Sejarah Dewa Ganesha


Di dalam agama Hindu, Ganesha termasuk salah satu dewa yang paling populer, di samping Dewa-dewa Trimurti, yakni Brahma (dewa pencipta alam semesta), Wisnu (dewa pemelihara alam semesta), dan Siwa (dewa perusak alam semesta). Sejak bertahun-tahun lalu temuan arca Ganesha dari seluruh Indonesia sangat banyak jumlahnya. Ada yang berhiasan sederhana, ada pula yang kelihatan megah. Hal ini tentu saja disesuaikan dengan keterampilan seniman pembuatnya atau kondisi ekonomi masyarakat sekitar.

Ganesa atau Ganesha adalah dewa berkepala gajah. Di kalangan masyarakat Hindu, Ganesha dianggap setengah manusia dan setengah dewa. Peranan Ganesha begitu penting karena dia adalah anak Dewa Siwa.

Masyarakat Hindu percaya Ganesha merupakan dewa ilmu pengetahuan. Maka di banyak tempat, termasuk di Indonesia, sampai sekarang masyarakat Hindu sering membangun kuil berisi Dewa Ganesha. Konon hal ini dimaksudkan agar anak-anak yang dilahirkan menjadi pintar dan berbakti kepada orang tua.

Sebagai dewa ilmu pengetahuan, Ganesha selalu mengundang kekaguman para pakar ikonografi (pengetahuan tentang seni arca kuno) karena bentuk, gaya seni, dan langgamnya yang berbeda-beda. Namun ciri utama Ganesha tetap sama, yakni memiliki belalai yang sedang mengisap isi mangkok dalam genggaman tangan depannya.

Mangkok tersebut, menurut mitologi Hindu, berisi cairan ilmu pengetahuan yang tidak habis-habisnya walaupun diisap terus-menerus olehnya. Hal inilah yang kemudian diidentikkan dengan ilmu pengetahuan, yang tak pernah habis digali dan tak pernah henti digarap. Mungkin, hal demikianlah yang diharapkan dari para manusia.

Karena popularitas Ganesha sangat tinggi, dia juga dipuja sebagai dewa penyingkir segala rintangan, baik gangguan gaib (magis) maupun gangguan fisik. Ganesha semakin dipuja karena dia memiliki sahabat karib tikus. Sang tikus kemudian dijadikannya sebagai wahana (= kendaraan tunggangan). Karena itu dalam pengarcaannya Ganesha selalu menunggang tikus (musaka). Musaka merupakan simbol dari keangkuhan diri. Jadi diharapkan musaka itu akan berperan sebagai pengendali dari keangkuhan seseorang.

Sering diartikan pula bahwa tikus sesuai dengan sifat Ganesha. Tikus dapat melewati segala rintangan di lokasi mana pun, seperti di dalam rumah, sawah, dan selokan. Begitu pun yang diharapkan dari Ganesha, karena gajah mampu mendobrak segala pepohonan di hutan dengan tubuhnya yang gagah dan kuat. Pepohonan diibaratkan berbagai masalah besar.

Menurut para arkeolog di zaman Hindia Belanda seperti W.F. Stutterheim dan R. Goris, pemujaan secara khusus kepada Ganesha (dinamakan Ganaphati), banyak dilakukan masyarakat kuno di Jawa dan Bali. Tafsiran ini didasarkan atas banyaknya temuan arca Ganesha di sejumlah situs arkeologi. Uniknya, pemujaan sejenis kepada dewa-dewa lainnya tidak pernah ditemukan. Kemungkinan dewa-dewa lain kurang memperoleh perhatian dari masyarakat kuno karena peranannya dianggap kecil.

Mitologi 
Sebagai salah satu dewa terkemuka dan banyak pemujanya, Ganesha banyak dikupas sejumlah sumber kuno. Versi yang paling dikenal terdapat dalam kitab Smaradahana.

Dikisahkan, suatu ketika Kadewataan akan diserang oleh para raksasa pimpinan Nila Rudraka. Karena para dewa tidak mampu menghadapi para raksasa itu, mereka bersepakat untuk meminta bantuan kepada Dewa Siwa yang ketika itu sedang bertapa. Setelah berunding, mereka menunjuk Dewa Kamajaya untuk membangunkan Dewa Siwa dari pertapaannya itu.

