Di Sumatera
Barat terdapat beberapa haji yang baru saja kembali dari menunaikan ibadah haji
di Mekkah. Para haji tersebut antara lain Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji
Piabang. Mereka menganut aliran Wahabi. Masyarakat Sumatera Barat sudah lama
memeluk agama Islam, tetapi masih banyak orang yang melakukan hal-hal yang
tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, seperti kebiasaan menyabung ayam,
berjudi, minum-minuman keras yang memabukkan dan memegang adat matrilineal.
Para haji yang mendapat ajaran wahabi tersebut berusaha melancarkan gerakan
untuk mengikis perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Mereka inilah
yang disebut kaum Paderi.
Gerakan kaum Paderi berusaha untuk membersihkan agama
Islam dari tradisi, adat kolot, dan kebiasaan buruk yang bertentangan dengan
ajaran Islam. Gerakan kaum Paderi ini meresahkan kaum tua-tua atau golongan
pemangku adat yang tetap berusaha mempertahankan tradisi lama. Di samping itu,
mereka menolak gerakan kaum Paderi dalam usaha memurnikan agama Islam. Golongan
pemangku adat disebut kaum hitam, karena selalu menggunakan jubah hitam. Kaum
Paderi disebut kaum putih, karena selalu mengenakan jubah putih. Pertentangan
antara dua golongan ini menyebabkan terjadinya perang terbuka. Karena golongan
pemangku adat menderita kekalahan, mereka minta bantuan kepada Belanda. Belanda
tidak sekadar membantu kaum adat. Belanda ingin menguasai Minangkabau.
Pada
tahun 1825, perang Paderi dihentikan karena Belanda sedang memusatkan
perhatiannya dalam menghadapi Perang Diponegoro. Sesudah perang Diponegoro
selesai, perang Paderi tahap kedua dilanjutkan. Kaum pemangku adat akhirnya menyadari
kesalahannya. Mereka kemudian bergabung dengan kaum Paderi untuk menghadapi Belanda.
Penggabungan kedua kekuatan ini menyulitkan Belanda dalam menghadapi dan
menumpasnya. Belanda akhirnya menerapkan Sistem Benteng (Benteng Stelsel). Untuk
menghalangi kaum Paderi, Belanda membangun benteng, antara lain Benteng Fort de
Kockdi Bukittinggi dan Benteng Fort van der Capellen di Batusangkar. Dengan
siasat ini, perlawanan kaum Paderi dapat dipatahkan.
Pada tanggal 30 Oktober
1832, Tuanku nan Alahan menyerah. Pada tanggal 25 Oktober 1837, Tuanku Imam
Bonjol dapat ditangkap. Ia dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian pada
tanggal 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon. Tahun 1841 Tuanku Imam Bonjol
diasingkan ke Manado sampai tutup usia. Pasukan Paderi menyingkir ke wilayah Tapanuli
untuk meneruskan perlawanan. Salah satu pemimpinnya adalah Tuanku Tambusi. Pada
tanggal 28 Desember 1838, Tuanku Tambusi dapat dikalahkan Belanda. Dengan
demikian, berakhirlah perang Paderi.
0 Response to "Perang Paderi (1821-1837)"
Post a Comment