh Ali M. Sallabi dalam buku Salah ad-Deen al-Ayubi, mereka meyakini bahwa untuk setiap yang tampak (zahir) terdapat manifestasi yang tersembunyi (batin) dan bagi setiap wahyu ada interpretasinya (yang bersifat batin atau esoteris, pen.). Selain itu, mereka juga cenderung menyembunyikan dakwah dan keyakinan mereka saat berada di tengah komunitas Ahlu Sunnah.


Penulis adalah ahli sejarah, penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” dan“Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III”. Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan dalam Bulletin Busyra milik Rabithah Alawiyaha


*****


Ternyata, Teroris Kelas Dunia Ini Bentukan Syi’ah
Kelompok teroris ini didirikan oleh Hasan al-Sabbah atau yang dikenal dengan The Old Man of Mountain yang lahir di Qum Iran pada abad 11. Ialah Assassin atau Hashashin. Sebuah pendapat mengatakan, hashashin berasal dari bentuk korup sebuah kata dari bahasa Arab, hashish yang bermakna ganja.

Maka di antara definisi dari Assassin adalah sekelompok orang yang mengisap sejenis ganja untuk menghadirkan efek tertentu yang membuat mereka berani melakukan aksi teror. Assassin tumbuh dari sebuah benteng bernama Alamut yang terletak di pegunungan Iran bagian utara.

Dalam catatan sejarah, kelompok teroris kelas dunia ini merupakan bentukan salah satu sekte aliran syi’ah ismailiyah. Mereka berani membunuh siapa pun yang tak sepemikiran dengannya, bahkan kelompok teror ini, pada akhirnya menjadi pembunuh bayaran yang menerima order dari siapa saja yang bisa membayar.

Musuh Semua Kalangan
Kelompok teroris ini merupakan musuh dari berbagai kelompok yang berkuasa pada zamannya. Mereka pernah menjadi momok dalam membunuh pasukan Salib Eropa, menyerang pemimpin politik Bani Saljuk dan juga Dinasti Abbasiyah.

Mereka juga berkali-kali melakukan percobaan pembunuhan terhadap jenderal legendaris Shalahuddin al-Ayyubi, meski mengalami kegagalan. Sebagai balasannya, Shalahuddin mengerahkan angkatan darat dan lautnya untuk mengepung kelompok Assassin yang kala itu menguasai wilayah Suriah.

Meski tak berhasil membumi hanguskan, Shalahuddin berhasil mempersempit gerak kelompok teroris yang menjadikan Nizam al-Mulk sebagai korban pertamanya. Nizam al-Mulk merupakan wazir utama Daulah Bani Saljuk dan pemersatu kaum Sunni ini ditusuk dengan belati oleh salah satu anggota Assassin yang menyusup ke dalam rombongan wazir.

Dalam menjalankan aksinya, Assassin benar-benar menghalalkan segala cara, asal target utamanya tergapai. Karena itu, mereka kerap menyamar sebagai sufi, orang miskin, orang gila, bahkan sebagai seorang bangsawan.

Yang menjadi ciri kelompok teroris bentukan syi’ah ini, mereka selalu membunuh target di tempat umum. Sengaja dilakukan di ruang publik sekaligus memberikan teror takut dan cekam kepada masyarakat sekitar.

Mereka, sebagaimana disebutkan dalam sebuah dokumen sejarah, merupakan kelompok teroris yang terorganisasi, terlatih, dan mempunyai kemampuan membunuh dengan cepat.

Wallahu a’lam. [Pirman/BersamaDakwah]


0 Response to "Sejarah Assassin"

Post a Comment