Ternyata, Dewa Siwa sulit untuk dibangunkan. Dengan terpaksa Dewa Kamajaya mengeluarkan senjata andalannya, yakni panah pancavisaya. Senjata ini terkenal sangat ampuh untuk membangkitkan birahi dan rasa rindu. Setelah terkena panah itu, Dewa Siwa pun rindu kepada isterinya, Dewi Uma, yang berada di Kadewataan. Akhirnya, Dewi Uma hamil.

Suatu saat, para dewa menghadap Dewa Siwa untuk mengabarkan bahwa tentara Nila Rudraka hampir mendekati Kadewataan. Di antara para dewa itu terdapat Dewa Indra yang menaiki gajah Airavata yang gagah dan super besar. Tanpa disangka, Dewi Uma yang sedang hamil tua sangat ketakutan melihat gajah itu sehingga dia jatuh pingsan.

Setelah saatnya tiba Dewi Uma pun melahirkan anak tepat seperti ucapan Dewa Siwa, yakni berkepala gajah dan berbadan manusia. Anak itu lalu diberi nama Ganesha, dimaksudkan agar segera mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk mengalahkan para raksasa jahat.

Ketika dilibatkan dalam peperangan, mula-mula Ganesha mengalahkan para tentara raksasa. Seluruh musuh para dewa itu dilibasnya dengan mudah. Setelah semuanya mati, Ganesha tinggal berhadapan langsung dengan pimpinan tentara raksasa jahat, yaitu Nila Rudraka.

Duel yang maha dahsyat pun terjadi di antara keduanya. Semakin sengit duel itu, ternyata tubuh Ganesha semakin besar. Pada suatu ketika Nila Rudraka berhasil mematahkan salah satu gading Ganesha. Sambil memegangi patahan gadingnya lalu Ganesha mengeluarkan senjata andalannya, yaitu parasu (kapak pendek). Dengan senjata itu akhirnya Ganesha dapat membinasakan Nila Rudraka.

Sesuai mitologi ini maka dalam pengarcaannya Ganesha selalu ditampilkan memegang patahan gading di salah satu tangannya dan parasu di tangan yang lain. Dua tangan lainnya memegang aksamala (tasbih) dan mangkok. Dengan demikian Ganesha bertangan empat, sebagai pertanda bahwa kemampuan Ganesha melebihi manusia biasa.

Rupa-rupanya penganut Ganesha memiliki berbagai aliran. Ini terlihat ketika para seniman tidak selalu konsisten dalam memahat arca Ganesha. Yang paling jelas terlihat pada gadingnya, sebagaimana temuan di sejumlah candi. Ada yang patah di sebelah kanan, ada yang di sebelah kiri, dan ada pula yang keduanya tidak patah. Namun yang paling banyak dijumpai pada situs-situs arkeologi adalah Ganesha bergading satu (disebut ekadanta).

Selain itu, sikap Ganesha pun digambarkan berbeda-beda. Sebagian seniman menggambarkannya dalam sikap duduk. Sebagian lagi melukiskannya dalam posisi berdiri. Ini pun memiliki beberapa variasi, seperti berdiri dengan kedua kaki dan berdiri di atas satu kaki. Secara panjang lebar arkeolog Edi Sedyawati pernah membahas topik ini dalam disertasinya “Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian” (1992).

Ternyata Ganesha bukan saja dipuja sebagai dewa ilmu pengetahuan dan penyingkir segala rintangan, tetapi juga sebagai dewa kebijaksanaan dan kesenian. Di negara asalnya, India, Ganesha juga dipandang sebagai dewa keberuntungan dan kemakmuran karena dalam penggambarannya Ganesha memerlihatkan perut yang besar.

Kini nama Ganesha sudah demikian populer karena banyak dipakai oleh lembaga atau perusahaan di Indonesia. Institut Teknologi Bandung (ITB) menggunakannya sebagai lambang atau logo. Banyak perusahaan menggunakannya sebagai merk dagang. Tampaknya fenomena Ganesha tak pernah pudar.

