Abu Nawas, yang tidak diundang ke istana untuk upacara pemberian nama bayi lelaki yang diselenggarakan oleh Baginda Sultan, nekad datang. Ia tidak setuju dengan nama Fulan yang akan diberikan kepada bayi itu. “Biasanya orang yang bernama Fulan itu bodoh,” katanya.
Kepada Sultan yang memergoki dintara para orang besar yang di undang, Abu Nawas bertanya, “Tidak bolehkah nama itu diganti?” Sultan, yang sudah gondok, menanyakan alasannya dan minta bukti bahwa orang yang namanya Fulan itu bodoh, “Coba buktikan, jika tidak berhasil, aku bunuh kau.”
“Boleh, tuanku…” jawab Abu Nawas. “Pertama, tentang Kadi Fulan dahulu. Kedua, ya, hamba mohon uang sekitar 30 dinar serta minta tangguh empat hari.”
“Lain daripada itu, kamu ingin minta makan bersama-sama di sini, bukan?” tanya baginda sambil tersenyum. “Makanlah dulu, nanti kuberikan uang itu.”
Esok harinya selepas subuh, pergilah Abu Nawas ke rumah Kadi membawa uang sepuluh ringgit, saat itu dilihatnya pak Kadi sedang dzikir dengan asyiknya. Setelah memberi salam ia pun duduk di samping Kadi, ketika Kadi itu memejamkan mata, Abu Nawas segera menyelipkan uang ke bawah sajadah si Kadi.
“Hai, Abu Nawas, darimana saja kamu selama ini, apa maksudmu datang kemari?” tanya kadi setelah selesai berzikir.
“Hamba dari rumah saja, hendak bertemu tuan, karena sudah rindu,” jawab Abu Nawas.
Ketika sedang bercakap-cakap itu, Abu Nawas tertawa terbahak-bahak seorang diri, tentu saja pak Kadi terheran-heran. “Kenapa kamu mendadak tertawa?”
“Tidak apa-apa,” kata Abu Nawas. Hamba mendengar burung itu mengatakan bahwa tuan punya uang sepuluh ringgit di bawah sajadah ini.”
Maka disibaklah sajadah itu dan ternyata di bawahnya memang ada duit sepuluh ringgit.Tentu saja Kadi itu senang hatinya, tak lama kemudia setelah Abu Nawas mohon pamit, ia minta agar Abu Nawas sering-sering datang ke rumahnya.
“Insya Allah jika tak ada aral melintang,” jawab Abu Nawas.
Ternyata esok harinya Abu Nawas datang lagi. Lalu dilakukan hal yang serupa seperti kemarin. Demikian pula pada hari yang ketiga hingga uang yang diberikan Raja pun habis. Dengan demikian kadi itu pun yakin dan percaya atas semua ucapan Abu Nawas.
Hari keempat ketika mereka berdua sedang bercakap-cakap, terdengarlah suara burung itu. Namun kali ini Abu Nawas menangis tersedu-sedu. “Apa yang kau tangisi, Abu Nawas?” tanya pak Kadi.
“Burung itu mengatakan, tuan akan mati,” kata Abu Nawas.
Kadi itu gemetar, wajahnya pucat pasi, ia terdiam lama, “menurut kamu apa yang harus aku lakukan?
Apa ikhtiarmu, aku menurut saja,” kata pak Kadi.
“Supaya omongan burung itu tidak menjadi kenyataan, mulai sekarang hendaklah tuan berpura-pura mati,” jawab Abu Nawas yang segera mengabarkan ihwal kematian pak Kadi itu ke masyarakat. Maka orang-orang pun kaget mendengar kematian yang mendadak tersebut.
“Mayat” itu segera dimandikan sendiri oleh Abu Nawas, kemudian di kafani, lalu di masukkan ke dalam keranda dan disalatkan. Ketika mayat dibawa ke kuburan, jalannya memang lewat dekat Istana, sehingga baginda mendengar bacaan kalimat tauhid yang dikumandangkan secara beramai-ramai oleh para pelayat di sepanjang jalan.
“Mayat siapa yang di usung itu?” tanya Baginda Sultan.
Dengan segera Abu Nawas menjawab pertanyaan tersebut, “Ya tuanku, itu mayat Kadi Fulan.”
Sultan Harun Al-Rasyid terperanjat. “Hai Abu Nawas, bawa masuk kemari jenazah itu.”
Akhirnya, dibawalah jenazah itu ke hadapan Baginda. “Wahai sahabatku, apa yang menyebabkan kematianmu, aku sama sekali tidak mendengarnya.” Setelah keranda di buka oleh Baginda, tampaklah Kadi itu mengerdipkan matanya malu-malu
“Hai, Abu Nawas, “Kata Baginda, “Mengapa kadi ini yang masih hidup kamu katakan sudah mati?”
“Itulah tanda kebodohan orang yang bernama Fulan, Tuanku,” kata Abu Nawas.
Baginda pun heran melihat kelakukan Abu Nawas, demikian pula orang-orang yang mengiringi jenazah itu. Sebagian memuji kehalusan tipu daya Abu Nawas, namun sebagian lagi menyumpahi, karena kejenakaan yang ia lakukan telah benar-benar kelewat batas.
Dengan kejadian itu, baginda semakin yakin akan kecerdikan Abu Nawas, sehingga berniat memberi hadiah yang layak kepadanya. Semua dendamnya hilang, berganti menjadi belas kasih. Namun demikian baginda akan tetap mencoba kelebihan abunawas.
0 Response to "Kisah Abu Nawas "Kadi Malang""
Post a Comment