Di sebuah desa di daerah Minangkabau tinggallah seorang janda bersama anak lelakinya, bernama Malin Kundang. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Ibunya amat menyayanginya. Mereka berdua hidup dalam kemiskinan. Di rumahnya, tidak ada satu pun benda berharga. Malin Kundanglah satu-satunya yang berharga bagi janda miskin itu.
Setiap hari, ibu Malin Kundang mencari kayu bakar di hutan. Dari hasil penjualan kayu bakar itu, Malin Kundang dan ibunya hidup. Rupanya, setelah dewasa Malin Kundang merasa bosan dengan keadaan hidupnya yang serba miskin. Malin Kundang ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan. Dan pada suatu malam, Malin Kundang mengutarakan maksud hatinya ingin merantau jauh mencari uang. Mendengar hal itu, mula-mula ibunya tidak menyetujui. Namun, Malin memohon supaya ibunya mengijinkannya. Dia berkata, “Ibu, aku pergi justru ingin membahagiakan ibu. Aku akan pulang membawa uang banyak untuk ibu”, desak Malin. Akhirnya, ibu Malin Kundang menyetujuinya.
Keesokan harinya, Malin Kundang pergi meninggalkan ibu dan kampung halamannya. Kepergiannya dilepas ibunya dengan tangisan haru. Sepeninggal Malin Kundang, ibunya bekerja seperti biasanya. Setiap hari ia pergi ke hutan mencari kayu bakar, kemudian dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sementara itu, Malin Kundang telah bekerja pada seorang saudagar kaya. Ia bekerja dengan rajin dan tekun. Majikannya amat menyayanginya. Malin selalu mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik hingga usaha majikannya itu makin berkembang. Majikannya pun bertambah sayang kepada Malin Kundang. Majikan Malin Kundang mempunyai seorang putri yang cantik. Oleh ayahnya, putrinya dinikahkan dengan Malin Kundang. Sebelum majikan itu meninggal dunia, seluruh harta bendanya diwariskan kepada Malin Kundang dan istrinya. Saudagar itu berpesan agar usahanya terus dikembangkan.
Beberapa waktu setelah ayahnya meninggal, istri Malin mengajak menengok kampung halaman suaminya. Malin Kundang pun menyetujuinya. Maka, berlayarlah mereka menuju kampung halaman Malin Kundang. Kepulangan Malin Kundang ke kampung halamannya, didengar juga oleh ibunya.
Mendengar kabar itu, bergegaslah janda miskin itu pergi ke pelabuhan untuk menjumpai Malin Kundang, anaknya. Setiba di pelabuhan, si ibu tersebut melihat seorang lelaki gagah perkasa sedang berdiri di atas kapal yang besar dan megah. Lelaki gagah itu didampingi oleh seorang putri yang cantik jelita. Ia mengenakan pakaian mewah serta perhiasan yang gemerlapan. Walaupun berpenampilan gagah dan berpakaian mewah, ibu itu masih tetap ingat. Lelaki itu adalah Malin Kundang, anaknya. Tanpa berpikir panjang, ibu langsung menghampiri anaknya. Tetapi, begitu melihat ibunya yang tua renta dan berpenampilan kotor, Malin tidak mengakui bahwa wanita itu ibunya.
Dengan suara keras Malin berkata, “Siapakah kau, hai wanita tua? Mengapa kau berani mengaku sebagai ibuku?”
“Oh, Malin Kundang anakku, mengapa kau berkata begitu, lupakah kau kepadaku? Aku ini ibumu, Nak. Ibu yang melahirkan dan merawatmu sejak kecil,” kata wanita tua itu mengiba.
“Ibuku?” jawab Malin. “Tidak, aku tidak punya ibu seperti kamu!”
“Malin Kundang, mengapa kau tidak mengakui bahwa aku ini ibumu. Lupakah kau akan janjimu saat pergi merantau? Mengapa sekarang, setelah berhasil, kau tidak mengakui bahwa aku ini ibumu. Apakah karena kamu malu dengan istrimu dan pegawai-pegawaimu?”
Mendengar kata-kata itu, Malin Kundang semakin marah. Lalu diusirnya wanita tua itu dengan kasar. “Dasar kau wanita tua! Aku bukan anakmu. Pergi, pergilah kau dari sini, aku tidak mengenalmu!”
Wanita tua itu didorongnya hingga terjatuh di tanah. Lalu Malin Kundang dan istrinya kembali ke kapal. Mendapat perlakuan kasar Malin, wanita tua itu merasa sakit hati. Kemudian ia berkata, “Malin Kundang, engkau anak durhaka, kau tidak mau mengakui ibumu sendiri, ibu yang merawatmu sejak kecil. Ya Tuhan, kutuklah Malin, sebab ia anak durhaka.”
Beberapa saat setelah ibu itu mengucapkan doanya, terdengarlah bunyi guntur gemelegar di angkasa bersama mengumpulnya gumpulan awan hitam. Maka, langit pun menjadi gelap kemudian turunlah hujan lebat. Laut pun ditimpa badai. Sebuah petir besar menyambar tubuh Malin sehingga mengubah dirinya menjadi batu. Kemudian, kapal layar Malin tenggelam bersama seluruh isi dan awak kapal.