Partai Nasional Indonesia (PNI)


Partai Nasional Indonesia (PNI) didirikan di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927. Pendirian Partai Nasional Indonesia disponsori oleh Algemeene Studie Club. Rapat pembentukan partai ini dihadiri oleh Soekarno, Cipto Mangunkusumo, Soejadi, Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, Mr. Budiarto, dan Mr. Sunario. Menurut Soekarno, ideologi yang melandasi gerakan nasional adalah nasionalisme, islamisme, dan marxisme. Ketiga ideologi tersebut (yang kemudian dikenal dengan Nasakom) merupakan alaat pemersatu bangsa.

Tokoh-tokoh pendiri PNI, antara lain: Ir. Soekarno (Ketua), dr. Cipto Mangunkusumo, Soedjadi, Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, Mr. Budiarto, Mr. Sunario, dan Sartono.




Dalam anggaran dasarnya, PNI menyatakan bahwa tujuan PNI adalah bekerja untuk kemerdekaan Indonesia. Tujuan ini akan dicapai dengan asas percaya pada diri sendiri. Caranya ialah dengan memperbaiki ekonomi, politik, dan sosial-budaya yang telah dirusak oleh pihak kolonial Belanda dengan kekuatan sendiri. Tindakan yang dilakukan, antara lain mendirikan sekolah-sekolah, poliklinik-poliklinik, bank-bank nasional, perkumpulan koperasi, dan lain-lain. Itulah sebabnya PNI tidak mau ikut dalam dewan-dewan yang diadakan oleh pemerintah. PNI mengambil sikap nonkooperatif terhadap pemerintah Belanda. Ditekankan juga bahwa untuk mencapai kemerdekaan perlu ada persatuan bangsa. PNI berhasil menjadi partai yang populer di kalangan masyarakat bawah. 

Untuk menggalang kekuatan nasional diperlukan suatu federasi partai politik. Federasi partai politik terwujud pada tahun 1927, dengan terbentuknya Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Indonesia (PPPKI). Anggota PPPKI terdiri dari PNI, PSII, Boedi Oetomo, Pasundan, Serikat Sumatra, Serikat Betawi, Indonesische Studieclubdan Algeemene Studieclub. Namun, federasi ini mengalami perpecahan pada tahun 1929.

Ketegasan sikap dan kegiatan PNI mengakibatkan pemerintah Belanda menganggap partai ini berbahaya. Oleh karena itu, gerak-gerik PNI selalu diawasi. Pemimpin-pemimpinnya seringkali mendapat peringatan keras dari pihak Belanda, agar tidak melakukan kegiatan yang merongrong kewibawaan Belanda.

Ternyata, para pemimpin PNI tidak mengindahkan peringatan-peringatan pemerintah Belanda. Pada tahun 1929, pemerintah Belanda menangkap sejumlah pemimpin PNI, antara lain Soekarno, Maskoen, Soepriadinata, dan Gatot Mangkupraja. Pada tahun 1930, mereka dijatuhi hukuman oleh pengadilan negeri Bandung. Dalam proses peradilan, Soekarno menyampaikan pidato pembelaan berjudul “Indonesia Menggugat”.

Pada tahun 1931, berdasarkan Kongres Luar Biasa di Jakarta, PNI dibubarkan. Sebagai gantinya didirikan partai baru, yaitu Partindo yang dipimpin oleh Sartono. Di samping itu, juga muncul partai baru, yaitu Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI baru yang dipimpin oleh Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Kedua partai ini dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda. Bahkan, Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir ditangkap dan diasingkan ke Digul, kemudian dibuang ke Bangka. Soekarno masuk menjadi anggota Partindo pada tahun 1932. Akan tetapi, dua tahun kemudian ia ditangkap dan diasingkan ke Ende (Flores). Dari Flores, Soekarno dipindahkan ke Bengkulu.

Dengan penangkapan tokoh-tokoh tersebut, terbukti bahwa sikap pemerintah Belanda terhadap organisasi bumiputra semakin bertambah keras. Dengan demikian, kegiatan politik sulit dilakukan. Belanda selalu menangkap para pemimpin yang dianggap membahayakan. Akhirnya, kedua partai itu dibubarkan.



0 Response to "Partai Nasional Indonesia (PNI)"

Post a Comment