Krisis
ketatanegaraan dan pemerintahan yang terjadi pada tahun 1950-an memuncak dengan
keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Presiden Soekarno membubarkan
Kabinet Djuanda dan membentuk Kabinet Kerja. Presiden Soekarno juga membubarkan
DPR hasil pemilu 1955 karena menolak anggaran belanja negara yang diajukan
pemerintah. Bung Karno kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPRGR) tanggal 24 Juni 1960.
Perbandingan
keanggotaan DPRGR yang seluruh anggotanya dipilih Bung Karno adalah nasionalis
(94), Islam (67), dan komunis (81). Dengan demikian, PKI memperoleh banyak
keuntungan dari kebijakan Bung Karno. DPRGR dilantik Bung Karno tanggal 25 Juni
1960. Tugasnya adalah melaksanakan manipol, merealisasikan amanat penderitaan
rakyat, dan melaksanakan demokrasi terpimpin.
Presiden
Soekarno benar-benar menjadi inisiator dan operator politik tunggal demokrasi
terpimpin. Garis kebijakannya tentang demokrasi terpimpin tertuang dalam
pidatonya tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita.
Langkah yang ditempuh adalah membentuk Front Nasional, menggabungkan lembaga
tinggi dan tertinggi negara di bawah kendalinya, serta membentuk Musyawarah
Pembantu Pemimpin Revolusi (MPPR). Dampak kebijakan Presiden Soekarno bagi
kehidupan bangsa dan negara sebagai berikut.
a. Kehidupan
Politik
PKI berusaha
keras berada di belakang pengaruh Bung Karno. PKI senantiasa memainkan peranan
sebagai golongan yang paling Pancasilais. Gagasan Bung Karno tentang Nasakom
jelas menguntungkan gerakan PKI. Bahkan, D.N. Aidit pada tahun 1964 berani berkata,
”bila kita telah mencapai taraf hidup adil dan makmur dan telah sampai kepada
sosialisme Indonesia, maka kita tidak lagi membutuhkan Pancasila.”
Gerakan PKI
ini dihadang golongan Islam dan TNI AD. Bahkan, sejak pembentukan DPRGR kedua
kelompok ini telah menentang secara keras. Namun, upaya itu mendapat rintangan
karena Bung Karno memang melindungi keberadaan PKI. Kondisi politik saat itu
benar-benar panas karena PKI melakukan beberapa aksi dan kerusuhan. Konflik
antara PKI dan TNI AD pun tidak terhindarkan.
b. Kondisi
Perekonomian
Selama
demokrasi terpimpin Bung Karno menempatkan politik sebagai panglima. Beragam
kebijakan dan pengaturan menjadi sia-sia karena besarnya anggaran untuk
proyek-proyek mercusuar. Bung Karno saat itu sangat getol membangun jaringan
dengan negara-negara sosialis komunis. Beliau memelopori pembentukan
Conferences of the Emerging Forces (Conefo). Oleh karena itu, dibangunlah
gedung Conefo yang kini menjadi gedung MPR/DPR. Untuk keperluan Games of the
New Emerging Forces (Ganefo), Bung Karno membangun Istora Senayan.
Selain untuk
proyek tersebut, anggaran pemerintah juga dihabiskan untuk membiayai politik
konfrontasi. Saat cadangan anggaran habis, pemerintah menghimpun dana-dana
revolusi dan memperbanyak
utang luar negeri. Dampak dari kebijakan tersebut adalah tingginya inflasi,
melonjaknya harga kebutuhan masyarakat, dan tergencetnya perekonomian rakyat.
Bukan pemandangan yang aneh apabila selama demokrasi terpimpin banyak terjadi
antrean beras dan minyak.
c. Kehidupan
Sosial
Doktrin
Nasakom yang disuarakan Bung Karno mempengaruhi kehidupan sosial kemasyarakatan.
Hal ini terlihat sekali dalam kehidupan pers. Surat kabar yang menentang Nasakom
atau PKI diberedel. Misalnya Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, dan
Star Weekly. Sebaliknya, surat kabar PKI merajai dunia penerbitan pers saat
itu, seperti Harian Rakyat, Bintang Timur,dan Warta Bhakti. Mereka juga menerbitkan
surat kabar Bintang Muda, Zaman Baru, dan Harian Rakyat Minggu. Organisasi Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) milik pemerintah didominasi oleh golongan komunis. Surat
kabar milik PKI melakukan propaganda dan agitasi terhadap lawan-lawan
politiknya. Dengan jalan itu, PKI berhasil mendominasi kehidupan sosial politik
masyarakat.
Untuk
memurnikan ajaran Bung Karno dari pengaruh komunis, beberapa tokoh membentuk Barisan
Pendukung Soekarnoisme (BPS). BPS diketuai oleh Adam Malik dibantu oleh B.M. Diah,
Sumantoro, dan kawan-kawan. Berdirinya BPS mendapat tekanan dari PKI. Bahkan,
PKI memfitnah bahwa BPS merupakan bentukan Amerika. Bung Karno kemudian mendukung
PKI dengan melarang kegiatan BPS.
d. Kehidupan
Budaya
Saat PKI merajai
kehidupan politik, semua kegiatan kebudayaan terpengaruh. Sejak tahun 1950 PKI
telah membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan tokoh utamanya Pramoedya
Ananta Toer. Lekra dengan kejam menindas dan meneror kaum intelektual dan sastrawan
Indonesia yang tidak mau bergabung dengannya. Pada saat yang sama, Lekra mempropagandakan
misi dan kepentingan PKI terutama berkaitan dengan penyebaran ideology komunis.
Para mahasiswa PKI bergabung dalam Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia
(CGMI). Mereka meneror mahasiswa lain yang tidak mau bergabung.
Para
sastrawan dan cendekiawan penentang Lekra membuat Manifes Kebudayaan tanggal 17
Agustus 1963. Mereka mendukung Pancasila, tetapi menolak bergabung dengan
Nasakom. Para sastrawan dan intelektual itu menghendaki suatu kebudayaan
Indonesia yang tidak didominasi oleh ideologi tertentu. Tokoh manifes ini
adalah H.B. Jassin. PKI kemudian menggunakan kekuasaan Bung Karno untuk
melarang kegiatan manifes kebudayaan. Akhirnya, Bung Karno benar-benar
melarangnya tanggal 8 Mei 1964. Bahkan H.B. Jassin kemudian dipecat sebagai
dosen di Universitas Indonesia Jakarta.
Demikianlah
cara PKI menciptakan suasana yang menguntungkan kepentingan politiknya. Mereka
menempel setiap kebijakan Bung Karno dengan membentuk lembaga-lembaga
pendukung. Teror dan fitnah mereka jalankan untuk menghadapi kelompok
antikomunis. Berkat dukungan dan perlindungan Bung Karno, PKI mampu memasuki
seluruh sendi kehidupan bangsa. Oleh karena itu, PKI tinggal menunggu waktu
untuk merebut kekuasaan sesuai dengan doktrin komunisme.
0 Response to "Keadaan Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya Pra G 30 S/PKI"
Post a Comment