Tinggallah seorang panglima perang bernama Panglima Wire di Desa Kramuderu, Irian Jaya (sekarang Papua). Ia memiliki anak laki-laki, bernama Caadara. Panglima Wire ingin Caadara menjadi anak laki-laki yang dihormati. Panglima Wire ingin anaknya kelak dapat melindungi desa dari serbuan musuh.
Sejak kecil Caadara dilatih ilmu perang dan bela diri. Caadara berlatih dengan disiplin. Sang Panglima yakin kelak Caadara dapat menggantikan kedudukannya.
Caadara pun tumbuh menjadi pemuda gagah.
"Anakku, sudah saatnya kau pergi masuk hutan. Gunakanlah ilmu yang selama ini telah kamu pelajari," kata Panglima Wire.
Berangkatlah Caadara untuk memulai perburuan. Beberapa pemuda sebaya turut bersama Caadara menjalani ujian.
Caadara dan beberapa temannya harus menembus jalan setapak yang terhalang rimbunan pohon. Caadara dan pemuda lain berhasil menombak beberapa buruan. Sudah satu minggu mereka berada di hutan. Pada hari kedelapan, Caadara melihat seekor anjing. Caadara tahu bahwa anjing tersebut adalah anjing pemburu.
"Ada yang tidak beres!" kata Caadara kepada teman-temannya.
Kedatangan anjing pemburu menandakan adanya bahaya. Anjing tersebut milik suku lain yang bertugas untuk mencari jejak lawan.
"Sebaiknya kita mulai bersiaga!" kata komando Caadara.
Mereka berjaga jangan sampai terlihat oleh musuh. Akan tetapi, keberadaan Caadara dan beberapa temannya diketahui musuh. Inilah pengalaman yang pertama menguji ketangkasan bela diri.
Pertempuran sengit pun tidak terhindarkan lagi. Caadara memimpin kawan-kawannya dengan semangat. Akhirnya, Caadara dapat mengalahkan musuhnya.
Rombongan Caadara akhirnya kembali lagi ke desa. Panglima Wire merasa terharu dan bangga mendengar keberanian Caadara. Caadara berhak mengenakan kalung gigi binatang dan bulu kasuari yang dirangkai dengan indah.
Kedisiplinan Caadara dalam berlatih membuahkan hasil. Caadara dianggap bukan saja sebagai panglima, melainkan juga sebagai pahlawan Desa Kramuderu.