Pada zaman dahulu, di kerajaan kecil di tanah Sumedang, hidup seorang raja yang adil dan bijaksana. Baginda raja mempunyai seorang putri bernama Rumaningsih. Putri Arum, nama panggilannya, sangat cantik. Putri Arum memiliki seorang kekasih bernama Dang Anggara. Ia seorang putra bangsawan di negeri itu yang tampan dan baik budi.
Setiap bulan purnama, Dang Anggara menemui Putri Arum. Bila bertandang ke istana, ia diiringi oleh lima orang pembantu (bujang). Salah satu bujang bernama Bujang Trindil, yang seusia Dang Anggara. Akan tetapi, tubuhnya lebih pendek, kulit gelap, wajahnya buruk dan kakinya terdapat borok.
Bujang Trindil sangat sayang dan setia pada Dang Anggara. Pada suatu hari, tersiar kabar bahwa Putri Arum menderita penyakit kulit yang menjijikkan. Baginda raja segera memanggil tabib dan peramu obat dari seluruh penjuru negeri. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil menyembuhkan penyakit sang Putri. Baginda raja akhirnya menyelenggarakan sayembara. Jika ada yang berhasil menyembuhkan putri, bila wanita akan diangkat menjadi saudara, dan bila laki-laki akan dijodohkan dengan Putri Arum.
Mendengar sayembara itu, orang dari berbagai kalangan berduyun-duyun mendatangi istana. Tetapi, setelah 3 hari sayembara berlangsung, tidak ada seorang pun yang berhasil menyembuhkan sang Putri. Baginda raja semakin sedih, demikian pula Dang Anggara. Wajahnya tampak selalu murung dan tidak mau makan. Bujang Trindil tidak sampai hati melihatnya.
Pada suatu hari, diam-diam ia pergi untuk mencari jalan bagi kesembuhan Putri Arum. Bekal yang dibawanya hanyalah enam butir buah salak. Tanpa tahu arah yang dituju, Trindil terus berjalan. Tiba-tiba ia tertarik melihat puncak Gunung Tampomas yang menjulang tinggi. Ia ingin mendaki gunung itu, ia berharap Dewa mendengar permohonannya. Karena lelah, ia beristirahat di bawah pohon beringin yang rindang hingga tertidur pulas.
Ketika terbangun, Trindil terkejut. Ia mendapati kaki dan pantatnya terasa panas. Ternyata, tanah yang diduduki telah menjadi sumber mata air panas. Dari sela-sela akar beringin terdapat sebuah mata air yang berkhasiat menyembuhkan boroknya. “Wah, kalau air ini bisa menyembuhkan borokku, tentu dapat pula mengobati penyakit sang putri!” Trindil kemudian menggali kubangan itu lebih dalam supaya airnya lebih banyak. Ia buru-buru pulang untuk menyampaikan berita gembira itu. Dang Anggara dan Trindil segera menjemput Putri Arum. Mereka berangkat ke kubangan air di bawah pohon beringin.
Keajaiban pun langsung terjadi. Setelah Putri Arum mandi, borok di tubuhnya langsung lenyap. Putri Arum pulih menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Saat perjalanan pulang, tiba-tiba Trindil merasa khawatir ketika teringat janji raja. “Putri Arum tidak boleh menikah dengan pemuda lain kecuali Dang Anggara. Apabila denganku, si bodoh yang buruk rupa ini, kasihan Putri Arum. Dia pasti akan menderita selama hidupnya”. Setelah berpikir demikian, Trindil memutuskan kembali ke tempat mata air tersebut. Dang Anggara dan Putri Arum kembali ke istana. Setibanya di istana, raja sangat gembira. Pesta pernikahan Dang Anggara dan Putri Arum segera dipersiapkan. Dang Anggara buru-buru menghadap Baginda raja dan menceritakan kejadian yang sesungguhnya.
Baginda raja menghela napas berat, “Janji adalah janji. Walaupun Trindil hanya seorang bujang, ia tetap akan menjadi suami Putri Arum.” Baginda Raja memerintahkan prajurit untuk menjemput Trindil. Dang Anggara ikut sebagai penunjuk jalan.
Sesampainya rombongan di kubangan, mereka menjumpai tubuh Bujang Trindil duduk bersemedi. Tubuhnya tenggelam dengan bibir tersenyum, seakan mengatakan bahwa ia sangat bahagia dengan perbuatannya. Rupanya Bujang Trindil menemukan cara lain untuk membahagiakan majikannya, yaitu dengan menenggelamkan diri di dasar kolam yang digalinya sendiri. Baginda raja akhirnya menikahkan Putri Arum dengan Dang Anggara. Untuk mengenang kesetiaan Bujang Trindil, setiap bulan purnama Dang Anggara berjanji akan selalu menjaga dan merawat kubangan serta pohon beringin.
Kubangan air panas itu hingga sekarang banyak dikunjungi orang. Letaknya di kaki gunung Tampomas, Kecamatan Congeang, Kota Sumedang. Oleh penduduk setempat, kubangan itu telah dipasangi dinding beton dan diberi pipa sehingga menjadi beberapa buah pancuran. Di bawah pancuran itulah, banyak orang mandi air panas. Pohon beringin tersebut hingga sekarang masih tetap berdiri kokoh dengan akar gantung. Di sepanjang jalan menuju ke lokasi kebun, terdapat banyak sekali pohon salak. Konon, pohon-pohon salak itu tumbuh dari biji yang ditinggalkan Trindil selama perjalanannya.