Diciptakan Parwati, Dibunuh Siwa 
Menurut Kitab Siwa Purana, pada suatu hari Dewi Parvati—isteri Dewa Siwa—ingin mandi. Karena tidak ingin diganggu, maka dia menciptakan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ganesha. Dia berpesan kepada Ganesha agar tidak mengizinkan siapa pun masuk ke rumahnya saat Dewi Parwati mandi. Dia pun hanya boleh menuruti perintah Dewi Parwati. Pesan dan perintah tersebut dilaksanakan dengan baik oleh Ganesha.

Syahdan Dewa Siwa suami Dewi Parwati pulang dan hendak masuk ke rumahnya. Namun ia tidak dapat masuk karena dihadang oleh si anak kecil itu. Ganesha melarangnya karena dia melaksanakan perintah Dewi Parwati.

Dewa Siwa menjelaskan bahwa ia suami Dewi Parwati dan rumah yang dijaga Ganesha adalah rumahnya juga. Namun Ganesha tetap tidak mau mendengarkan perintah Dewa Siwa. Ini sesuai dengan perintah ibunya untuk tidak mendengar perintah siapapun.

Dewa Siwa kehilangan kesabarannya dan bertarung dengan Ganesha. Pertarungan amat sengit sampai akhirnya Dewa Siwa menggunakan Trisulanya dan memenggal kepala Ganesha. Saat Dewi Parwati selesai mandi, ia menemukan putranya sudah tak bernyawa. Mengetahui putranya dibunuh oleh Dewa Siwa, ia menjadi amat marah dan menuntut agar anaknya dihidupkan kembali.

Dewa Siwa tersadar akan perbuatannya dan ia menyanggupi permohonan istrinya. Dewa Siwa kemudian menemui Dewa Brahma menceritakan kejadian tersebut. Atas saran Dewa Brahma, Dewa Siwa mengutus abdinya, Gana, untuk memenggal kepala makhluk apapun yang dilihatnya pertama kali yang menghadap ke utara.

Ketika turun ke dunia, Gana mendapati seekor gajah dengan kepala menghadap utara. Saat mengetahui kepalanya akan dipenggal sang gajah melawan hingga salah satu gadingnya patah. Namun kepala gajah itu pun akhirnya dapat dipenggal dan digunakan untuk menggantikan kepala Ganesha. Akhirnya Ganesha dihidupkan kembali oleh Dewa Siwa.

Kepala Pemuda Tampan
Kelahiran Ganesha, menurut versi lain, dilatari oleh permintaan Indra dan para dewa, agar Siwa menciptakan tokoh yang dapat mengalahkan raksasa yang ingin menguasai tempat tinggal para dewa. Kemudian Siwa mengerahkan salah satu kekuatannya dalam ujud seorang pemuda tampan yang lahir dari rahim Parwati. Pemuda tersebut diberi nama Vighneswara (Penyingkir Rintangan). Kelak dia diperintahkan untuk mengalahkan para raksasa.

Parwati sangat bangga akan ketampanan putranya. Maka dia mengundang para dewa untuk memamerkan putranya itu. Semua dewa memandang kagum kepada Vighneswara. Kecuali Sani (Saturnus), dia tidak mau memandang Vighneswara karena membawa kutukan isterinya. Konon, apa saja yang dipandangnya akan berubah menjadi abu.

Meskipun sudah menolak, Parwati tetap meminta Sani memandang putranya. Akibatnya kepala Vighneswara hancur menjadi abu. Parwati pun sangat berduka. Kemudian Brahma menghibur Parwati dan berjanji memulihkan kepala putranya dengan makhluk pertama yang dilihatnya. Makhluk pertama yang dijumpai Brahma adalah seekor gajah.

Ganesha sangat populer dan banyak pemujanya, terutama dari sekte Ganapatya. Ganapati adalah nama lain Ganesha dalam kedudukannya sebagai pimpinan para gana. Gana adalah makhluk kahyangan yang termasuk di dalam kelompok pariwara kecil yang bertugas sebagai pasukan pengawal Siwa. Dalam cerita wayang, Ganesha disebut Bhatara Gana.

Sebagai dewa yang cukup populer, Ganesha mempunyai banyak nama. Yang terkenal adalah Ganapati (pemimpin para gana), Ekadanta (hanya memiliki satu gading), Lambodara (berperut gendut), Vighneswara (berhasil menghalangi segala rintangan dan kesulitan), dan Heramba (bertangan delapan).


Sumber: G+ Ayu Rosiana